Ayo Bung, Bubarkan PKI
![]() |
Mar'ie Muhammad dan rekan-rekan. Sumber: Media Keuangan |
JB Sumarlin, ekonom
sekaligus Menteri Keuangan (Menkeu) sebelum Mar’ie, yang juga pernah menjadi
dosen ekonomi, moneter, dan keuangan negara, menyebutkan, “Mar’ie adalah
mahasiswa yang baik, jujur, dan disiplin.”
Semasa mahasiswa, Mar’ie
aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia menjadi Sekretaris Jenderal
Pengurus Besar (PB) HMI periode 1963–1965. Suatu artikel dalam Majalah Tempo
yang terbit tanggal 7 Agustus 1993 menyatakan, Mar’ie dikenal sebagai ahli
siasat yang tahu medan sejak menjadi Sekjen PB HMI.
Mar’ie Muhammad mulai memegang
posisi Sekretaris Jenderal PB HMI pada rapat pertama PB HMI yang diselenggarakan
di Markas Jalan Diponegoro 16. Hal tersebut dinyatakan oleh mantan ketua umum
PB HMI periode 1963-1965 Sulastomo dalam buku Hari-Hari Yang Panjang 1963 – 1966 (CV Haji Masagung, 1990).
Disebutkan, saat itu sebagian besar tim PB HMI berasal dari UI.
Dalam buku tersebut,
Soelastomo juga menceritakan bahwa mantan Presiden Soekarno sempat menanyakan
hal-hal ringan kepadanya dalam sebuah pertemuan dengan PB HMI di Istana
Merdeka, Februari 1966.
“Antara lain beliau
bertanya kepada saya (kira-kira): Orang Islam itu memang boleh beristri sampai
empat. Meskipun demikian, ada batasannya. Siapa saja yang tidak boleh kita
kawini? Saya tidak bisa menjawab persis. Kalau tidak salah, saudara Mar’ie
Muhammad telah menjawab pertanyaan ini dengan jitu. Dan Bung Karno tertawa
gembira,” jelas Soelastomo dalam buku itu.
Periode pemerintahan
Soekarno merupakan masa yang sangat genting bagi HMI. Terdapat ancaman pembubaran
dari pemerintah. Aksi demi aksi perseteruan dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI) rutin diarungi HMI dan organisasi kaum muda lainnya yang anti-komunis.
Puncaknya, penculikan dan pembantaian para petinggi Angkatan Darat atau Gerakan
30 September (Gestapu), yang pecah pada tahun 1965. PKI diyakini menjadi dalang
dari insiden berdarah yang menggegerkan seantero negeri tersebut.
Geram dan tidak tinggal
diam, organisasi mahasiswa yang terdiri dari berbagai golongan dan agama di antaranya
HMI, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perserikatan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),
Gerakan Pemuda Ansor, dan kelompok lainnya berkumpul agar pergerakan mereka lebih
terkoordinasi melawan dan menumpas PKI.
Perkumpulan ini membentuk
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 27 Oktober 2018 yang dikenal
dengan rangkaian demonstrasi Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Isi Tritura adalah
(1) Bubarkan PKI; (2) Rombak/bubarkan Kabinet Dwikora; dan (3) Turunkan harga
kebutuhan pokok.
Mar’ie, bergotong royong
dengan Cosmas Batubara, David Napitupulu, Fahmi Idris, dan tokoh lain berperan
sebagai pimpinan KAMI. Ia menjadi Ketua Presidium KAMI. Etty mengatakan, Mar’ie
sering mendapat panggilan mendadak untuk menghadiri rapat KAMI. Akibatnya,
waktu makan dan istirahat Mar’ie menjadi tidak teratur. “Kami juga tidak sempat
pacaran, karena sibuk demonstrasi. Bahkan pernah 2–3 kali batal menonton
bioskop, gara-gara Bapak mendadak harus rapat. Alhasil, saya nonton sendiri di
Bioskop Menteng,” kenang Etty sambil terkekeh.
Di mata Etty, Mar’ie
adalah pemimpin aksi yang luar biasa karena sangat memotivasi dan tidak gentar menyuarakan
kebenaran.
Di dalam organisasi HMI,
Mar’ie bertemu Etty untuk pertama kali. Etty sendiri menjadi salah satu kawan
seperjuangan Mar’ie dalam melantangkan suara demonstrasi. Salah satunya ikut
mengarak jaket kuning Arif Rahman Hakim, mahasiswa Kedokteran UI di Istana
Negara, Bogor, yang gugur dalam aksi unjuk rasa berujung bentrokan dengan
Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) sebagai bentuk protes atas reshuffle kabinet Presiden Soekarno pada
21 Februari 1966 yang masih melibatkan orang PKI dalam pemerintahannya.
Dalam perjuangan KAMI,
sosok Mar’ie dikenal sebagai orang yang tangkas bicara, gigih mempertahankan pendapatnya,
tidak sabaran, tapi sering didengar oleh rekan-rekannya.
Selepas kuliah, Mar’ie
tetap aktif dalam forum yang digelar di FE UI. Inilah pertemuan kali pertamanya
dengan Waldemar Hutagalung, atau Bokes panggilannya. Bokes yang kelak menjadi salah
satu sahabat Mar’ie baru saja menyelesaikan Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram)
sebagai mahasiswa baru dan menghadiri Final
Discussion mengenai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang
dibawakan oleh Menteri Negara Bidang Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur
Negara Indonesia saat itu, Emil Salim. Itu terjadi sekitar tahun 1970-an.
Bokes mengenang, dalam diskusi
tersebut, Mar’ie sebagai alumni FE UI sangat aktif bertanya. “Beliau masih
muda, tetapi lincah berbicara,” demikian kesan Bokes.(Melati Salamatunnisa, Budiana Indrastuti)
Ayo Bung, Bubarkan PKI
Sumber: Media Keuangan