Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
![]() |
Sumber Foto: Kementerian Keuangan RI |
Indonesia saat ini juga berhasil menempati posisi
ketujuh dalam top 10 Islamic Finance Asset
dengan total aset sebesar USD81,84 miliar atau meningkat dari posisi tahun
sebelumnya di posisi kesembilan. Pada tahun 2017, industri keuangan syariah
Indonesia berhasil mengalami pertumbuhan sebesar 26,97 persen.
Melihat potensi yang besar tersebut, Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko
(DJPPR) melakukan diversifikasi pembiayaan APBN yang sesuai dengan prinsip syariah
sebagai alternatif instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang konvensional.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008, SBN dengan prinsip syariah ini
disebut dengan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau lebih dikenal dengan nama Sukuk Negara.
UU SBSN tersebut menjadi landasan hukum bagi Pemerintah
dalam melakukan pengelolaan Sukuk Negara secara hati-hati, transparan, dan
akuntabel sekaligus sebagai dasar kepastian hukum bagi investor. UU SBSN tersebut
juga menjadi tonggak sejarah kelahiran Sukuk Negara yang kemudian diikuti dengan
pengembangan berkesinambungan melalui berbagai inovasi. Di sisi lain, Sukuk
Negara menjadi instrument investasi yang dapat pula turut menggerakkan pasar
modal syariah di Indonesia. Lebih jauh lagi, investasi di Sukuk Negara membuka
pintu bagi warga Negara Indonesia untuk turut serta berkontribusi dalam
pembangunan negara.
Dalam diskusi silaturahmi dengan Dewan Pimpinan Harian
Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Aula Kantor MUI pada tanggal 22 Mei 2018 yang
lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan perkembangan SBSN sejak
awal diterbitkan pada tahun 2008 yang membukukan dana Rp4,7 Triliun hingga kini
yang sudah mencapai angka Rp884,3 Triliun. Selain itu, Menkeu juga menerangkan
bahwa Sukuk sudah menjadikan berbagai proyek pembangunan di Indonesia sebagai
salah satu aset penjaminnya (underlying asset).
“Beberapa proyek (yang dibiayai dari sukuk, antara lain
berupa) jalan dan jembatan di tiga puluh provinsi, pembangunan kereta di Jawa,
Sumatera dan Sulawesi, revitalisasi asrama haji di 24 (kota), serta 54
Perguruan Tinggi dan 32 madrasah,” jelas Menkeu kepada Dewan Pimpinan dan
Pengurus MUI.
Diversifikasi
Pembiayaan
Penerbitan Sukuk Negara, yang dimulai sejak tahun 2008,
merupakan salah satu wujud dukungan dan peran serta Pemerintah dalam
mengembangkan industri keuangan syariah di Indonesia. Menurut Direktur Jenderal
Pembiayan dan Pengelolaan Risiko, Luky Alfirman, kehadiran Sukuk Negara mampu
memperkaya jenis instrumen pembiayaan APBN dan pembangunan proyek di tanah air,
sekaligus menyediakan instrument investasi dan likuiditas bagi investor institusi
maupun individu, termasuk untuk inklusi keuangan.
Di samping itu, penerbitan Sukuk Negara di pasar
internasional juga menandai eksistensi serta mengokohkan posisi Indonesia di
pasar keuangan syariah global.
“Kita ini adalah the
largest moslem country. Kita mayoritas penduduk muslim maka minat untuk
berinvestasi secara syariah juga memiliki potensi yang besar. Nah, di sini
pemerintah menyediakan instrumentnya tersebut. Jadi, kita juga punya misi yaitu
menyediakan alternative investasi instrument investasi untuk yang syariah
tadi,” jelasnya.
Menambahkan hal tersebut, Direktur Pembiayaan Syariah
DJPPR, Suminto, mengungkapkan bahwa untuk menjawab tantangan kebutuhan pasar
dan dalam rangka diversifikasi instrumen, Kemenkeu melalui DJPPR telah
mengembangkan berbagai jenis instrumen Sukuk Negara, baik untuk pasar domestik
maupun internasional.
Diversifikasi tersebut memiliki karakteristik khusus
masing-masing untuk mengakomodir kebutuhan yang ada. Dari sisi internasional, Kemenkeu
telah menerbitkan Sukuk Negara Indonesia (SNI) atau lebih dikenal dengan
sebutan Global Sukuk. Sementara dari sisi domestik sendiri, Kemenkeu menyediakan
alternatif jenis Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPN-S), Islamic Fixed Rate (IFR), Project Based Sukuk (PBS), Sukuk Dana
Haji Indonesia (SDHI), dan SBSN Ritel yang terdiri dari Sukuk Negara Ritel (SR)
dan Sukuk Tabungan (ST).
Instrumen
Ritel Syariah
Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan merupakan instrument SBSN
yang ditujukan untuk menjangkau investor individu atau perorangan warga Negara Indonesia.
Menurut Suminto, penerbitan tersebut dimaksudkan
sebagai upaya Pemerintah untuk melakukan diversifikasi instrumen pembiayaan
APBN dimana masyarakat umum dapat berinvestasi sekaligus berperan serta dalam
pembangunan Indonesia. Kehadiran Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan dapat menjadi
pilihan bagi masyarakat dan menambah portofolio investasi bagi investor,
terutama investor syariah.
Di samping itu, penerbitan Sukuk Ritel dan Sukuk
Tabungan diharapkan dapat mendukung upaya pengembangan Pasar Keuangan Syariah
dan mendorong transformasi masyarakat dari savings-oriented
society menuju investment-oriented
society.
Sukuk Ritel merupakan produk investasi syariah yang
menawarkan fitur minimal pembelian Rp5 juta, maksimal Rp5 miliar, jangka waktu
(tenor) 3 tahun, dan dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Sedangkan Sukuk
Tabungan merupakan varian baru dari Sukuk Ritel yang diterbitkan pertama kali
pada tahun 2016. Penerbitan Sukuk Tabungan dilakukan sebagai upaya diversifikasi
produk dan untuk memperluas basis investor SBN Ritel terutama yang selama ini
belum terjangkau oleh Sukuk Ritel. Sukuk Tabungan menawarkan minimal pembelian
yang lebih rendah (Rp2 juta), tenor yang lebih pendek (dua tahun), dan tidak dapat
diperdagangkan di pasar sekunder (non-tradable).
Pembiayaan
Syariah Vs Konvensional
Pada prinsipnya, instrumen pembiayaan syariah melalui
SBSN (Sukuk Negara) dan instrumen pembiayaan konvensional melalui Surat Utang
Negara (SUN) adalah bagian dari Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan
untuk pembiayaan APBN. Namun demikian, kedua instrumen di atas memiliki
perbedaan.
Pembiayaan berbasis syariah memiliki karakteristik
utama berupa penggunaan akad syariah dan underlying
asset yang mendasarinya. Setiap instrumen pembiayaan syariah harus menggunakan
akad-akad yang sesuai dengan prinsip syariah, serta harus memiliki aset riil
sebagai dasar transaksi. Di samping itu, Sukuk Negara juga tidak boleh
mengandung unsur-unsur yang dilarang syariah, seperti maysir (spekulasi),
gharar (ketidakjelasan), dan riba (bunga).
Menggarisbawahi hal di atas, Suminto menjelaskan bahwa
pada konteks tersebut keberadaan underlying
asset menjadi penting dalam penerbitan SBSN. Misalnya, dengan struktur
ijarah atau sewa menyewa akan terjadi transaksi sewa menyewa aset antara penerbit
dengan investor, sehingga pembayaran kupon atas SBSN tersebut adalah berupa
pembayaran uang sewa atas asset, bukan pembayaran bunga atas pinjaman yang
dilakukan penerbit kepada investor.
Fatwa
syariah
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI merupakan jawaban
atas permintaan dari Pemerintah. Sebelum menerbitkan suatu instrumen Sukuk
Negara baru, Pemerintah akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan DSN-MUI
mengenai skema akad syariah yang akan digunakan. Atas skema akad tersebut
Pemerintah kemudian mengajukan permohonan fatwa kepada DSN-MUI sebagai dasar
dan pedoman syariah penerbitan serta sebagai acuan dalam menyusun dokumen hukum
yang diperlukan. Sejak tahun 2008 sampai dengan kuartal pertama 2018, DSN-MUI
telah mengeluarkan enam buah Fatwa yang terkait dengan Sukuk Negara.
Sementara itu, Opini Syariah dikeluarkan oleh DSN-MUI
setelah terlebih dahulu dilakukan review menyeluruh terhadap aspek-aspek
penerbitan, antara lain struktur sukuk yang digunakan, akad dan perjanjian yang
terdapat dalam penerbitan sukuk, serta dokumen-dokumen lainnya termasuk metode penerbitannya.
Jika keseluruhan proses penerbitan sukuk telah sesuai dengan prinsip syariah,
maka dapat dikeluarkan opini syariah dimaksud. Sejak tahun 2008 sampai kuartal
pertama 2018, DSN-MUI telah mengeluarkan 31 opini syariah yang terkait dengan
penerbitan Sukuk Negara.
Mendunia
Melalui Global Sukuk
Pemerintah mulai menerbitkan Sukuk Negara di pasar
global sejak tahun 2009, yaitu melalui seri Sukuk Negara Indonesia (SNI) atau
yang dikenal dengan Global Sukuk, melalui format
stand alone. Selanjutnya, mulai tahun 2012, Sukuk Negara mulai diterbitkan
dengan format Islamic Global Medium Term
Notes (Islamic GMTN).
Menanggapi perkembangan tersebut, Executive Vice
President BCA Wealth Management, Eva Sumampouw, menyampaikan bahwa penerbitan
Global Sukuk tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 45 persen dari tahun
sebelumnya dan menyentuh angka USD97,9 miliar dengan kontribusi terbesar
berasal dari negaranegara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Maroko, dan
Tunisia.
Untuk tahun 2018, diperkirakan penerbitan pada Global
Sukuk berkisar pada USD80-90 Miliar dikarenakan harga minyak yang cenderung
lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dengan demikian, Sukuk Indonesia akan
menjadi salah satu altenatif yang diperhitungkan di Global Sukuk mengingat yield yang ditawarkan cukup menarik.
Sementara itu, pada awal tahun 2018, Indonesia berhasil
menjadi Negara pertama di dunia yang menerbitkan Sovereign Green Sukuk. Penerbitan Global Sukuk 2018 oleh DJPPR
Kemenkeu tersebut istimewa karena selain sebagai upaya diversifikasi investor,
sekaligus juga sebagai manifestasi komitmen Pemerintah pada Paris Declaration.
Tantangan
Dari sisi tantangan yang ada, Direktur Pembiayaan
Syariah, Suminto, mengungkapkan tantangan dalam pengembangan Sukuk Ritel sampai
saat ini adalah distribusi investor pembeli Sukuk Ritel yang belum merata. Pada
penerbitan terakhir Sukuk Ritel seri SR-010 secara nominal, investor terbesar
masih berada di wilayah Indonesia Bagian Barat (selain DKI Jakarta) sebesar
50,58 persen dan DKI Jakarta sebesar 39,36 persen.
Sedangkan untuk wilayah Indonesia Bagian Tengah dan
Indonesia Bagian Timur masih relatif kecil sebesar 10,56 persen dimana 9,48
persen bagian tengah dan 0,58 persen di Bagian Timur.
“Untuk itu, diperlukan berbagai upaya diseminasi kepada
masyarakat secara lebih efektif baik melalui media konvensional maupun online
untuk menarik minat masyarakat terutama di wilayah Indonesia Bagian Tengah dan Indonesia
Bagian Timur,” jelas
Suminto. Mendukung program tersebut, Department Head
Retail Deposit Group Bank Syariah Mandiri (BSM), Nurhidayati, mengungkapkan
bahwa pihaknya telah melakukan strategi promosi above the line dan below the
line. Untuk strategi above the line,
BSM melakukan pemasangan iklan di media cetak, media sosial, ataupun media
ruang. Sedangkan untuk strategi below the line, BSM melakukan sosialisasi
kepada investor juga kepada tenaga pemasar. Untuk wilayah Indonesia Timur
sendiri, BSM melakukan investor gathering
untuk meningkatkan tingkat literasi terhadap produk sukuk ritel.
Senada dengan BSM, Eva Sumampouw dari BCA Wealth
Management juga melakukan strategi khusus pemasaran untuk masyarakat Indonesia
bagian timur.
“Sosialisasi akan kami lakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan awareness mengenai
investasi yang sesuai dengan prinsip syariah,” jelasnya.(Abdul Aziz/MK/06/2018)