Revolusi Industri 4.0 Pada SDM Sektor Publik
![]() |
Foto Ilustrasi |
Istilah revolusi industri
4.0 pertama kali diperkenalkan pada “Hannover
Fair” di Jerman tahun 2011. Saat itu diperkenalkan teknologi cyber physical production systems
(CPPS). Teknologi ini kemudian diadopsi oleh Pemerintah Jerman dengan tajuk “Germany High-Tech Strategy 2020” dan
dijalankan dengan pembentukan Pokja “industrie
4.0”. Dari sinilah istilah revolusi industri 4.0 lalu menggema ke seluruh
dunia.
Selain CPPS ada beberapa
produk teknologi lain yang menandai bergulirnya revolusi ini. Misalnya,
kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin, robot kolaboratif, augmented virtual reality, manufaktur
aditif, komputasi awan, analitik data besar, dan internet untuk segala.
Dampak
Ketua Eksekutif Forum
Ekonomi Dunia, Professor Klaus Schwabb dalam bukunya “Revolusi Industri
Keempat” menyatakan, revolusi industri 4.0 memiliki skala, kompleksitas, dan
cakupan yang berbeda dari revolusi industri generasi sebelumnya. Pengaruhnya
akan sampai dengan bentuk, cara, dan kecepatan yang berbeda-beda.
Dampak tersebut tidak
selalu negatif. Misal pada tahun 2008, ketika Steve Jobs membuka peluang para
pengembang aplikasi di luar Apple untuk menciptakan aplikasi bagi iPhone. Siapa
yang menyangka pengembang aplikasi akan menjadi pekerjaan baru yang tujuh tahun
kemudian bernilai lebih dari 100 miliar dollar (Forum Ekonomi Dunia, 2016).
Lantas bagaimana
dampaknya? Jika revolusi industri 4.0 hanya mengefisiensikan model bisnis yang
ada tanpa memunculkan permintaan barang dan jasa baru, maka harus dimitigasi
karena berpotensi menciptakan efek disrupsi yang besar. Misalnya kemunculan
usaha baru dengan pendekatan “Lembah Silikon” seperti Uber, Go-Jek, Airbnb, dan
lain sebagainya bisa mematikan pemain lama seperti perusahaan taksi dan ojek pangkalan.
Sayangnya, bukti empiris
terakhir mengindikasikan revolusi industri 4.0 memang menciptakan tenaga kerja baru
yang lebih sedikit dibanding revolusi generasi sebelumnya. Ekonom Carl Benedikt
Frey bersama pakar pembelajaran mesin, Michael Osborne, pada 2013 lalu telah
menghitung kemungkinan komputer menggantikan peran manusia.
SDM
Sektor Publik
Setidaknya ada tiga
catatan jika dampak tersebut ditarik ke sektor publik di Indonesia.
Pertama
adalah jeda waktu Mengingat penelitian di atas dilakukan di negara-negara maju
dan berkonsentrasi di dunia bisnis, tentu akan ada jeda kapan dampak tersebut
dirasakan oleh aparatur sipil Indonesia. Bahkan di Indonesia masih ada yang
belum merasakan manfaat dampak revolusi industri 2.0, dengan belum teralirinya
listrik secara memadai pada 12.659 desa (Kementerian ESDM, 2016).
Kedua,
melihat pola euforia di pemerintahan, revolusi industri 4.0 masih berpusat
kepada perbaikan model bisnis. Tren tersebut terlihat dari berlomba-lombanya
instansi pemerintah mengembangkan aplikasi layanan online. Sementara, belum
banyak instansi mengidentifikasi peluang jabatan baru yang sebelumnya tak
pernah ada di sektor publik.
Catatan ketiga, meskipun mengarah pada perbaikan
proses bisnis, jumlah aparatur sipil nampaknya tidak serta merta terpangkas.
Selain karena aspek regulasi, sifat pekerjaannya yang berbasis manusia menuntut
manusia yang bertanggung jawab dan akuntabel dibalik setiap arus data dan
dokumen.
Rekomendasi
Sebagai Kementerian yang terdepan
dalam program reformasi dan transformasi kelembagaan, Kemenkeu perlu berperan
aktif menentukan arah transformasi digital organisasi.
Pertama,
dengan menguatkan inisiatif strategis Kemenkeu pada tema sentral. Inisiatif ini
sejalan dengan amanat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 59/KMK.01/2018. Dalam
hal ini, pembangunan The Enterprise Architecture for Ministry of Finance (TEAM)
dan kajian pembentukan unit/tim yang bertugas menyiapkan transformasi digital
Kemenkeu dapat diperkuat dengan memikirkan kembali SDM Kemenkeu 4.0. Tepatnya
SDM seperti apa yang mampu mendukung Kemenkeu menjadi organisasi yang tangkas
di era digital.
Kedua,
mulai mengidentifikasi keahlian-keahlian yang dibutuhkan di masa depan dan
celah yang ada sekarang. Tugas ini tidak ringan, mengingat negara-negara OECD
pun masih direkomendasikan untuk mengaudit kecakapan atau meninjau kemampuan
yang ada. Dengan begitu, mereka dapat melacak dan memetakan kompetensi yang
tersedia, di mana kompetensi tersebut tersebar dan belum tersebar, serta celah
kompetensi apa yang ada.
Ketiga,
menyiapkan porsi rumpun jabatan terkait TIK yang lebih banyak seperti yang
dilakukan di negara maju. Misalnya Australia, pada tahun 2017, rumpun jabatan
bidang ICT menduduki peringkat keempat terbesar (7.2 persen), setelah rumpun
pelayanan (24.8 persen), regulasi dan kepatuhan (15.6 persen); dan rumpun
administrasi (12.3 persen).
Keempat,
meningkatkan program pelatihan dan budaya pembelajaran. Adanya identifikasi
kekosongan keterampilan yang dibutuhkan, tentu akan memudahkan penyusunan
program pelatihan. Penanaman belajar sebagai budaya organisasi menjadikan SDM Kemenkeu
lebih peka terhadap dinamika perkembangan, termasuk teknologi.(MK/06/2018)
Revolusi
Industri 4.0 Pada SDM Sektor Publik
Oleh:
Pandu Rizky Fauzi
Pegawai
Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI