Memberdayakan Zakat Bagi Ekonomi Umat
![]() |
Sumber Foto: ukim.org |
Bukan hanya itu, Bank
Dunia juga meningkatkan peringkat Ease of Doing Business (EoDB)
Indonesia dari posisi 91 (2017) menjadi 72 (2018). Hal ini menunjukan bahwa
kondisi ekonomi dan bisnis di Indonesia menjadi lebih kondusif. Hal ini menarik
para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Namun di sisi lain,
kinerja perekonomian Indonesia yang baik tersebut dinodai isu kesenjangan
sosial. Rasio gini, rasio yang mengukur kesenjangan antara si kaya dan si
miskin, cenderung meningkat dari 0.33 pada 2013 menjadi 0.39 pada 2017.
Hal ini mengindikasikan
bahwa selisih pendapatan antara golongan masyarakat kaya dan miskin telah semakin
lebar. Dengan kata lain, sebagian besar manfaat dari aktivitas ekonomi
dinikmati oleh masyarakat golongan atas.
Peran
APBN
Untuk mengatasi hal
tersebut, pemerintah berkomitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih
inklusif. Diantaranya dengan mengimplementasikan berbagai kebijakan yang mendorong
kesetaraan sosial, seperti program bantuan sosial dan subsidi.
Dalam APBN-P 2017,
pemerintah mengalokasikan sekitar Rp160 trilliun untuk membantu masyarakat
miskin melalui program sosial dan bantuan keuangan. Namun, dana APBN yang
terbatas mendorong pemerintah untuk mencari sumber dana domestik lain yang
sejalan dengan tujuan pemerintah.
Memberdayakan
zakat
Salah satu sumber dana
domestik yang menjanjikan bagi perekonomian Indonesia adalah zakat. Zakat
adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Secara singkat, zakat
dapat menjadi instrumen yang dapat memaksa seorang muslim, sehingga mereka memberikan
sebagian hartanya untuk dikelola oleh lembaga zakat, khususnya untuk
pemberdayaan masyarakat fakir dan miskin. Sistem amal seperti ini sebenarnya
tidak hanya ada di dalam agama Islam, tetapi juga agama lain, seperti
sepersepuluh untuk umat Kristiani dan dana untuk umat Hindu.
Potensi
zakat Indonesia
Sebagai negara dengan
jumlah muslim terbanyak di dunia, Indonesia dapat mengeksplorasi manfaat zakat
sebagai instrument ekonomi. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2010, diketahui sebanyak 87.2 persen penduduk Indonesia atau lebih dari
200 juta orang memeluk agama Islam. Jumlah muslim yang berlimpah ini adalah
faktor kunci yang dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan dana zakat.
Penelitian yang dilakukan
oleh Firdaus (2012) mengestimasi bahwa potensi zakat mencapai 3.4 persen Produk
Domestik Bruto (PDB) tahun 2010. Jumlah ini mencakup zakat rumah tangga,
perusahaan, BUMN dan tabungan-deposito. Di samping itu, Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) memperkirakan potensi zakat Indonesia mencapai Rp268 trilliun
dengan pertumbuhan hingga 58 persen pada tahun 2018. Potensi yang besar serta
tren pengumpulan zakat yang terus meningkat menunjukan bahwa dana zakat cukup
signifikan dalam mendukung pemerintah mengatasi masalah sosial.
Praktik
saat ini
Dalam Undang-undang Zakat
Nomor 23 Tahun 2011, tujuan pengelolaan zakat bukan hanya untuk meningkatkan
manfaat zakat bagi kesejahteraan masyarakat, melainkan juga untuk membantu penanggulangan
kemiskinan.
Oleh karena itu, program
zakat juga diarahkan untuk kegiatan produktif, seperti mendorong mustahik
(penerima zakat) untuk memulai usaha, sehingga mendapat penghasilan yang
berkelanjutan.
Salah satu program yang
dijalankan BAZNAS adalah Zakat Community
Development (ZCD). Tujuan dari ZCD adalah untuk mengintegrasikan aspek
sosial dan ekonomi melalui zakat sebagai sumber pembiayaan. Termasuk, mendorong
pembangunan usaha yang memiliki nilai tambah.
Sebagai contoh, Enrekang,
sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan, mendapat bantuan berupa sapi perah untuk
20 kepala keluarga. Selanjutnya, setiap 10 kepala keluarga dibina untuk
memproduksi susu sapi dan diolah menjadi keripik dangke (keripik tradisional
dengan rasa mirip keju).
Hasil
penelitian
Penelitian oleh Beik dan
Arsyianti (2016) menganalisis dampak program zakat yang berasal dari Dompet
Dhuafa dan BAZNAS Jakarta di dua area, yaitu Kabupaten Bogor dan Jakarta. Dari
hasil wawancara dengan lebih dari 200 responden, penelitian ini menyimpulkan
bahwa zakat dapat meningkatkan kesejahteraan mustahik sebesar 98,7 persen.
Selain itu, Ayuniyyah et.
al (2017) juga menganalisis dampak program distribusi zakat dari BAZNAS di area
yang lebih luas yakni Bogor, Depok, dan Sukabumi. Dengan mengambil 1.309 sampel, penelitian ini
menunjukan bahwa setelah satu tahun menerima program zakat, Rasio Gini menurun
0.017 poin. Hal ini mengindikasikan bahwa zakat dapat memperbaiki masalah
kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Kendala
saat ini
Meskipun program zakat
sejalan dengan program Pemerintah dalam mengatasi kesenjangan dan kemiskinan,
optimalisasi dana zakat masih menghadapi kendala. Secara lebih khusus, kendala
yang dihadapi terkait dengan kepercayaan publik.
BAZNAS mencatat bahwa pada
2016, dana zakat yang terhimpun sebesar Rp3.8 trilliun atau hanya sekitar 3 persen
dari potensinya. Hal ini mengindikasikan bahwa selisih antara realisasi dan
potensi zakat masih sangat besar. Selanjutnya pada 2017, hanya terdapat 132
ribu pembayar zakat yang teregistrasi dalam sistem BAZNAS atau kurang dari 1
persen populasi muslim di Indonesia.
Melihat fakta yang
terjadi, penelitian oleh Firdaus (2012) menyimpulkan bahwa sebagian besar
muzaki (pembayar zakat) di Indonesia lebih suka membayar zakat ke institusi
informal dan cenderung tidak percaya terhadap lembaga zakat formal. Hal ini cukup
beralasan, sebab penelitian tersebut juga melihat adanya masalah di dalam organisasi
pengelola zakat yang cenderung lemah dan kurang professional dalam mengelola
dana zakat.
Penelitian terkait praktik
zakat di Negara tetangga, rupanya tidak jauh berbeda. Ahmad (2006) melakukan
penelitian dengan menggunakan data primer untuk melihat pengaruh kepuasan
pembayar zakat terhadap program dari lembaga zakat. Hasilnya, 50 persen dari
753 responden di Malaysia merasa tidak puas dengan program zakat. Hal ini
kemudian secara signifikan mempengaruhi preferensi mereka untuk membayar zakat di
lembaga formal.
Studi lain juga mengatakan
bahwa sebagian besar muzaki di Malaysia menganggap bahwa informasi atas distribusi
zakat tidak jelas dan kurang lengkap. Hal ini mengindikasikan bahwa transparansi
penyaluran dana zakat adalah keharusan guna menarik para muslim untuk membayar
zakat melalui lembaga resmi.
Kepercayaan
jadi kunci
Membangun kepercayaan dan
menjalin hubungan baik antara pembayar zakat dan lembaga zakat menjadi faktor
kunci dalam mendorong optimalisasi dana zakat di Indonesia. Selain itu, lembaga
zakat perlu membangun citra positif untuk menarik para muzaki membayarkan
zakatnya ke lembaga.
Melalui kemajuan
teknologi, lembaga zakat bisa memanfaatkan jaringan internet guna membuat
sistem yang terintegrasi ke semua pihak. Baik dari sisi muzaki, mustahik,
maupun lembaga zakat. Dengan aplikasi yang mungkin dapat terhubung ke ponsel
pintar (smart phone), publik dapat mengakses informasi mengenai zakat dan
mengawasi programnya dengan mudah. Harapannya, sistem ini akan mendorong
transparansi, sehingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelola dana
zakat.
Efisiensi
dan edukasi
Hal penting lain yang
perlu dilakukan lembaga zakat adalah mencari cara baru untuk mengumpulkan zakat
secara lebih efisien. Misalnya, menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan.
Melalui bantuan lembaga keuangan, seperti bank syariah, proses transaksi
pembayaran zakat maupun pencatatannya bisa lebih cepat dan efektif.
Adanya integrasi antara
data muzaki yang telah terdaftar dengan data di perbankan, memungkinkan para
muzaki memperoleh kemudahan guna mengatur dan menjadwalkan pembayaran zakatnya.
Hal yang tidak kalah
penting, edukasi ke masyarakat akan manfaat membayar zakat di lembaga formal
turut menjadi isu fundamental. Lembaga zakat perlu menggunakan cara kreatif
untuk mengajak para muslim agar bersedia menyisihkan sebagian hartanya melalui
lembaga zakat. Untuk saat ini, edukasi melalui media sosial bisa menjadi alternatif
pilihan.
Kesimpulan
Secara umum, potensi dana zakat
Indonesia sangat besar dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan. Namun,
rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga zakat menjadi penghambat dalam
mencapai pengumpulan zakat yang optimal. Untuk itu, diperlukan evaluasi dari
tiap lembaga zakat di Indonesia. Dengan membayar zakat melalui lembaga formal,
seorang muslim bukan hanya menunaikan kewajibannya, melainkan juga berkontribusi
terhadap kemajuan ekonomi nasional.
Zakat
Bisa Jadi Solusi
Oleh:
Masyitha Mutiara Ramadhan
Pegawai
Badan Kebijakan Fiskal
Sumber:
Media Keuangan, Juni 2018