Breaking News

Perekonomian Indonesia Siap Lepas Landas

Perekonomian Indonesia Siap Lepas Landas - Terdapat fakta menarik di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya sedikit meningkat di tahun 2017. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, investasi tumbuh jauh di atas 5,0 persen dalam setahun dan berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi secara umum yang tertahan oleh konsumsi yang relatif rendah. Ke depannya, menjaga stabilitas sumber-sumber pertumbuhan ini penting, terutama dengan risiko yang terlihat di awal 2018.

Foto Ilustrasi

Kinerja perekonomian indonesia 2017 sesuai rilis terkini

Kinerja perekonomian Indonesia di tahun 2017 sebagaimana dilansir oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan sedikit perbaikan saja. Secara tahunan, perekonomian yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) ini hanya bertumbuh 5,07 persen, sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 5,03 persen. Meskipun meningkat, pertumbuhan ekonomi ini cenderung lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya yang menjadi mitra dagang utama Indonesia seperti India, Tiongkok, Vietnam, dan Malaysia. Indikator lainnya seperti pendapatan per kapita juga menunjukkan bahwa kinerja perekonomian masih perlu diakselerasi ke depannya.

Sumber pertumbuhan perlu dijaga

Terdapat empat komponen PDB berdasarkan pengeluaran, yaitu konsumsi, investasi, sektor Pemerintah, dan nilai ekspor bersih. Dari total pertumbuhan ekonomi, konsumsi menjadi penyumbang terbesar yaitu 2,76 persen atau lebih dari separuhnya. Meskipun penyumbang terbesar, jumlah sumbangan konsumsi menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang menunjukkan pertumbuhan konsumsi tidak sebesar pertumbuhan komponen lainnya.

Secara tahunan, konsumsi hanya bertumbuh 4,98 persen atau lebih rendah dari tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya faktor penahan yang salah satunya disebabkan oleh kenaikan harga barang (inflasi). Selain lebih tinggi dari tahun 2016, kenaikan harga di Indonesia juga lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Hanya Malaysia yang kenaikan harganya lebih tinggi di tahun 2017. Selain kenaikan harga yang ditengarai menjadi penyebab penurunan daya beli masyarakat, penurunan konsumsi juga disinyalir disebabkan oleh adanya perubahan pola konsumsi masyarakat yang selaras dengan hasil survei rumah tangga yang  dilakukan oleh Bank Indonesia.

Meskipun konsumsi rumah tangga tertekan, komponen lainnya seperti investasi, ekspor bersih, serta konsumsi Pemerintah dapat tumbuh cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sehingga menopang pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan investasi cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya ataupun lima tahun terakhir yang tidak pernah mencapai lebih dari 5 persen. Tahun 2017, investasi tercatat tumbuh 6,15 persen, bahkan di dua kuartal terakhir pertumbuhannya mencapai lebih dari 7 persen.

Selain diindikasikan berasal dari peralihan konsumsi, pencapaian investasi ini juga merupakan hasil dari beberapa faktor lainnya, seperti stabilitas makro ekonomi, iklim investasi yang membaik sebagai hasil dari penyederhanaan prosedur dan deregulasi investasi, pemberian insentif fiskal, sinkronisasi kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah, dan perbaikan skema kerjasama pembangunan infrastruktur antara Pemerintah dan badan usaha. Faktor terakhir didukung oleh data realisasi penanaman modal di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menunjukkan besarnya kontribusi sektor listrik, air, dan gas.

Meskipun sudah banyak diakui oleh komunitas internasional seperti PBB dan Bank Dunia masing-masing melalui World Investment Report dan survei Ease of Doing Business dimana peringkat Indonesia berhasil mencapai di atas peringkat Tiongkok, tentunya investasi masih bisa ditingkatkan, terutama investasi langsung sebagai jenis investasi yang sangat sustainable (Jenis investasi seperti investasi portofolio dan investasi lain bersifat less sustainable). Untuk kawasan Asia Tenggara, investasi langsung ke Indonesia berada dibawah Singapura dan Malaysia. Sedangkan di kawasan Asia, investasi langsung yang masuk ke Indonesia hanya 0,6 persen dari total investasi langsung di kawasan.

Di luar investasi, nilai ekspor bersih juga meningkat sehingga berkontribusi ke total pertumbuhan PDB sebesar 0,3 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Faktor positif seperti kenaikan ekspor sektor manufaktur, kondusifnya harga komoditas dunia, serta kebijakan relaksasi energi telah mendukung kenaikan ini. Namun demikian, kinerja ekspor bersih perlu terus ditingkatkan stabilitasnya. Pertumbuhan nilai ekspor bersih di kuartal keempat yang menurun dan bernilai negatif 0,67 miliar dolar AS di Januari 2018 sebagai akibat kenaikan impor yang cukup tinggi perlu diwaspadai lebih lanjut.

Konsumsi Pemerintah sebagai pemegang share terkecil juga memiliki andil positif terhadap pertumbuhan PDB. Ini dilakukan dengan tetap menjaga stabilitas fiskal yang termasuk terbaik di kawasan. Keseimbangan fiskal Indonesia di tahun 2017 hanya lebih rendah dari Singapura dan Australia.

Stabilitas terjaga meski terdapat risiko

Indikator keseimbangan eksternal seperti nilai tukar Rupiah cukup stabil, baik di 2017 maupun awal 2018, meskipun mulai terlihat adanya risiko di bulan Februari 2018. Pada bulan Januari, nilai tukar Rupiah terapresiasi satu persen menuju Rp13.413 per dolar AS dari posisi penutupan akhir 2017 seiring cadangan devisa yang meningkat menjadi sebesar 131,98 miliar dolar AS. Selain itu, tingkat imbal hasil obligasi Pemerintah 10 tahun juga menurun 5,1 basis poin dari awal tahun menuju 6,27 persen.

Sedangkan di bulan Februari 2018, mulai terjadi destabilitas nilai tukar Rupiah seiring gejolak di pasar keuangan global karena sentimen kekhawatiran investor terhadap kenaikan Fed Fund Rate (FFR) AS. Sementara itu, peningkatan volatilitas sebesar 13 basis poin terjadi di bulan Februari 2018 sampai dengan 19 Februari 2018 dimana Rupiah ditutup di level Rp13.443 per dolar AS. Hal ini seiring dengan kenaikan yield sebesar 19 basis poin menuju 6,55 persen dan outflow di pasar saham dan obligasi Pemerintah sebesar masing-masing Rp8,44 triliun dan Rp14,64 triliun.

Dengan penajaman kebijakan, pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat

Dengan adanya perbaikan harga komoditas dan faktor penggerak konsumsi, seperti aktivitas pemilihan kepala daerah dan Presiden di 2019, pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, serta persiapan Asian Games, maka risiko perekonomian secara umum dinilai masih positif (upside risk).

Namun ke depannya, perlu diwaspadai risiko negatif sebagaimana dipaparkan di atas yaitu potensi dampak kenaikan FFR. Apabila ritme kenaikan FFR tidak sesuai dengan ekspektasi pasar, terdapat kekhawatiran gejolak pasar akan terus berlanjut. Kekhawatiran ini beralasan karena seiring dengan aksi jual yang cukup besar pada pasar saham AS dan Indonesia pada Februari 2018.

Untuk memitigasi dampaknya ke Indonesia lebih lanjut, beberapa strategi Pemerintah untuk mencegah penarikan modal tiba-tiba (sudden reversal) perlu terus dilakukan, seperti menjaga keseimbangan fiskal, melakukan strategi pembiayaan front loading (melakukan hutang di awal tahun) serta melanjutkan koordinasi yang erat dengan lembaga terkait.

Selain itu, bauran kebijakan publik untuk menjaga performa sumber-sumber pertumbuhan terutama investasi juga perlu terus dilakukan. Hal ini penting di tengah keterbatasan kapasitas investasi Pemerintah saat ini.

Insentif fiskal sebagai salah satu bentuk dukungan Pemerintah akan dipertajam untuk mendukung investasi dunia usaha pada semua level. Pada level awal proses investasi, hal itu dapat dilakukan melalui dukungan dalam kemudahan berusaha, selanjutnya di level menengah dilakukan melalui penyediaan infrastruktur untuk memperlancar arus barang (logistik) dan dukungan kemudahan impor barang modal, serta di level akhir terkait kemampuan reinvestasi melalui insentif fiskal seperti keringanan pajak. Selain itu, di pasar pembiayaan, Pemerintah akan terus mendorong peningkatan akses pendanaan dan pengembangan skema pembiayaan inovatif.

Oleh: Adelia Pratiwi
Pegawai Badan Kebijakan Fiskal
Sumber: Media Keuangan Maret 2018