Ekonomi Digital dan Pajak E-Commerce
Perpres
tersebut dikeluarkan dengan menggunakan pertimbangan bahwa ekonomi berbasis
elektronik mempunyai potensi ekonomi yang besar dan merupakan salah satu tulang
punggung perekonomian nasional. Selain itu, perpres tersebut juga mengamanatkan
bahwa dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan potensi ekonomi berbasis
elektronik, pemerintah perlu mendorong percepatan dan pengembangan sistem
perdagangan nasional berbasis elektronik (e-commerce),
usaha pemula (startup), pengembangan
usaha, dan percepatan logistik.
Beberapa
program yang menjadi tujuan dari perpres tersebut mencakup program pendanaan,
perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, infrastruktur
komunikasi, logistik, keamanan siber, dan pembentukan manajemen pelaksana peta
jalan SPNBE 2017-2019. Di satu sisi, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi,
pelayanan publik yang sama menjadi hak bagisetiap warga negara, namun di sisi
lain setiap warga negara juga memiliki kewajiban yang sama untuk berpartisipasi
membangun negara melalui pajak. Dalam hal ini, pemerintah melalui Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) mempunyai tugas berat mewujudkan keadilan ekonomi bagi
semua warga negara melalui instrumen perpajakan.
Menanggapi
peran tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan
bahwa dalam menghadapi era ekonomi digital saat ini, masyarakat perlu memaksimalkan semua kesempatan yang ada
untuk mencapai kesejahteraan bangsa dan negara. Untuk mendukung hal itu, negara
akan selalu hadir sebagai pembuat kebijakan untuk menciptakan kesempatan yang
sama bagi semua kalangan.
“Kalau
opportunity sebegitu besar, the next adalah who can actually capitalize opportunity itu. Di sini letak public policy di Indonesia. That will heavily focusing on how we can
create an equal opportunity,” jelas Menkeu dalam Seminar Ekonomi Nasional
dengan tema ‘Quo Vadis Ekonomi Digital Indonesia’ di Hotel Mulia, Jakarta pada
tanggal 21 Februari 2018.
Menyamakan level of playing field
Sebagai
pembuat regulasi di bidang fiskal, Kemenkeu merespons isu keadilan ekonomi
dengan menyusun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait perpajakan e-commerce.
Menurut Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal
(BKF), Rofyanto Kurniawan, memang saat ini harus diakui bahwa perdagangan
melalui e-commerce telah mampu menjadikan model bisnis jauh lebih efisien dibandingkan
dengan perdagangan konvensional.
Di
sisi lain, data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan adanya
pergeseran pola belanja masyarakat yang beralih pada produk-produk e-commerce. Di sini, menurutnya,
pemerintah perlu memberikan equal treatment
atau perlakuan yang sama terhadap pelaku e-commerce.
“Kalau pedagang yang punya toko di mal, mereka bayar pajak, maka yang e-commerce juga harus kena pajak,
sehingga mereka semua mendapat perlakuan yang sama di bidang perpajakannya
sesuai aturan pajak yang berlaku,” jelas Roffy.
Terkait
dengan jenis pajak untuk e-commerce, Direktur Peraturan Perpajakan II (PP II), Yunirwansyah,
menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada jenis pajak baru. Dalam hal ini,
penerapan pajak e-commerce hanya akan melaksanakan ketentuan dalam peraturan
yang telah ada saat ini, yaitu Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh wajib pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu.
“Ketentuan
UU PPh dan UU PPN sebenarnya saat ini sudah cukup mengatur, namun karena adanya
kekhususan dalam model transaksinya, maka tata cara pemungutan atau penyetoran
pajaknya perlu untuk diatur agar memberikan kemudahan dan kesederhanaan
administrasinya untuk seluruh model transaksi digital ekonomi,” jelasnya.
Mekanisme perpajakan
Terkait
dengan tata cara pemungutan, Yustinus Prastowo, Direktur Center for Indonesia
Taxation Analysis (CITA), menjelaskan bahwa e-commerce atau perdagangan
elektronik merujuk kepada jual beli melalui sistem elektronik, yaitu melalui
jaringan internet, dan memungkinkan transaksi dilakukan lintas batas tanpa
harus ada toko secara fisik serta tatap muka penjual dan pembeli. Hal tersebut
dapat terjadi karena seluruh kegiatan bisnis dilakukan melalu sistem internet
atau online.
Menurutnya,
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri telah memetakan e-commerce di Indonesia
ke dalam empat model bisnis yang tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-62/ PJ/2013, yakni Online Marketplace (misalnya tokopedia.com),
Classified Ads (misalnya tokobagus.com), Daily Deals (misalnya lakupon.com),
dan Online Retail (misalnya lazada.com).
Lebih
jauh, Yustinus menjelaskan pilihan skema perpajakan e-commerce yang bisa
diterapkan oleh pemerintah. Untuk PPN, para pelaku e-commerce wajib menjadi
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan memungut PPN atas penyerahan barang dan/atau
jasa apabila omset setahunnya melebihi Rp4,8 miliar.
Pemanfaatan
skema PPN final dengan tarif lebih rendah dari tarif normal dapat menjadi
pertimbangan dalam menggali potensi penerimaan yang efektif dengan potensi
jumlah yang cukup tinggi.
Senada
dengan hal tersebut, Kepala PKPN, Roffy, juga menjelaskan bahwa rencana tarif
PPh 0,5 persen akan diterapkan dalam bentuk prepayment atau kredit pajak,
sehingga dapat dikreditkan terhadap SPT Tahunan
wajib pajak. Untuk tarif SPT-nya akan menyesuaikan dengan tarif pada UU
PPh dan PP 46 Tahun 2013. Sementara itu, PPN hanya akan dikenakan kepada penjual
dengan omset lebih dari Rp4,8 miliar.
“Jadi
barang yang dibeli di marketplace itu kalau dibeli akan dikenakan PPh 0,5
persen, kemudian kalau PKP yang omsetnya di atas Rp4,8 miliar dikenakan PPN 10
persen. Tetapi kalau pedagang kecil hanya dikenakan PPh 0,5 persen sebagai
bagian dari perpajakan keseluruhan. Kalau untuk pengusaha kecil yang sifatnya coba-coba,
itu sudah final dengan PPh 0,5 persen,” ujar Roffy.
Menurutnya,
dengan tarif yang kecil tersebut tidak akan menyebabkan penjual keluar dari
marketplace dan pindah ke media sosial karena adanya trust atas penjaminan dari
marketplace melalui escrow account atau rekening bersama.
“Paling
tidak secara garis besar marketplace mampu memenuhi kebutuhan serta ada
perlindungan kepada pembelinya, dan juga ada mekanisme komplain dan sebagainya.
Dengan begitu otomatis pajak 0,5 persen akan dapat mendukung peningkatan
compliance dan tetap mendukung masyarakat untuk belanja di marketplace,”
jelasnya.
Sementara
itu, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak (PKP) DJP, Yon Arsal,
turut menjelaskan bahwa terkait tantangan dalam pengumpulan data, DJP akan
melakukan upaya optimalisasi data internal sebagai basis data penerapan pajak
e-commerce. Selain itu, DJP juga sedang berkoordinasi dengan seluruh instansi
dan pihak terkait untuk bekerja sama dalam memperoleh basis data pelaku dan transaksi
e-commerce, seperti Kementerian Koordinator Perekonomian selaku koordinator
penanggung jawab Peta Jalan SPNBE, Kementerian Komunikasi dan Informatika dan
Kementerian Perdagangan selaku pembuat regulasi terkait tata cara pemberian
izin pelaku e-commerce, Bank Indonesia selaku pengawas sistem National Payment
Gateway untuk transaksi e-commerce, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Jasa Keuangan
terkait data dan informasi perbankan maupun jasa keuangan, serta asosiasi e commerce
di Indonesia atau perwakilan industri e-commerce lainnya.
Transaksi cross border
Sementara
itu, pemerintah juga ingin memberikan perlindungan dan keadilan domestik yang
tegas untuk transaksi yang berasal dari luar negeri, atau biasa disebut dengan
transaksi cross border. Di sini, peran Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai (DJBC) menjadi sangat penting. Menurut Djanurindro Wibowo, Kepala Subdirektorat
Impor DJBC, transaksi cross border saat ini dapat dibagi menjadi dua jenis,
yakni untuk barang berwujud (tangible goods) dan barang tidak berwujud/barang digital
(digital goods).
Lebih
jauh, Djanur menjelaskan bahwa mekanisme pengiriman barang impor atas transaksi
e-commerce berwujud saat ini terdiri dari dua kemungkinan skema. Pertama, skema
melalui impor barang kiriman yang diatur pemungutan Bea Masuknya dengan PMK
Nomor 182 Tahun 2016 melalui Perusahaan Jasa Titipan atau penyelenggara pos
yang ditunjuk. Yang kedua adalah melalui impor dengan pemberitahuan umum
melalui Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan menggunakan jasa kargo udara
maupun kargo laut dalam bentuk konsolidasi.
Sementara
itu, transaksi cross border untuk barang digital juga menjadi tantangan
tersendiri bagi Kemenkeu, terutama untuk barang digital yang bersifat over the
top (OTT). Menurutnya, jenis-jenis barang digital yang masuk dalam kategori
transaksi cross border mencakup semua jenis data digital yang dapat
ditransmisikan baik berupa piranti lunak, multimedia termasuk film dan musik,
data berupa siaran televisi, data penggerak permesinan, desain, big data yang
dilakukan penyimpanan dengan storage cloud, maupun sosial media baik dengan
cara dikirim atau dialirkan (streaming).
“Tantangan
pihak bea cukai di seluruh dunia adalah memastikan bahwa perdagangan memperoleh
perlakuan yang adil, level playing field yang sama, antara perdagangan
konservatif yang membayar pajak dan cara digital yang dapat ditransmisikan,”
jelasnya.
Satu
pandangan dengan DJBC, Rubino Sugana, Lead Revenue Adviser of Australia
Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG), menjelaskan bahwa
permasalahan e-commerce untuk produk digital lintas negara menjadi tantangan
tersendiri bagi seluruh negara di dunia.
“Sebenarnya
impor jasa atau barang digital pun harusnya bayar PPh dan PPN, tetapi memang
lebih susah. Akan tetapi, perusahaan besar seperti Netflix, Google, Facebook,
Twitter ini kan public company. Mereka sangat concern terhadap reputasinya.
Jadi kalau kita punya aturan yang jelas bahwa semua jasa ini kena pajak, mereka
kemungkinan besar akan patuh,” jelasnya.
Di
sisi lain, Direktur PP II, Yunirwansyah, juga menjelaskan bahwa saat ini sudah
banyak negara lain yang menerapkan pajak e-commerce dan mampu memperoleh hasil
yang signifikan.
Ia
mencontohkan India, misalnya, mengambil langkah unilateral dengan mengenakan
Equalization Levy (EQL) atas transaksi digital ekonomi mulai 1 Februari 2016, sedangkan
Inggris mulai 1 April 2015 telah menerapkan Diverted Profit Tax (DPT) dengan
tarif 25 persen atas laba usaha yang dialihkan ke luar negeri.
Sementara
itu, Australia menerapkan Multinational AntiAvoidance Law (MAAL) secara efektif
pada 1 Januari 2016 dengan tarif 40 persen dari diverted profit, serta Jepang
melakukan perubahan UU Pajak Konsumsi untuk mengatur pajak konsumsi atas jasa e-commerce
dengan tarif 8 persen dari nilai transaksi.
Keadilan Untuk Semua Kalangan
Oleh: Abdul Aziz
Sumber: Media Keuangan Maret 2018