Menyongsong Kematian dan Memaknai Kehidupan (Resensi Buku Syaikh Siti Jenar #5: Suluk Sang Pembaharu)
...Ketahuilah oleh kalian semua bahwa sang Maut tidak pernah datang terlambat dan tidak pula pernah datang terlalu cepat. Dia selalu datang pada saat yang tepat. Karena itu wahai engkau sekalian yang pernah lahir ke dunia dan menjadi bagian dari kehidupan dunia, bersiagalah kalian semua untuk menyongsong sang Maut dengan cara yang gagah dan penuh kemenangan dimanapun kalian berada... (halaman 190).
![]() |
Deden Firdaus |
Demikian salah satu isi khotbah Syaikh Abdul Jalil
untuk memompa semangat para laskar muslim Caruban pimpinan Syaikh Duyuskhani
yang mulai luntur semangat juangnya menghadapi pasukan Rajagaluh yang dipimpin
Ki Gedeng Leuwimunding. Peperangan yang terjadi demi terbentuknya tatanan
masyarakat baru yaitu Masyarakat Ummah
dan wilayahal-Ummah menggantikan
tatanan lama Kawula- Raja yang bersifat feodalistik.
Gagasan masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah lahir dari refleksi Syaikh Siti Jenar melihat kondisi
masyarakat yang ada. Nilai-nilai dan tatanan lama yang dipengaruhi budaya
feodal kawula-raja, serta masih mengakarnya hal hal berbau magis dan takhayul
sebagai warisan budaya masyarakat asli Campa
yang mengalami transformasi kultural dan berpengaruh pada masyarakat Majapahit
saat itu.
...Semakin jelaslah bagi Abdul Jalil bahwa tugas yang dipikulnya benar-benar berat, la tidak hanya dituntut untuk berjuang memengaruhi perubahan komunitas masyarakat di Sunda yang bermental budak menjadi komunitas bermental tuan, atau menjadikan orang-orang Majapahit yang "gila" keagungan dan penaklukan menjadi orang-orang yang rendah hati dan menghargai orang lain, tetapi harus juga menghadapi "mental kalah" orang-orang Campa yang sudah memengaruhi orang-orang Majapahit dan Sunda.... (halaman 49).
Dengan berbekal keyakinan dan semangat juang yang
tinggi demi mewujudkan impian luhurnya tersebut, Syaikh Abdul Jalil mulai
melakukan gerakan kultural sekaligus struktural yang pada puncaknya ide sang
Syaikh diamini oleh para petinggi kerajaan-kerajaan pesisir saat itu yang dipelopori
oleh Raden Ali Rahmatullah mantan Bupati Surabaya sekaligus cucu dan mantu Arya
Lembu Sura Sang Raja Surabaya pada masa Prabu Kertawijaya.
Pertemuan yang dilakukan di Mesjid Ampel Denta ini
melahirkan beberapa kesepakatan bersama diantaranya pembentukan semacam Dewan
Syura yang dinamakan Bhayangkari Islah
yang anggotanya terdiri atas pimpinan daerah dan tokoh agama, serta
terbentuknya dua Wall al-Ummah Sayyid
Husayn dipercaya menjadi wali al-Ummah wilayah Madura dan sekitarnya dan Prabu
Satmata dipercaya sebagai wali al-Ummah wilayah Nusa Jawa mulai Surabaya,
Tedunan, Tandhes, Siddhayu, Tuban, Rembang, Demak, Jepara, Semarang hingga
Kendal. Kesepakatan lainnya adalah berbagi tugas. Syaikh Abdul Jalil menerima
tugas mengajarkan sasyahidan yaitu
pengajaran tentang makna syahadat bagi masyarakat Majapahit saat itu. "..Akhirnya dengan suara bulat Abdul
Jalil disepakati menangani tugas utama mensyahadatkan penduduk melalu
pengajaran Sasyahidan... "(halaman 135).
Benturan antara gerakan yang menginginkan terciptanya
nila-nilai baru dengan gerakan untuk mempertahankan nilai-nilai lama mengakibatkan
terjadinya perang besar antara Rajagaluh dengan Caruban Larang. Perang Saudara
antara Prabu Chakraningrat yang dipertuan Rajagaluh dan Sri Mangana Ratu Caruban
Larang tak terhindarkan. Kecerdikan Sri Mangana dalam mengatur taktik dan siasat
perang dengan mengangkat Nyi Mas Gandasari sebagai Panglima Perang ternyata membuahkan
kemenangan dengan takluknya Rajagaluh dibawah kemenangan Caruban Larang.
Walaupun demikian tugas Sang Syaikh belumlah usai.
Kemenangan perang tersebut justru menjadi titik awal tugas berat sang syaikh
melakukan gerakan kultural pada masyarakat Majapahit. Tugas utama sang Syaikh
adalah menjadikan manusia manusia Nusa Jawa dan pesisir Majapahit saat itu kembali
menyadari hakikat kemanusiannya dan berproses menjadi adimanusia yaitu manusia-manusia
yang melampaui kemanusiannya. Manusia yang sadar akan hakikat dirinya serta
memiliki spirit menciptakan perbaikan pada lingkungannya.
Walaupun hari ini Sang Syaikh telah wafat namun
ajarannya masih relevan dengan zaman modern. Kearifan dan ajaran Syaikh Siti
Jenar ibarat oase bagi dahaga spiritualitas kita yang saat ini tergerus oleh
arus modernitas dan hegemoni hedonisme.
Ajaran Sang Syaikh mendorong kita menjadi manusia bebas dan merdeka yang mampu menerjemahkan
spirit ketuhanan dalam kerja- kerja kemanusiaan.
Terbanglah ke angkasa kebebasanmu o Saudaraku. Terbanglah melampaui keburunganmu yang kecil sampai engkau menjelma menjadi rajawali, pengarung kesunyian dan pecinta kehampaan. Terbanglah terus sampai sayap-sayapmu menjadi sayap-sayap malaikat yang menembus "tirai gaib" kehampaan, (halaman 322)
Buku yang ditulis oleh Ki Agus Sunyoto ini adalah seri
kelima tentang perjalanan Syaikh Siti Jenar. Buku ini dapat membawa pembaca
menyusuri "pengalaman sejarah"
kembali hidup pada masa kerajaan Majapahit ketika Syaikh Abdul Jalil masih
hidup. Buku yang terdiri atas 14 bab ini sarat akan nilai dan filosofi
kehidupan. Dalam buku inipun pembaca akan dibuka wawasannya tentang spirit universal
dari ajaran Hindu, Buddha dan Islam yang sejalan dengan semangat zaman saat
ini.
Pengetahuan dan pengalaman penulis akan sejarah
kerajaan-kerajaan di Nusantara serta nilai nilai universal dari berbagai agama,
menjadikan buku ini menarik dikaji terutama bagi kalangan peminat sejarah dan
perkembangan agama-agama di Indonesia. Bagi masyarakat awam, buku ini menarik untuk
diselami karena ia mengandung nilai-nilai mendalam tentang kearifan lokal dan
universal.
Wassalam
Menyongsong
Kematian dan Memaknai Kehidupan (Resensi Buku Syaikh Siti Jenar #5: Suluk Sang
Pembaharu)
Oleh:
Deden Firdaus
Pecinta
Buku, Alumnus Magister Filsafat Islam ICAS Paramadina Jakarta
JudulBuku: Syaikh Siti Jenar #5:Suluk Sang Pembaharu
No.ISBN: 9786024410148
Penulis: Agus Sunyoto
Penerbit: Mizan
Tanggal terbit: Maret-2017
JumlahHalaman: 324 halaman
BeratBuku: 250 gr
JenisCover: Soft Cover
Dimensi(LxP): 130x190mm
Kategori: Sejarah Fiksi