Ekspor Batik Indonesia Capai 51,15 Juta Dolar AS
Ekspor Batik Indonesia Capai 51,15 Juta Dolar AS - Kementerian Perindustrian mencatat nilai ekspor batik
dan produk batik hingga Oktober 2017 mencapai US$ 51,15 juta. Nilai itu naik
dibandingkan capaian semester I tahun 2017 yang berjumlah US$ 39,4 juta. Tujuan
utama pasar ekspor batik Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.
Industri batik berperan penting dalam pertumbuhan
ekonomi nasional. Sektor yang didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM)
ini mampu menyumbang devisa negara yang cukup signifikan dari ekspor.
“Industri batik nasional memiliki daya saing komparatif
dan kompetitif di pasar internasional. Indonesia menjadi market leader yang menguasai pasar batik dunia,” kata Dirjen IKM
Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih pada Pembukaan Pameran dan
Deklarasi Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) di Museum Tekstil
Jakarta, Rabu (20/12).
Menurut Gati, perdagangan produk pakaian jadi dunia
yang mencapai USD442 miliar menjadi peluang besar bagi industri batik untuk
meningkatkan pangsa pasarnya, mengingat batik sebagai salah satu bahan baku
produk pakaian jadi.
“Batik telah bertransformasi menjadi berbagai bentuk
fesyen, kerajinan dan home decoration
yang telah mampu menyentuh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai kelompok
usia dan mata pencaharian di dalam dan luar negeri,” paparnya.
Hingga saat ini, IKM batik tersebar di 101 sentra
seperti di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan D.I Yogyakarta. Jumlah
tenaga kerja yang terserap di sentra IKM batik mencapai 15 ribu orang.
Dalam upaya mendongkrak produktivitas dan daya saing
IKM batik, Kemenperin telah melakukan berbagai program strategis, antara lain
peningkatan kompetensi sumber daya manusia,
pengembangan kualitas produk, standardisasi, fasilitasi mesin dan
peralatan, serta kegiatan promosi dan pameran batik di dalam dan luar negeri.
Guna meningkatkan akses pasar, Gati menambahkan,
pihaknya memiliki program e-Smart IKM
yang bekerja sama dengan beberapa marketplace.
“Melalui program e-Smart
ini produk batik di dorong untuk memasuki pasar online, sehingga memiliki
jangkauan pasar yang lebih luas karena dapat diakses oleh konsumen dari
berbagai daerah,” jelasnya.
Kemenperin juga mendorong agar para perajin batik
memperoleh berbagai fasilitas pembiayaan seperti kredit usaha rakyat (KUR),
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonsia (LPEI) dan insentif lainnya untuk memperkuat
struktur modalnya.
“Dengan demikian, diharapkan industri batik nasional
dapat tumbuh signifikan dan daya saingnya meningkat,” imbuhnya.
Gati berharap, pengembangan industri batik nasional
dapat dijalankan secara kolaborasi antara pemerintah dengan akademisi, pelaku
usaha, dan komunitas.
“Hal ini sangat penting karena setiap stakeholder
tersebut memiliki peran yang berbeda, sehingga dengan sinergi ini pengembangan
industri batik nasional akan terintergrasi dan sustainable dari hulu sampai
hilir,” tegasnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan,
industri batik telah berkembang menjadi sektor usaha yang ramah lingkungan
seiring semakin meningkatnya penggunaan zat warna alam pada kain wastra
tersebut. Hal ini juga menjadikan batik sebagai produk yang bernilai ekonomi
tinggi, bahkan dengan pengembangan zat warna alam tersebut turut mengurangi
importasi zat warna sintetik.
“Oleh karena itu, kami terus mendorong para perajin dan
peneliti agar terus berinovasi mendapatkan berbagai varian warna alam untuk
bisa mengeksplorasi potensinya, sehingga memperkaya ragam batik warna alam
Indonesia,” tuturnya.
Menurut Menperin, di tengah persaingan global yang
semakin kompetitif dan dinamis, preferensi konsumen terhadap produk ramah
lingkungan terus meningkat.
“Kehadiran batik warna alam mampu menjawab tantangan
tersebut dan diyakini dapat meningkatkan peluang pasar saat ini,” ujarnya.