Breaking News

MEA, Kemaritiman dan Pembangunan Desa

Dengan bergulirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 31 Desember 2015 yang lalu, maka babak baru bagi masyarakat ASEAN telah dimulai. Inilah awal dari Masyarakat ASEAN dalam integrasi ekonomi dunia. Dimana empat pilar ASEAN Economic Community (AEC) yakni Terbentuknya pasar dan basis produksi tunggal, kawasan berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata dan integarasi dengan perekonomian dunia.

MEA, Kemaritiman dan  Pembangunan Desa

Terintegrasinya Masyarakat ASEAN dalam satu kawasan ekonomi regional bisa menjadi ancaman bagi Indonesia mengingat klasifikasi Indonesia yang masuk pada wilayah kelas menengah pada kawasan ASEAN. Peta kekuatan yang disusun oleh Tim Liputan Khusus Kontan menggambarkan kondisi tersebut.

Sebagimana dilansir dari Kontan berdasarkan laporan Kementerian Perindustrian dan litbang KOMPAS mencatat beberapa kategori untuk melihat posisi peringkat Indonesia di ASEAN. Laporan daya saing global 2015-2016 Indonesia berada pada peringkat ke empat di kawasan. Indeks kinerja logistik dan indikatornya 2014 pada posisi ke lima. Pajak Indonesia pada peringkat ke sembilan. Produktivitas pada posisi ke empat, Kelistrikan pada posisi ke dua, suku bunga peringkat ke sembilan, peringkat investasi peringkat ke lima, upah minimum peringkat ke tujuh dan kemudahan memulai bisnis pada posisi ke tujuh.

Beradasarkan data statistik jumlah kapal (tankers, curah, kargo, kontainer) beberapa negara ASEAN tahun 2014 tercatat bahwa Singapura pada posisi pertama dengan jumlah 103.787 buah dan Indonesia pada posisi kedua dengan jumlah 15.004 buah. Malaysia pada posisi ke tiga dengan jumlah 9.472 buah, vietnam dengan jumlah 7.352 buah, Filipina dengan jumlah 6.573 buah dan Thailand dengan jumlah 5.346 buah.

Dengan konektivitas kapal antar pelabuhan pada tahun 2014 sebesar 117,13 untuk Singapura, 104,02 untuk Malaysia. Sementara Thailand sebesar 44,43., Vietnam sebesar 46,08 dan Indonesia sebesar 28,06. Dari data statistik tersebut dapat dilihat bahwa begitu lemahnya konektivitas kapal antar pelabuhan di Indonesia. Sebagai negara maritim tentu hal tersebut melemahkan posisi indonesia. Penguatan pada wilayah kemaritiman berdampak pada jalur perdagangan Indonesia. Padahal posisi strategis Indonesia belum mampu mendongkrak posisi tawar Indonesia disebabkan oleh lemahnya infrastruktur yang ada.

Wilayah maritim merupakan jalur perdagangan untuk meningkatkan ekspor dan impor Indonesia baik dikawasan ASEAN maupun kawasan lainnya. Berdasarkan data dari UNCTAD pada tahun 2014 konektivitas Indonesia dengan beberapa negara dengan skor LSCBI tertinggi adalah Singapura, Malaysia dan China. Bahkan untuk negara-negara dikawasan ASEAN sendiri seperti Myanmar, Kamboja dan Brunei tidak masuk kedalam 20 besar negara yang memiliki konektivitas maritim dengan Indonesia.

Sedangkan untuk ekspor produk ke seluruh dunia, posisi eksopor Indonesia berada pada urutan keempat dengan nilai US$ 176,3 milyar pada tahun 2014. Singapura dengan jumlah US$ 409,9 milyar, Malaysia dengan jumlah US$ 234,3 milyar, Thailand senilai US$ 225,8 milyar, Vietnam US$ 161,2 milyar dan Filipina senilai US$ 61,8 milyar. Maka dengan jumlah penduduk Indonesia yang terbesar di kawasan merupakan potensi pasar yang besar bagi negara-negara dikawasan. Jika produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan negara-negara tersebut maka peluang yang ada didepan mata ini akan berubah menjadi ancaman.

Dasar Pembangunan

UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) sebagai basis bagi perekonomian Indonesia merupakan bagian untuk mendukung suksesnya MEA di Indonesia. Minimnya sosialisasi tentang MEA kepada masyarakat memberikan gambaran bahwa MEA hanya menjadi persoalan dan kekhawatiran bagi pihak-pihak tertentu saja. Kesiapan yang digadang-gadangkan membutuhkan percepatan dari segala hal. Sudah saatnya Indonesia menjadi negara produsen, dengan pertumbuhan ekonomi terbentuk dari produktivitas yang lahir dari kreatifitas dan inovasi anak-anak bangsa.

Untuk mengahadapi MEA saat ini, maka tak bisa dihindari yang berhadapan head to head adalah masyarakat bawah. Maka persaingan diakar rumput menjadi persoalan yang akan dihadapi. Produktivitas pada akar rumput adalah tantangan dan sebuah keharusan. Mengingat perhatian pemerintah pada tingkat desa cukup besar pada saat ini, maka harapan itu masih ada.

Alokasi dana desa (ADD) dan Dana Desa (DD) merupakan solusi bagi pembangunan masyarakat Indonesia dari bawah. Bahwa produktifitas masyarakat Indonesia mesti dimulai dari desa. UMKM harus tumbuh dan berkembang dari desa, pembangunan dari desa adalah dukungan bagi penguatan produktivitas masyarakat Indonesia dan menyentuh sasaran yang tepat. Pemerintah menyediakan dana pembangunan dan desa menyusun kebutuhan mereka sendiri. Karena yang memahami kondisi dan kebutuhan pedesaan adalah pimpinan dan masyarakat desa tersebut.

Joko Santosa (2012) mengungkapkan bahwa secara umum tujuan ADD adalah meningkatkan aspek pembangunan baik prasarana fisik maupun non fisik dalam rangka mendorong tingkat partisipasi masyarakat untuk pemberdayaan dan perbaikan taraf hidup. Azaz dan prinsip pengeolaan ADD yaitu transparan, akuntabel dan partisipatif. Penggunaan ADD ditetapkan sebesar 30% untuk belanja aparatur dan operasional desa dan sebesar 70% untuk belanja pemberdayaan masyarakat.

Hadi Waluyo (2015) filosofi DD adalah meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.

Besarnya dana desa yang digulirkan memang memberikan angin segar bagi desa tapi kita mesti berhati-hati karena banyak celah yang akan terjadi. Pembangunan yang diharapkan agar benar-benar terlaksana dengan memanfaatkan ADD dan DD sebagai sumber untuk pendapatan desa dalam pembangunan.

Jangan sampai sumber dana untuk pembangunan justru menjadi bencana berjamaah di tingkat desa. Karena siap atau tidaknya dari pengelolaan keuangan tersebut akan berdampak pada masalah hukum. Untuk mencairkan dana yang ada, desa harus menyiapkan minimal tiga hal yakni RPJMDes, RKPDes dan APBDes. Ketiga hal tersebut merupakan kesiapan minimal yang harus dipersiapkan oleh desa.

Sebagai subjek bagi pembangunan, desa diharapkan dapat diperkuat dan memiliki daya saing baik dari infrastruktur dan sumber daya masyarakat bawah. Dengan desa yang kuat maka kekuatan Indonesia akan semakin baik di kancah ASEAN maupun dunia. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan di desa diharapkan mampu memberikan sumber kekuatan dengan didasari semangat gotong royong, transparan dan akuntabel. Monitoring dan evaluasi dari ADD dan DD merupakan tugas bersama agar dana yang begitu besar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Produktifitas

Dengan menghadapi MEA ini maka kekuatan dari bawah yang harus dibangun adalah desa dan dunia kemaritiman baik dari segi infrastruktur, UMKM dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Produktivitas dari tingkat desa dan dunia maritim merupakan dua pilar kekuatan Indonesia. Penguatan tekhnologi baik informasi dan tekhnologi produksi menjadi modal dasar bagi desa dan kemaritiman untuk berkecimpung dan berpartisipasi pada dunia global.

Peningkatan pendidikan bagi masyarakat desa dan dunia maritim perlu partisipasi aktif pemerintah. Pengawasan pendidikan dengan memperhatikan penggunaan dana pendidikan yang menyentuh dan memberikan fasilitas yang memadai bagi siswa. Berantas oknum wartawan dan LSM yang memeras dana BOS dan pihak-pihak yang merugikan jalannya pembangunan.

Kita perlu belajar dari bangsa lain yang lebih maju dengan struktur geografis kepulauan seperti Jepang. Walaupun runtuh didera oleh kekalahan dari sekutu. Kehancuran yang menusuk kedalam baik dari infrastruktur maupun mental. Tetapi dengan kegigihan dan semangat ingin maju bersama, Jepang mampu keluar dari krisis dan bangkit menjadi kekuatan ekonomi global dari beragam sektor industri. Produk-produknya mewarnai kehidupan dan keseharian kita, ia masuk kepelosok desa-desa terpencil di Indonesia.

Semangat Monozukuri yang didengungkan oleh Rahmat Gobel, memberikan gambaran bahwa bagaimana masyarakat Jepang sangat bersemangat membuat produk yang mengedepankan penyempurnaan secara berkesinambungan. Sedari kecil mereka telah ditanamkan nilai-nilai produktifitas. Produktifitas menjadi pola pikir dan pola hidup masyarakat Jepang.

Perusahaan-perusahaan besar di Jepang tidak serta merta rakus seperti perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menguasai hulu dan hilir kekayaan alam Indonesia. Tidak mau berbagi dan maunya kaya sendiri, maju sendiri, korupsi dan kemudian kabur ke luar negeri. Para taipan itu, begitu beraninya menginjak-injak kepala dan menghisap darah anak bangsa. Tangkap, dan jangan biarkan mereka menggurita.

Sudah saatnya kita bangkit dan menyudahi segala keterbelakangan ini. Pembangunan yang berkesinambungan dari desa dan dunia maritim, dua pilar kekuatan Indonesia. Dari darat dan laut kita maju dan berjaya. Kita berharap segala arah kebijakan pembangunan berdasarkan nawacita dan trisakti yang dengungkan mampu mengubah tatanan arah pembangunan bangsa Indonesia. Mengutip Semboyan Korps Marinir “Jalesu Bhumyamca Jayamahe” “Di Laut dan Darat Kita Jaya”. Merdeka..!!

MEA, Kemaritiman dan  Pembangunan Desa
Oleh: Guntur Subing
Direktur Eksekutif Poetra Merdeka Centre
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar Sumatera pada Februari 2016