Breaking News

Mampukah Fiskal Indonesia Mengurangi Ketimpangan Pendapatan? (Bagian 1)

ABSTRAK: Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi idaman setiap negara. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu dibarengi dengan pemerataan ekonomi yang baik. Hal ini tentu menyebabkan ketimpangan pendapatan di masyarakat. Kebijakan fiskal dipandang sebagai alat yang mampu mengurangi kesenjangan tersebut. Terlebih kebijakan fiskal yang pro rakyat miskin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran fiskal di Indonesia dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Metodologi penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan data sekunder yang berasal dari sumber-sumber terkait. Model ekonometrika yang digunakan adalah Autoregressive Distributed Lag. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa fiskal Indonesia menggunakan beberapa proksi terkait menunjukkan kemampuannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan.Meskipun demikian, terdapat beberapa saran dan masukan yang hendaknya menjadi bahan pemerintah dalam mengambil kebijkan di masa yang akan datang.


High economic growth has always been the dream of every country. Unfortunately, any high economic growth is not always accompanied by good economic equity. This certainly causes inequality of income in the community. Fiscal policy is seen as a tool that can reduce the gap. Especially pro-poor fiscal policy. This study aimed to determine the role of fiscal in Indonesia in reducing income inequality. The research methodology used is quantitative with secondary data from related sources. Econometrics model used is Autoregressive Distributed Lag. Based on the results of the research indicates that Indonesia's fiscal represented by several related proxies showed its ability in reducing income inequality. Nevertheless, there are some suggestions and inputs that should be the government's ingredients in taking the policy in the future.

Kata Kunci: Kebijakan Fiskal, Ketimpangan Pendapatan, ARDL

Pendahuluan

Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dikasaran 5,6 %. Tingkat pertumbuhan tersebut sebetulnya tidak terlalu mengesankan jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun 1960-an yang pernah mencapai dua digit (Boediono, 2016). Meskipun demikian, pertumbuhan pada masa itu lebih dikarenakan terjadinya Oil Boom yang kemudian memberikan berkah luar biasa kepada Indonesia yang notabene masih menjadi negara pengekspor minyak secara masif. Isu mengenai pertumbuhan ekonomi sangat sensitif dan tergantung perspektif setiap negara dalam menanggapinya apalagi di tengah situasi perekonomian dunia yang sedang lesu saat ini, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat dan China yang mana keduanya belum lagi mencapai pada puncak kegiatan perekonomiannya.

Permasalahan yang muncul dari sebuah pertumbuhan ekonomi yang dikatakan baik tidak berhenti pada sebarapa tinggi persentase pertumnbuhan yang dicapai, tetapi seberapa berkualitas pertumbuhan ekonomi tersebut mampu menstimulus pergerakan ekonomi yang ada pada setiap lapisan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang selalu ingin dicapai semua negara adalah pertumbuhan yang inklusif. Pertumbuhan yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan, menyerap tenaga kerja, dan memberikan kepastian akan keberlangsungan perekonomian yang sustainable dalam jangka panjang. Kenyataan yang harus dihadapi Indonesia tidak sesusai dengan harapan pertumbuhan ekonomi yang ideal. Ketimpangan masih terlihat dan terasa terutama jika melihat antara perkotaan dan pedesaan. Ketimpangan pendapatan sendiri merupakan salah satu permasalahan sosial ekonomi yang belum menemukan solusi secara efektif sampai saat ini. Menurut (Syawie, 2013) menjelaskan ketimpangan pendapatan dan relevansinya dengan kecenderungan menurunnya kesejahteraan masyarakat. Dalam pandangannya, meskipun kinerja ekonomi pasca krisis cenderung membaik, indikator ketimpangan dan kemiskinan menunjukkan bukti adanya eksklusivitas sosial-ekonomi bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia. Hal ini pun didukung dengan data rasio gini Indonesia yang tidak stabil. Artinya, program pemerataan pendapatan untuk mengurangi gap sosial ekonomi di masyarakat belum menunjukkan tren yang konsisten meskipun saat ini rasio gini lebih kecil dibandingkan tahun lalu. Seperti yang ditunjukkan oleh grafik rasio gini 10 tahun terakhir dibawah ini.

Tabel 1. Rasio Gini Indonesia dalam 10 Tahun Terakhir

Mampukah Fiskal Indonesia Mengurangi Ketimpangan Pendapatan? (Bagian 1)
Sumber: Badan Pusat Statistik


Indonesia memiliki catatan yang tidak terlalu mengesankan dalam hal mengurangi ketimpangan pendapatan, khususnya dalam 10 tahun terakhir. Meskipun demikian, tingkat kesenjangan pendapatan masih rendah dibandingkan dengan banyak negara berkembang lainnya. Kendati porsi pendapatan tertingi meningkat secara tajam pada akhir tahun 1990-an yang terjadi bersamaan dengan krisis ekonomi dan secara umum masih lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain (Leight & van der Eng, 2009). Menurut (Skoufias & Olivieri, 2013), perbedaan return kepada karakter rumah tangga yang aktif merupakan penjelasutama perbedaan kesejahteraan. Alokasi transfer fiskal ke daerah adalah sebuah kebutuhan yang harus diberikan kepada daerah yang tidak memilki karakter rumah tangga yang aktif. Ini juga menunjukkan bahwa rancangan sistem transfer fiskal konsisten dengan promosi. Kesempatan untuk kesejahteraan lintas daerah sebagai tujuan untuk menyamakan tingkat kesejahteraan itu sendiri. Dengan begitu, kesejahteraan akan tercapai oleh banyak rumah tangga di daerah yang memiliki akses pergerakan ekonomi lebih aktif.

Sektor pendidikan, kekayaan, dan ketenagakerjaan merupakan faktor utama yang memebentuk ketimpangan pendapatan di Indonesia (Asian Development Bank Institute, 2017). Kombinasi dari ketiga faktor tersebut dapat menjelaskan 60 % dari ketimpangan pendapatan. Lebih lanjut, interkoneksi dari ketiganya mampu memberikan penjelasan kenapa ketimpangan pendapatan meningkat secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Kekayaan dapat menentukan durasi dalam mengenyam pendidikan dan juga akumulasi skill yang kemudian akan memberikan pengaruh terhadap status tenaga kerja dan output dari tenaga kerja.

Pada dasarnya, dalam mengurangi angka ketimpangan yang ada, pemerintah memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk mempengaruhi tetapi dalam implementasi di lapangan terkadang tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Politik anggaran yang pro kepada rakyat miskin dan pertumbuhan inklusif masih belum mampu dicapai. Salah satu penyebab utama kurang maksimalnya peran pemerintah dalam mengurangi angka ketimpangan adalah tidak optimalnya dalam penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebelum reformasi, hampir setiap tahun APBN Indonesia terserap dengan cukup baik bahkan melebihi dari rencana belanja. Hal ini kemudian berbalik sejak tahun 2000 dimana realisasi belanja negara mengalami masalah dalam hal peyerapan. Tercatat hanya tahun 2007 saja realisasi belanja melebihi apa yang dianggarkan pada APBN sedangkan sisanya selalu menyisakan anggaran (Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, BI).

Ketimpangan pendapatan merupakan persoalan yang hampir semua negara di dunia hadapi terutama negara yang berada dalam kategori negara berkembang. Seperti dalam penelitian yang dilakukan (Clifton, Diaz-Fuentez, & Revuelta, 2017), menunjukkan ketimpangan pendapatan yang dialami negara-negara di Amerika Latin dalam 20 tahun terakhir mengalami penurunan hampir pada semua negara bagian, tetapi masih berada di atas angka ketimpangan dunia. Dengan demikian, Amerika Latin telah muncul sebagai anomali positif, bertentangan dengan kecenderungan tren dunia baru-baru ini yang menuju pada ketidaksetaraan yang lebih besar (Ravallion, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh (Samanta, & Cerf, 2009) memperkuat argumentasi terkait masih tingginya ketimpangan pendapatan di negara berkembang. Menggunakan data dari 10 negara dalam periode penelitian dari 1991 – 2003, yaitu Romania, Slovenia, Bulgaria, Latvia, Macedonia, Moldova, Polandia, Ukraina, Lithuania, dan Belarusia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan harus diperlakukan sebagai salah satu acuan yang penting dalam memformulasikan kebijakan fiskal dan keefektivitasnnya. Lebih lanjut, dampak dari ketimpangan pendapatan terhadap efek multiplier kebijakan fiskal adalah negatif terhadap data panel transisi dari negara berkembang. Yang akhirnya apabila ketimpangan pendapatan semakin tinggi akan membawa kepada pengeluaran pemerintah yang lebih besar.

Ketimpangan pendapatan juga dirasakan oleh beberapa negara di eropa. Salah satunya Slovakia, seperti yang dijelaskan dalam penelitian (Habanik, Hostak, & Kutik, 2013) bahwa selama periode 2002 – 2010 terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan secara signifikan di regional Slovakia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara nasional tetapi memusat. Hal ini terjadi lebih karena perkembangan aglomerasi Bratislava sedangkan daerah pinggiran tetap berada pada posisi tertinggal. Dari perspektif makro, negara-negara di Uni Eropa juga mengalami ketimpangan pendapatan. sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang rendah (Crudu, 2015). Para pengambil kebijakan kemudian meluncurkan program Europe 2020 yang memiliki tujuan utama untuk memperbaiki ketimpangan yang biasanya dikuasai masyarakat atas yang berada di regional yang maju dan mapan. Fiskal menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara menstimulus pertumbuhan ekonomi di daerah pendapatannya rendah melalui kebijakan pajak dan pengeluaran yang disusun sedemikian rupa.

Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan, ketimpangan pendapatan secara umum dialami karena dampak memusatnya pendapatan yang dikuasai masyarakat terkaya tertentu. Hal ini diperparah ketika negara tersebut memiliki regional yang luas dan berbentuk kepuluan seperti Indonesia. Efek spasial akan memperburuk ketimpangan pendapatan di daerah yang tidak memiliki akses infrastruktur yang mapan. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil langkah nyata untuk menguruangi ketimpangan tersebut. Kebijakan fiskal harus fokus pada mengurangi pemusatan pertumbuhan ekonomi di daerah tertentu saja. Salah satu kebijakan yang selalu diandalkan adalah melalui pajak dan pengeluaran pemerintah yang diharapkan mampu menurunkan angka ketimpangan pendapatan. Sebagai contoh, penerapan pajak progresif dan transfer tunai ke daerah diduga mampu mengurangi ketimpangan pendaptan disposibel. Pengeluaran pada sektor pendidikan juga diharapkan mampu memberika dampak terhadap di masa depan yang pada akhirnya dapat meningkatkan banyak pendapatan rumah tangga menjadi lebih besar (International Monetary Fund, 2014).

Bersambung: