Mengurai Kegelisahan Dahlan Iskan: “Anomali Bisnis itu Perlu Segera Diakhiri!”
Pada tulisan yang dimuat
di kolom opini ngopibareng.id, Dahlan Iskan menuliskan dengan judul “Anomali Bisnis itu Perlu Segera Diakhiri!”.
Dahlan bercerita tentang pertemuannya dengan Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan
pada Senin (17/7) dan mengajukan pertanyaan kepada Jendaral (purnawirawan)
tersebut: Mengapa harga saham di pasar
modal naik terus, padahal, ekonomi riil lagi sulit?
![]() |
Dahlan Iskan, sumber foto: ngopibareng.id |
Bahkan pertanyaan Dahlan
Iskan itu pun tidak hanya ia tanyakan pada Menko Kemaritiman tetapi pada
beberapa ekonom dengan jawaban masing-masing. Kegelisahan Dahlan semakin ia
tunjukkan pada paragraf dua terakhir “anomali
makro-mikro itu memang harus segera dijawab. Apa penyebabnya. Dan apa jalan
keluarnya. Kalau mikronya terus saja tidak membaik, buntutnya akan menyeret
makronya juga.”
“Bunga bank yang selama
ini bisa dipaksakan rendah akan membuat bank kesakitan. Penyaluran dana ke sektor
mikro akan terhambat. Pengusaha kadang lebih perlu ada penyaluran uang. Biarpun
bunga agak tinggi. Daripada bunga rendah, tapi tidak ada uang.” Tutup Dahlan.
Saya sendiri tidak begitu
memahami anomali ini, sehingga perlu saya tanyakan kepada sahabat lainnya yang
memahami kondisi ini. Kira-kira apa yang menjadi penyebabnya dan bagaimana
pendapat rekan-rekan yang bergerak pada sektor riil?
Guntur Siswanto salah satu
mahasiswa Magister di FEB Unila menjawab : ”Jawaban gampangnya bang, di pasar
uang lebih banyak uang spekulan dibanding uang investor” jawabnya singkat “secara
teori bisa dijelaskan oleh Rio Ponco Indrajid”.
Rio Ponco Indrajid, karyawan
salah satu Bank BUMN, yang juga mahasiswa Magister di FEB Unila mengatakan: “ Sektor
riil dan sektor non riil banyak faktor yang mempengaruhi, sehingga belum tentu
berjalan beriringan meskipun seharusnya saling mendukung”.
“Pertama, harga saham bisa saja naik untuk saham tertentu karena
spekulasi pasar untuk ambil aksi profit
taking janga pendek”
“Kedua, saham tertentu naik dibandingkan saham lain contoh Telkomsel
diisi artikel tadi (artikel Dahlan, red).
Hanya itu yang sejalan dengan konteks bisnis realitas. Selebihnya sesuai yang
dikatakan oleh Guntur Siswanto diatas. Saham komunikasi dan saham-saham dalam
bentuk ventura yang bisa imbangi pasar riil”
“Ketiga, disektor riil ada gangguan value chain bagi setiap usaha yang tidak mau berubah. Sekarang ada disrupsi (perubahan hingga akar bisnis
yang mengganggu bisnis as ussual).”
“Saat ini investor yang
benar-benar investor tidak hanya melihat dari sisi teknikal dan fundamental
melainkan prospek bisnis juga. Contoh saham Taxi Express drop begitu ada Gojek. Kemudian Matahari yang mendisrup dirinya
menjadai mataharimall.com untuk
menyesuaikan jaman.”
“jadi sektor riil sekarang
penentunya tidak hanya dana dari bank dan suku bunga bagi biaya dananya,
melainkan konseptual memahami perubahan bisnis lewat mekanisme teknologi. Makanya
yang menang sekarang bukan bank dan lembaga keuangan, tapi sektor komunikasi,
teknologi dan IT serta energi.”
“Bank bisa survive sebab masih dilindungi oleh
regulator yang ketat. Kalau binis yang lain bisa disrupsi oleh anak-anak muda
kreatif seperti dailysocial.”
“Bisa saja Telkomsel
menghimpun dana tanpa batas lewat t-casnya
atau Gojek dengan GoPay-nya, namun sekali lagi mereka bisa jadi musuh bank
yang mematikan, tapi racun mereka tidak bisa dibuka, BI masih melindungi.”
“Perlu juga diingat,IHSG
naik karena Capital Inflow dari US,
kalau kondisi di US kurang kondusif mereka akan investasi ke Emerging Market, kayanya IHSG dapatnya
ga sebesar Filipina sama Jepang kalau ga salah, growth capital market-nya”
“Saya setuju dengan
paragraf terakhir yang ditulis oleh Dahlan Iskan, sektor riil butuh uang bukan
bunga rendah. Pengusaha dagang online mana ada skim bank yang masuk, tapi skim
dari uangteman.com, sama peer to peer,
lending lebih pas. Meminjam uang
sampai 10 juta cukup isi form online, di telpon 2 jam cair lewat rekening. Jangka
waktu 1 minggu sampai 2 bulan bunga 5-10%, yang dagang online pasti mau. Sekarang
orang butuh kecepatan bukan lagi pricing”
tutup Rio Ponco Indrajid.
Untuk memahami disrupsi
yang diutarakan oleh Rio Ponco Indrajid diatas, maka kami pun mencari tahu dan
mendapatkan referensi sebuah artikel yang berjudul “3 Strategi Menghadapi Era
Disrupsi”. Artikel tersebut bisa disebut sebagai sebuah resensi buku yang berjudul
“Disruption: Melawan Musuh-Musuh Tak
Kelihatan Dalam Peradaban Uber?” yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali.
Intinya pada massa saat
ini pergeseran atau perubahan dapat bergerak begitu cepat. Perusahaan yang
sudah berdiri mapan dapat begitu mudah digantikan dengan perusahaan baru yang
lebih inovatif dan melakukan inovasi tiada henti. Contohnya, Kodak yang kolaps
ketika kamera digital hadir, dan mereka sendiri tidak siap secara teknologi dan
inovasi untuk menghadapi kamera digital. Di era disrupsi, kita memiliki pilihan.
Apakah ingin melakukan reshape
(membentuk kembali) atau create
(mencipta) ataupun keduanya.
Untuk memperkaya wacana
yang berkembang pada diskusi tersebut saya pun menanyakan pada beberapa sahabat
yang bergerak pada sektor riil. Bagaimana dengan bisnis mereka, apa kendala
yang mereka miliki pada kondisi kekinian?
Guntur Febri Handoko salah
satu mahasiswa Magister di FEB Unila yang juga memiliki usaha Mustika Wedding Organizer menjawab:
“Consumer Driven Market, Konsumen menyetir pasar yang artinya
produsen harus menyediakan keinginan pelanggan, kalo gak gitu ya gak punya competitive advantage, ujungnya gulung
tikar. Kreatif dan inovatif sudah barang tentu wajib dilaksanakan.”
“Konsep consumer driven market sendiri secara
sadar tentu sudah kita ketahui, konsumen kan dinamis bisa berubah kapanpun.
Untuk pemula yang dari nol seperti Mustika Wedding tentu harus memahami
faktor internal dan ekternalnya sehingga muncul strategi untuk mendapat pasar,
jadi follower sembari mencari ceruk
pasar yang belum tergarap tentu jadi pilihan realistis. Ex: Souvenir pernikahan.”
“Kesalahan memasuki pasar
tentu berakibat mubazirnya kas sehingga kolaps juga. Itu saya alami. Nyatanya
memang mengaplikasikan teori dalam strategi tidak juga mudah, pun tak sulit
juga. Celakanya kita pernah jadi mahasiswa yg dijejali teori yg mau tidak mau
harus diaplikasikan. Berbeda dengan tukang onde-onde, tukang bumbu, tukang
traktor tetangga saya yang masing-masing sudah punya lebih dari tiga unit
bisnis. Mereka gak ngerti kok kalo ditanya bauran pemasaran. (Sedih 😭)”
tutup Guntur Febri Handoko.
Anton Adi Wijaya salah
satu pengusaha pecel lele "Kang Yogi" menjawab:
“Dalam beberapa bulan
terakhir, saya mengalami omzet pecel lele yang terus turun sampai 30% dan itu
stabil. Kenapa? apa karena ada kompetitor baru atau kepuasan pembeli? Ternyata,
kompetitor saya malah tutup duluan. Apa karena menurunnya daya beli calon konsumen?
Enggak juga. Karena rata-rata mereka anak kos yang kebanyakan memiliki uang
saku per periode yang stabil.”
“Setelah diamati, saya
menemukan bahwa memang Consumer Driven Market.
Pertanyaan yang harus saya pecahkan adalah bagaimana mereka membeli dagangan
saya. Bukan lagi kenapa mereka harus membeli dagangan saya.”
“Selama ini, pembeli yang
datang adalah adalah para pemukim disekitar lokasi berdagang. Kalau harus
setabah Nasi Uduk Acin atau Toha saya nggak bisa.”
“Itu kenapa saya jadi
tertarik sama Encim Gendut atau Nasi Garong. Mereka adalah para pemain baru
(seumuran saya) yang berbisnis dengan juga berselingkuh dengan teknologi. “
“Untuk Encim Gendut,
selain membuka lapak sendiri, mereka juga gencar membangun citra di sosial
media. Begitu juga Nasi Garong.”
“Mereka tidak memiliki
lapak, tapi secara jeli mampu melihat peluang di celah sempit. Mereka garap catering makan siang. Tentu dengan
pemanfaatan IT.”
“Nah, kalau terus bermain
dengan cara konvensional, lama-lama pelaku usaha kecil seperti saya bisa ambruk
(iya nggak bro Sururi abdilah). Dengan pola yang berbeda, cara yang dipakai
Encim Gendut dan Nasi Garong mungkin bisa dicoba.”
“Kayaknya bukan tentang
penurunan daya beli, tapi pergeseran pembeli. Pergeseran besar-besaran karena
alih teknologi.” Tutup Anton.
Dari diskusi yang kami
lakukan tesebut, terdapat kesimpulan bahwa Era Disrupsi saat ini akan menjadi
ancaman bagi sektor riil yang tidak memanfaatkan kemajuan teknologi dan tidak memiliki
inovasi baik pada tataran produk maupun dari sisi pemasaran.
Era saat ini adalah era
global, yang memungkinkan untuk memasarkan dimana saja, dalam waktu 24 jam. Siapapun
itu, ia adalah pasar, tempat untuk memasarkan
produk-produk yang dihasilkan dari para pelaku sektor riil. Sektor riil harus
segera didorong untuk tidak berkutat pada cara-cara konvensional, jika tidak
mereka akan segera tergerus oleh aplikasi-aplikasi start up yang kian menjamur.
Contohnya adalah biro-biro jasa perjalanan yang harus bersaing dengan aplikasi-aplikasi
seperti traveloka dan sejenisnya.
Selain itu, pada perkspektif lainnya yang lebih luas, jika benar terjadinya penurunan daya beli pada sektor-sektor tertentu, bisa juga disebabkan tidak adanya kepastian harga komoditas bahan baku seperti singkong, lada, karet, sawit dan komoditas ekspor lainnya. Daya beli masyarakat menurun karena harga hasil panen yang mereka hasilkan tidak sesuai dengan jumlah biaya produksi yang telah mereka keluarkan.
Pemerintah mencanangkan agar terjadinya hilirisasi industri dari beragam bahan baku tersebut melalui industri kecil dan menengah (IKM) sehingga industri rumah tangga dapat berjalan dengan baik dan ada kepastian nilai tambah dibandingkan menjual bahan mentah. Tetapi itu semua membutuhkan modal kerja yang besar dan belum memiliki kepastian pasar. Belum lagi ditambah dengan ilmu pengetahuan tentang hilirisasi bahan baku menjadi produk yang lebih bernilai.
Produk yang dihasilkan pun masih kalah dari sisi kualitas dan harga dibandingkan dengan produk impor. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah harga komoditas bahan mentah andalan pun iut-ikutan kalah bersaing dengan dengan komoditas impor, pilihan ini semakin sulit dan menjepit.
Selain itu, pada perkspektif lainnya yang lebih luas, jika benar terjadinya penurunan daya beli pada sektor-sektor tertentu, bisa juga disebabkan tidak adanya kepastian harga komoditas bahan baku seperti singkong, lada, karet, sawit dan komoditas ekspor lainnya. Daya beli masyarakat menurun karena harga hasil panen yang mereka hasilkan tidak sesuai dengan jumlah biaya produksi yang telah mereka keluarkan.
Pemerintah mencanangkan agar terjadinya hilirisasi industri dari beragam bahan baku tersebut melalui industri kecil dan menengah (IKM) sehingga industri rumah tangga dapat berjalan dengan baik dan ada kepastian nilai tambah dibandingkan menjual bahan mentah. Tetapi itu semua membutuhkan modal kerja yang besar dan belum memiliki kepastian pasar. Belum lagi ditambah dengan ilmu pengetahuan tentang hilirisasi bahan baku menjadi produk yang lebih bernilai.
Produk yang dihasilkan pun masih kalah dari sisi kualitas dan harga dibandingkan dengan produk impor. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah harga komoditas bahan mentah andalan pun iut-ikutan kalah bersaing dengan dengan komoditas impor, pilihan ini semakin sulit dan menjepit.
Tentunya, lagi-lagi campur
tangan pemerintah untuk memberikan proteksi, kepastian harga, ilmu pengetahuan, modal kerja (KUR dsb) dan
jaringan pemasaran harus menyentuh kebawah dan tidak berkutat atau berpihak
pada pengusaha besar saja. Rantai nilai dan rantai pasok antara industri besar
dan kecil harus saling bersinergi. IKM, sejatinya di dalam RIPIN adalah untuk mendukung dan mendorong industri yang lebih besar
Contohnya, siapa yang
menguasai produk mi instan di Indonesia? siapa yang menyediakan bahan bakunya,
bahan baku penolongnya dan bahan-bahan lain yang dibutuhkan. Apakah mereka
mengkaryakan pengusaha kecil atau industri rumah tangga untuk menopang usaha
yang lebih besar? atau sebaliknya, industri hulu dan hilir hanya dikuasi oleh satu korporasi besar. Wallahu'alam..