Menggagas Kemandirian Kampung
Dari sebanyak 2.435
kampung yang ada di Provinsi Lampung hanya terdapat 77 kampung diantaranya yang
berkategori desa mandiri. Kondisi itu mengakibatkan pembangunan Lampung dari
Kampung masih jauh panggang dari api.
Sementara dari ratusan perusahaan
yang memiliki Hak Guna Usaha atas puluhan bahkan ratusan ribu hektar tanah di
Lampung, seolah mengangkat harta karun yang ada di tanah kampung untuk
sebesar-besarnya keuntungan. Tanggung jawab sosial perusahaan menjadi
terabaikan, bila pun ada peruntukannya tidak dirasakan manfaatnya untuk
masyarakat kampung tempat perusahaan itu berlokasi.
Hal itu disampaikan Wakil
Ketua DPRD Provinsi Lampung asal Partai Gerindra Pattimura yang menjadi salah
satu narasumber dalam diskusi bulanan yang digelar website KAHMI Lampung di
kedai Kopi Kita-Kita jalan Purnawirawan, Gunung Terang, Bandar Lampung, Sabtu
(22/07/2017).
“Ini seperti perampokan.
Sementara masyarakat di sekitar perusahaan tidak mendapat manfaatnya. Karena
itu, kami pimpinan DPRD Provinsi Lampung tengah melakukan pendataan jumlah
perusahaan, luas HGU (Hak Guna Usaha, red), dan aliran dana CSR (Corporate
Social Responsibility, red) itu untuk siapa. Kami juga telah memanggil BPN
Rabu, (19/07/2017) untuk mendapatkan data. Sayangnya langkah DPRD itu belum
terekspos oleh media mainstream dengan baik. HGU ini seperti kucing dalam
karung, publik tidak tahu berapa luasan sebenarnya, siapa pemiliknya dan kapan
habis masa berlakunya. Ada HGU yang tidak sesuai peruntukan, ada HGU yang
terbengkalai, bahkan ada indikasi HGU yang hanya dimanfaatkan untuk jual beli
saja," terangnya.
Lebih lanjut Pattimura
menjelaskan dalam waktu satu minggu ke depan, BPN Lampung akan melengkapi
data-data yang diminta oleh DPRD Lampung. Selanjutnya akan dipelajari oleh
pimpinan untuk ditindaklanjuti dalam rapat pimpinan, apakah persoalan HGU itu
akan ditangani oleh komisi terkait ataukah akan dibentuk Pansus. Hal itu,
menurut Pattimura merupakan langkah kongkret DPRD Lampung dalam mengefektifkan
fungsi pengawasan.
"Sebagai contoh kita
juga meminta data terkait perusahaan pemegang HGU yang tengah berkonflik dengan
masyarakat seperti di Tulang Bawang yaitu PT. Sugar Grup. Konflik itu sudah
terjadi puluhan tahun dan hingga kini belum terselesaikan. Pada level
kabupaten, persoalan itu bahkan telah ditindaklanjuti dengan pembentukan
Pansus. Kita akan dalami apa yang terjadi di sana," katanya.
Patimura menjelaskan
membangun kampung agar memiliki pendapatan yang cukup untuk menopang
kesejahteraan bagi masyarakatnya, tidak dapat hanya mengandalkan dana yang
bersumber dari pemerintah semata. Potensi terbesar untuk mempercepatnya
kesejahteraan masyarakat kampung sesungguhnya berada pada tanggung jawab sosial
perusahaan, CSR. Potensi yang ada di depan mata itu, harus dapat dioptimalkan
agar perusahaan mau memenuhi kewajibannya untuk mensejahterakan masyarakat
sekitar.
“Saya bicara keras seperti
ini, jangan sampai kalian yang mendengar justru yang ketakutan. Menurut saya
persoalan pendamping desa, BUMDES, dan peristiwa-peristiwa yang mewarnai
penyelenggaraan pemerintah desa itu adalah persoalan kecil yang dapat dibenahi
secara berkesinambungan. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana kehadiran
perusahaan di desa itu dapat ditekan agar bisa bermanfaat untuk masyarakatnya,”
paparnya.
Ditambahkannya, kucuran
dana dari pemerintah pusat berupa dana desa perlu juga dipertanyakan sumbernya
dari mana. Berdasarkan data yang dilansir harian KOMPAS, posisi utang
pemerintah sudah mencapai Rp 3.667 triliun per 30 April 2017. Angka itu naik Rp
201 triliun dibandingkan posisi Desember 2016.
“Apa yang saat ini
disalurkan ke desa-desa itu tak ubahnya sebagai permen-permen. Kita seharusnya
tidak bangga dengan dana yang sumbernya dari utang yang pasti melilit kita di
masa depan. Justru seharusnya pemerintah memfasilitasi tercapainya sila kelima
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan mengandalkan besarnya
sumber daya alam dan manusia yang dimiliki Indonesia. Jangan sampai bangsa ini
tergadai. Peran kita adalah bagaimana mengkonsep langkah nyata untuk
bersama-sama pemerintah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat
dengan cara mandiri, bukan dari utang,” urainya.
Sementara itu, akademisi
Fakultas Ekonomi Unila, Muslimin mengatakan bahwa defisit anggaran APBN akan
melampaui batas yang ditetapkan Undang-Undang keuangan negara mengenai batas
defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB), apabila target pendapatan yang ditetapkan pemerintah tidak
tercapai. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Pasal 12 ayat (3), dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan
sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang
tentang APBN.
“Ini yang lebih
mengerikan, apabila defisit terlampaui lebih dari 3 persen karena di dalam
penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa defisit anggaran dimaksud dibatasi
maksimal 3 persen dari PDB. Untuk menutupi defisit ini pemerintah mesti
menggali sumber pembiayaan diantaranya dengan menambah utang,” katanya.