AEoI dan H2C Pengemplang Pajak
Istilah H2C adalah istilah yang dulu pernah digunakan pada
salah satu acara di stasiun swasta yang artinya Harap-Harap Cemas. istilah tersebut kemudian secara tidak langsung
semakin tersebar luas untuk mengungkapkan rasa khawatir sekaligus harapan
terhadap sesuatu. Sedangkan Automatic
Exchange of Information (AEoI) adalah sebuah sistem pertukaran informasi
secara otomatis.
Sistem ini dibentuk untuk mengatasi penggelapan pajak dan
meminimalkan biaya kepada pemerintah dan bisnis. Saat ini, standard mengenai AEoI
tengah dikembangkan oleh Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20 (Forum Internasional
untuk Pemerintah dan Gubernur Bank Sentral dari 20 negara besar).
Tak mau kalah dengan perkembangan sistem informasi global, baru-baru
ini, pemerintah tengah mewacanakan untuk membentuk payung hukum guna
mengimplementasikan sistem tersebut pada sektor jasa keuangan. Tujuannya adalah
untuk memberikan kepastian hukum dalam pengimplementasian sistem AEoI. Sehingga
sistem informasi keuangan nasional dapat segera menyusul ketertinggalannya
dalam hal keterbukaan.
Berkaitan dengan wacana yang terus digulirkan oleh Menteri Keuangan
tersebut, istilah H2C sangat tepat untuk menggambarkan rasa khawatir sekaligus
harapan pengemplang pajak yang menyimpan harta kekayaannya di Bank. Yang
dimaksud harapan para pengemplang pajak adalah batalnya pembentukan payung
hukum AEoI sehingga mereka dapat terus menjalankan aktivitas “tercela”-nya untuk mengemplang pajak,
sedangkan kekhawatirannya sudah jelas yaitu “terdeteksi belum membayar pajak”.
Pasalnya, dengan pengimplementasian AEoI di bidang jasa
keuangan, data nasabah bank dapat dengan mudah untuk diakses terutama oleh
otoritas perpajakan, sehingga tidak ada lagi yang bisa di rahasiakan sekalipun
mereka menyimpan dananya di bank luar negeri.
Bagi para wajib pajak yang taat membayar pajak, tentu hal ini
bukanlah sebuah masalah, akan tetapi bagi para pengemplang pajak tentu ini akan
menjadi sebuah ancaman besar. Karena kesempatan mereka untuk lari dari
kewajiban pajak akan semakin sempit bahkan tidak ada kecuali mereka menyimpan
uangnya di bawah bantal tempat mereka tidur.
Sampai dengan bulan Januari 2017, jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tercatat
pada Bank Indonesia (BI) berjumlah Rp 4.825.336 miliar (SSKI Bank Sentral-Maret 2017). Dapat kita bayangkan, dana sebesar
itu, Dirjen Pajak belum memiliki payung hukum untuk mengakses data para pemilik
DPK. Artinya, dari sebagian dana tersebut masih tersimpan potensi penerimaan
negara dalam bentuk pajak terhutang.
Sebelumnya, pemerintah telah mengambil kebijakan tax-amnesty (pengampunan pajak) dengan
capaian angka Rp 4.800 Triliunan. Dapat kita bayangkan, negara tidak mengetahui
bahwa rakyatnya memiliki aset sebesar itu yang tersebar baik di dalam dan luar
negeri. Yang lebih menyedihkan adalah, aset sebesar itu hingga keluarnya
kebijakan pengampunan pajak, selalu lolos dari kewajiban pajak.
Berbeda dengan tax-amnesty, jika pada implementasi
tax-amnesty para wajib pajak yang melaporkan jumlah asetnya, maka dengan AEoI
pada jasa keuangan maka para pengemplang pajak dengan sendirinya akan
terdeteksi bahwa dia belum menunaikan kewajiban pajaknya sesuai dengan aset
yang dimiliki di bank. Selain itu, para mafia pajak seperti Gayus Tambunan juga
akan semakin sempit ruang geraknya, karena semua informasi lebih mudah untuk di
akses. Dengan kata lain, AEoI akan memberikan chek and balance antara jumla pajak yang dibayarkan dengan aset
yang dimiliki.
Untuk itu, pengimplementasian AEoI diharapkan dapat
memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian nasional. Karena dengan
AEoI pada sektor jasa keuangan, maka mau atau tidak para pengemplang pajak
harus menunaikan kewajibannya untuk membayar pajak. Dampaknya tentu penerimaan
negara dari sektor pajak juga akan ikut terdorong. Sehingga pemerintah dapat
meningkatkan belanja negara di sektor-sektor vital terutama infrastruktur,
pendidikan, dan kesehatan.
AEoI dan H2C Pengemplang Pajak
AEoI dan H2C Pengemplang Pajak
Oleh: Guntur Siswanto
Mahasiswa Magister Ekonomi Pembangunan FEB Unila