Gross Split Lebih Baik Demi Mewujudkan Energi Berkeadilan di Indonesia
Judul diatas tidak jauh berbeda
dengan rilis yang dikirimkan oleh Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan
Kerja Sama Kementerian ESDM dan Tim Komunikasi Pemerintah Kemkominfo kepada
poetramerdeka.com. Tujuan dari Kementerian ESDM menerapkan skema Gross Split
adalah untuk memberikan dan mewujudkan energi yang berkeadilan di Indonesia.
Melalui rilis tersebut diungkapkan
bahwa skema Gross Split adalah skema
yang dijalankan untuk melakukan perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah
kerja migas antara Pemerintah dengan Kontraktor Migas dengan melakukan
perhitungan di muka. Pemerintah mengklaim bahwa melalui skema ini negara akan
mendapatkan bagi hasil baik dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas
serta pajak dari kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan skema tersebut maka Negara
akan memperoleh penerimaan lebih pasti dan negara juga tidak akan kehilangan
kendali dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Kontraktor Migas.
![]() |
Perbandingan Skema Cost Recovery dan Gross Split |
Melalui skema ini pemerintah tidak
akan kehilangan kendali disebabkan bahwa negara memiliki kendali pada penentuan
wilayah kerja, penentuan kapasitas produksi dan lifting, serta aspek komersil
migas ditentukan negara. Pada sisi lainnya seperti bagi hasil maka negara yang
menentukan dan dengan demikian penerimaan negara menjadi lebih pasti.
Kementerian ESDM dalam rangka
mendukung penerapan sistem bagi hasil ini telah menerbitkan Peraturan Menteri
(Permen) Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil Gross Split. Skema dari
Gross Split ini memiliki perbedaan dengan skema Cost Recovery. Skema Cost Recovery selama ini menjadi beban
pemerintah karena biaya operasi yang pada awalnya dikeluarkan oleh kontraktor
pada akhirnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Cost Recovery juga dianggap
tidak efisisen karena pada akhirnya pemerintahlah yang menanggung biaya operasi
dan sejak tahun 2015, Cost Recovery lebih besar dari Penerimaan Migas Negara.
Selain itu Cost Recovery memiliki proses persetujuan yang rumit dan panjang.
Selama ini yang terjadi bahwa cost recovery
memiliki tren yang selalu meningkat setiap tahun. Hal ini bisa dilihat pada
tahun 2010 cost recovery sebesar US$ 11,7 miliar dan menjadi US$ 16,2 miliar
pada tahun 2014. Sempat terjadi penurunan pada tahun 2015 dan 2016 (unaudited)
dimana pada tahun 2015 cost recovery sebesar US$ 13,7 miliar dan pada tahun
2016 sebesar US$ 11,5 miliar, kondisi ini disebabkan oleh rendahnya harga
minyak dunia. Berbanding terbalik dengan cost recovery yang dikeluarkan oleh
pemerintah, penerimaan migas yang menjadi bagian pemerintah hanya sebesar US$
9,9 miliar. Tentu ini akan sangat merugikan negara jika tidak dilakukan skema
baru yang lebih baik dan menguntungkan untuk penerimaan negara.
Melalui Skema Gross Split maka
pemerintah memiliki perhitungan sendiri. Dimana gross split yang diberlakukan
pada wilayah-wilayah tertentu memiliki perbedaan dan penentuan wilayah kerja
juga berada ditangan negara. Persentase Base
Split merupakan perhitungan yang pasti yang telah ditentukan oleh negara.
Base Split minyak telah ditentukan dan diatur dengan membagi porsi bahwa yang
menjadi bagian negara adalah sebesar 57% dan sisanya sebesar 43% adalah bagian
kontraktor. Untuk pengaturan pembagian gas bumi maka negara memperoleh sebesar
52% dan 48% adalah bagian untuk
kontraktor.
Selain itu Kementerian ESDM
mengungkapkan bahwa disamping adanya persentase base split maka negara dan
kontraktor juga akan memperoleh bagian lebih besar dengan penambahan
perhitungan dari 10 komponen variabel dan 2 komponen progresif lainnya.