Diskusi Pro-Strategic Foundation “Ragam Perspektif Pilkada Lampung”
Pada hari Jumat, 10
Februari 2017, pukul 16.00- sd 18.00 WIB bertempat di kantor Pro-Strategic
Foundation, dilakukan diskusi dengan tema “RAGAM PERSPEKTIF PILKADA LAMPUNG”.
Acara ini sebagai ajang silaturahim kepada seluruh civil society di Lampung
yang dikemas dalam diskusi berbahan tema politik. Acara ini juga dimaksudkan
sebagai soft opening Pro-Strategic Public Policy Institute
untuk memberi salam dan memperkenalkan diri kepada masyarakat Lampung.
Pro-Strategic Public
Policy Institute merupakan forum yang disediakan oleh Pro-Strategic Foundation
sebagai layanan dalam bidang Kebijakan Publik. Pro-Strategic Foundation
merupakan Lembaga Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Konsultansi dibidang
Strategi, Bisnis, Sumber Daya Manusia, Teknologi Informasi, Kewirausahaan dan
Kebijakan Publik.
Diskusi ini dihadiri oleh
Pembina Yayasan, Dr. Ayi Ahadiat yang juga dosen pada Fakultas Ekonomi dan
Bisnis (FEB) Unila, dan dibuka oleh
Ketua Yayasan Drs. Dadang Ishak Iskandar, M.M, Diskusi, dipandu oleh tiga orang
narasumber, yakni Robi Cahyadi K (Kandidat Doktor UNPAD) dan dosen FISIP UNILA,
Fitra Dharma (Kandidat Doktor UI) dan dosen pada FEB UNILA, serta Usep
Syaipudin (Kandidat Doktor UI) juga dosen pada FEB UNILA. Diskusi juga dihadiri
oleh fungsionaris Pro-Strategic Foundation, elemen LSM/NGO, pemerhati kebijakan
publik, pemangku kepentingan, serta rekan-rekan
media di Lampung.
Diskusi politik ini
menyoroti tentang pilkada di Lampung, evaluasi penyelenggaraannya, dimulai dari
Pilgub 2014, pilkada serentak jilid satu, Desember 2015, serta kajian menuju
pilkada jilid satu Februari 2107. Tidak lupa juga dikaitkan dengan pileg 2014,
pilpres 2014 dan juga refleksi pada pilkada kabupaten/kota di Lampung pada tahun 2010 sd 2013.
Permasalahan pilkada di
Lampung yang paling krusial adalah pendataan pemilih yaitu masalah keakuratan
data Daftar Pemilih Tetap (DPT), pembelian suara (vote buying), politik uang,
relasi atasan dan bawahan (patron klien), netralitas birokrasi dalam pilkada,
netralitas penyelenggara (KPU, Panwaslu).
Berkaca kepada hasil
pilkada serentak jilid satu, Desember 2015 lalu, ada beberapa catatan untuk
Lampung, yakni angka partisipasi pemilih
yang rata-rata hanya 68 %, jauh dari target nasional sebesar 77,5%,
serta munculnya budaya permisif di kalangan pemilih. Budaya permisif yakni
serba membolehkan atau suka mengijinkan terhadap hal-hal yang dahulu dianggap
tabu. Permisif merupakan pembolehan
terhadap suatu bentuk perbuatan yang dulunya dianggap tidak pantas, akan tetapi
seiring waktu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan
diperbolehkan. Pemilih tidak mempunyai kontrol dan melihat rekam jejak calon,
misal mantan narapidana, koruptor, perilaku sex menyimpang, kutu loncat
politik, narkoba, harta tidak wajar, preman (black local strongmen) , dan
perilaku lainnya yang tabu atau tidak pantas.
Disisi lain Pilkada tidak
bersinggungan langsung dengan kenaikan angka pertumbuhan ekonomi daerah,
terbukanya lapangan pekerjaan, peningkatan PAD atau realisasi janji dalam Visi
Misi Calon Kada. Relasi pilkada dalam konteks ekonomi perlu diperdebatkan kembali dan dikaji secara
mendalam.
Pilkada dalam perspekstif
ekonomi khususnya keuangan daerah hanya bersifat menggerus anggaran daerah di
APBD untuk pelaksanaannya. Politik ekonomi terlihat dalam penentuan
proyek-proyek gentong babi (pork barrel), yaitu proyek yang seolah-olah untuk rakyat namun keuntungannya
adalah untuk pejabat dan kepala daerah.
Dari sisi perencanaan
pembangunan, pemilihan Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana
pembangunan daerah, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan
program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Kepala Daerah.
Oleh karena itu, rencana pembangunan daerah adalah penjabaran dari
agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan Kepala Daerah pada saat kampanye ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPJMD sendiri disusun
dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Oleh
karena itu, calon Kepala Daerah dalam menyusun Visi Misi, idealnya mempedomani
RPJPD, untuk menjamin terciptanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan
sinergi antar dokumen perencanaan pembangunan.
Simpulan diskusi perlu kiranya masyarakat lebih jeli, dan memasang panca indra untuk mengawasi pelaksanaan pilkada, dengan membuang budaya permisif serta melibatkan all civil society, untuk menagih janji kampanye serta Visi Misi yang ditawarkan para Kepala Daerah. Mengutip pendapat Thomas Lickhona (1991) faktor permisivisme dan kaburnya pandangan moral dan hilangnya keyakinan akan kebenaran sebagai faktor hancurnya sebuah negara dan peradaban masyarakat.
Simpulan diskusi perlu kiranya masyarakat lebih jeli, dan memasang panca indra untuk mengawasi pelaksanaan pilkada, dengan membuang budaya permisif serta melibatkan all civil society, untuk menagih janji kampanye serta Visi Misi yang ditawarkan para Kepala Daerah. Mengutip pendapat Thomas Lickhona (1991) faktor permisivisme dan kaburnya pandangan moral dan hilangnya keyakinan akan kebenaran sebagai faktor hancurnya sebuah negara dan peradaban masyarakat.