Breaking News

Singkong Buat Saudaraku Mulyadi Irsan (Tanggapan Atas Tulisan “Balada Singkong”)

Saudaraku Mulyadi Irsan menulis “Balada Singkong”, sebuah artikel yang terbit di Lampung Post edisi 21 Januari 2017. Ia membawa misi Pemda Provinsi Lampung (Gubernur M. Ridho Ficardo) berkaitan persoalan singkong di provinsi yang terjadi pada 2016 lalu.

Singkong Buat Saudaraku Mulyadi Irsan (Tanggapan Atas Tulisan “Balada Singkong”)
Singkong Hasil Panen Petani Lampung Timur

Persoalan singkong itu bukan persoalan baru, tapi masalah lama yang rutin terjadi tiap tahun. Pada 2016, persoalan singkong itu menjadi riuh karena dikait-kaitkan dengan Nawacita Presiden Joko Widodo tentang ketahanan pangan nasional dan persoalan land reform yang tak kunjung terwujud.

Perkara semangat Nawacita itu diabaikan Mulyadi Irsan dalam tulisannya, sehingga buah pikir Kepala Balitbangda Provinsi Lampung ini layak dikritisi dengan dua alasan.

Baca Juga:
Pertama, MI tidak berpihak pada rakyat karena menilai petani terkungkung paradigma berpikir tradisional yang hanya mengandalkan menjual bahan baku (singkong) dan tidak memproduksi barang jadi (produk hilir dari singkong). Simpulan seperti ini khas pejabat pemerintah yang melihat dari kaca mata kuda, lalu bicara hal-hal yang diyakini sebagai inovasi padahal pembicaraan itu tak bergeser jauh dari realitas yang sesungguhnya di lingkungannya.

Inovasi yang disebut Mulyadi Irsan itu bukan hal baru. Sejak lama, hilirisasi produk singkong sudah muncul di provinsi ini. Tentu, hilirisasi itu berkaitan dengan kapasitas petani dan daya dukung permodalan mereka. Sekali waktu pemerintah harus mengunjungi rumah-rumah masyarakat di Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, supaya paham bahwa desa-desa di kecamatan itu merupakan sentra produksi opak (kerupuk singkong) sejak decade 1970-an. Hasil produksi mereka bukan saja menguasai pasar opak di Jawa Barat, Jakarta, dan Banten, tapi juga membuat kehidupan mereka lebih sejahtera.

Singkong Buat Saudaraku Mulyadi Irsan (Tanggapan Atas Tulisan “Balada Singkong”)
Petani Lampung Timur Terpaksa Memanen Singkong Walau Dengan Harga Yang Murah

Kapasitas petani sebagai rakyat kecil hanya mampu melakukan usaha yang tak membutuhkan investasi besar. Petani cuma bisa memproduksi kripik, krupuk, berbagai jenis tepung, tiwul, gaplek, dan berbagai jenis makanan ringan lainnya. Seandainya pemerintah mau memodali, sudah tentu petani mau memproduksi ethanol, sakrosa, dan mungkin monosodium glutamat. Tapi, pemerintah hanya bisa bicara hal-hal besar, tetapi tak melihat kapasitas orang yang disuruh mendengarkan.

Pemerintah Provinsi Lampung memang pernah memberi modal untuk produk olahan singkong berupa tepung tapioka yang digerakkan Gubernur Lampung Oemarsono sebagai program pro-rakyat bernama Industri Tepung Tapioka Rakyat (Ittara). Program pemerintan provinsi ini dialokasikan dalam APBD Provinsi Lampung, dirancang sebagai program pemberdayaan petani singkong lewat bantuan permodalan untuk membeli mesin berkapasitas 10-50 ton tepung tapioka. Tapi, program ini tidak diikuti dengan penguatan pasar hasil produk, sehingga Ittara ambruk karena memproduksi barang yang bersaing dengan hasil produksi industri.

Kedua, Mulyadi Irsan juga mengkritisi tawaran solusi politis yang ditempuh sejumlah pemerintah daerah dalam mengatasi anjloknya harga singkong pada 2016 lalu. Kita tahu, selama 2016, para kepala daerah sentra singkong, dipaksa berpikir keras untuk mengatasi anjloknya harga singkong saat musim panen.

Ada banyak solusi yang dirumuskan pemerintah daerah, tapi solusi tercepat dan bisa memuaskan petani singkong adalah mendesak kalangan industri (pabrik) agar menaikkan harga pembelian singkong hasil panen petani. Solusi politis para kepala daerah ini efektif menaikkan harga singkong, meskipun tidak akan bertahan lama. Tapi, setidaknya, petani singkong merasakan dampaknya secara langsung. Alangkah baiknya seandainya Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo juga ikut mendesak kalangan industri, bergabung bersama Bupati Lampung Tengah dan Bupati Lampung Timur untuk menaikkan posisi tawar petani singkong.

Dalam visi-misi Jokowi-JK tertulis tentang agenda pembaruan agraria, termasuk land reform. Tapi, boro-boro bicara tentang pembaruan agrarian, pemerintah lebih fokus pada agenda kedaulatan pangan. Pada beberapa kesempatan, termasuk dalam kuliah umum di LIPI, Jokowi mengatakan pentingnya riset untuk mendukung kedaulatan pangan. Ia menekankan bahwa untuk mencapai swasembada pangan, beras, perlu meningkatkan produksi melalui temuan varietas yang bisa menghasilkan 8-12 ton gabah per hektar (Kompas, 17/9/14).

Gagasan Jokowi ini mirip gagasan revolusi hijau tahun 1970-an. Pemerintah saat itu menargetkan swasembada beras dengan cara meningkatkan produksi melalui temuan varietas baru, penataan kelembagaan, irigasi, subsidi pupuk, dan pestisida. Ajaib, swasembada pangan memang tercapai di zaman Presiden Soeharto, untuk pertama kali pada tahun 1984. Padahal, pada masa itu tidak ada land reform.

Hebat, memang. Begitu hebatnya pencapaian swasembada beras zaman Soeharto, pemerintah saat ini menganggap kalau swasembada beras bisa dicapai tanpa land reform. Saya melihat pola pikir yang kolot ini sangat kuat pada cara Mulyadi Irsan dalam menguraikan gagasannya. Ia mengakui Lampung merupakan provinsi penghasil singkong terbesar nasional. Namun, baru sebatas statistik komparatif yang belum menjadi kekuatan kompetitif daerah. Padahal, merujuk Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Lampung 2012—2025, singkong merupakan makanan pokok nasional ketiga setelah padi dan jagung.

Artinya, singkong adalah bagian penting dari agenda ketahanan pangan Presiden Jokowi. Sebab itu, meningkatkan produksi singkong untuk mendukung ketahanan pangan nasional adalah visi dan misi Kepala Negara yang mesti didukung. Tapi, kita akan menghadapi kendala yang luar biasa. Salah satunya luas lahan pertanian Indonesia yang sangat terbatas, sekitar 21 juta hektar, tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan.

Pertambahan luas lahan pertanian tidak sebanding dengan percepatan kebutuhan pangan, sebaliknya lahan pertanian yang tersisa terus menyusut karena konversi lahan. Sebab itu, pemerintah harus membuka lahan pertanian baru, karena lahan pertanian yang ada saat ini tidak akan cukup untuk mencapai kedaulatan pangan. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pernah melakukan redistribusi lahan (telantar) 1,2 juta hektar, tetapi belum mengatasi masalah.

Pilihannya bisa melalui program pelepasan kawasan hutan negara yang potensial untuk pengembangan lahan pertanian. Selain itu, lahan pertanian yang ada saat ini perlu diatur batas-batas penguasaan maksimum dan minimumnya. Siapa saja, terutama kalangan industri, perlu dibatasi penguasaan lahannya. Negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, telah melakukan land reform sebagai bagian dari kedaulatan pangan.

Mulyadi Irsan sebagai teknokrat, mestinya bisa mendorong agar pengaturan penguasan maksimum dan minum lahan dimulai dari Lampung untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Sebagai sentra utama produksi singkong, bisa dikatakan penguasaan lahan petani singkong sangat minim, jauh lebih maksimal jumlah lahan yang dikuasai industri pengolahan singkong.

Tapi, sebagai teknokrat, saya yakin Mulyadi Irsan hanya mampu memojokkan rakyat petani, tapi angkat tangan berhadapan dengan kalangan industri.

Singkong Buat Saudaraku Mulyadi Irsan (Tanggapan Atas Tulisan “Balada Singkong”)
Budi Hutasuhut
Singkong Buat Saudaraku Mulyadi Irsan
Oleh: Budi Hutasuhut
Anggota Dewan Riset Daerah Lampung Timur