Merenungi Masa Depan Amnesti Pajak
Berkat terselenggaranya program pengampunan pajak (tax
amnesty), tahun ini kita mencatat histori hebat dalam sejarah perekonomian Indonesia.
Program ini terhitung sangat langka karena tidak akan terjadi pada setiap tahun
bahkan tidak semua negara mampu menyelenggarakannya. Kita patut bersyukur bahwa
meskipun secara de jure periode pelaksanaannya belum berakhir, Indonesia mampu
menorehkan rekor-rekor penghasilan yang sulit ditandingi negara manapun yang
pernah menerapkan kebijakan serupa.
Pro-kontra opini memang sulit dihindari dengan citra
kebijakan tax amnesty yang lebih banyak dikonotasikan secara negatif. Beberapa
pihak sempat mengajukan judicial review agar program ini dibatalkan tetapi
pemerintah dapat dianggap sebagai “pemenang” karena pada kenyataannya kebijakan
ini tetap resmi berjalan. Sekarang sudah bukan lagi momentum untuk terus
melanjutkan perdebatan, karena suka ataupun tidak suka, the show must go on.
Wacana pelaksanaan kebijakan amnesti pajak menjadi begitu
kuat lantaran penerimaan negara kini dalam kondisi yang lemah. Apalagi
pemerintah berambisi untuk mengakselerasi pembangunan. Dengan penerimaan yang
terbatas, pemerintah tidak memiliki pilihan kebijakan selain melakukan ekspansi
pajak, atau meningkatkan utang untuk menambal defisit anggaran.
Baca Juga: Tax Amnesty, Jalan Terakhir
Tradisi sistem keuangan negara kita memang “menghalalkan”
kebijakan utang bilateral atau ke sektor swasta dengan batas rasio maksimal 60%
terhadap total PDB di Indonesia. Sementara itu, Kemenkeu (2016) mencatat rasio
utang kita hingga awal Desember kemarin masih di kisaran 28% persen, artinya
peluang untuk menambah jumlah utang dapat dikatakan masih terasa sangat longgar.
Sayangnya, kebijakan itu bisa memiliki interpretasi yang berbeda jika ditinjau
dari sudut pandang politik karena dinilai dapat lebih berbahaya ketimbang
berekspansi melalui program pengampunan pajak.
Memasuki periode kedua dari total tiga periode yang
direncanakan, banyak hal yang menarik seputar pelaksanaan program pengampunan
pajak. Dimulai dari kita harus mengapresiasi kinerja pemerintah terutama
Presiden, Menteri Keuangan, dan Ditjen Pajak yang menjadi ujung tombak terlahirnya
rekor-rekor fantastis. Pada triwulan pertama, sejak Juli hingga September 2016,
kita mampu menghasilkan dana tebusan mencapai Rp97,2 triliun, melampaui rekor
dunia sebelumnya yang dikuasai Italia sejak 2009 silam.
Dana tebusan yang diterima pada periode yang sama jika
dirasiokan terhadap total PDB mencapai 0,77%, mengungguli rekor Negara Cile
tahun 2015 yang mencapai 0,62%. Rasio penyertaan harta yang dihasilkan dari
deklarasi harta dan program repatriasi (menarik kekayaan WNI dari luar negeri) juga
tidak kalah mentereng. Capaian kita telah menembus kisaran rasio 20% terhadap
PDB, jauh mengungguli Italia yang mengumpulkan sedikit di atas 10%. Daftar
perolehan tersebut masih dapat terus berkembang seiring masa berlakunya baru
akan ditutup pada 31 Maret 2017.
Prestasi ini tentu tidak dilalui dengan instan. Berbagai
drama sudah menghiasi sejak wacana program ini digulirkan, seperti baru
beberapa hari dijalankan, terjadi reshuffle Menteri Keuangan. Presiden Joko
Widodo memilih “merepatriasi” Sri Mulyani untuk memperkuat daya tawar
pemerintah terhadap para taxpayer apalagi pemerintah menetapkan target tinggi
untuk mendapatkan dana repatriasi. Kita sulit menampik bahwa totalitas dari
pemerintah mampu merombak ekspektasi publik yang sempat dilanda pesimisme yang
kuat. Hasil dana tebusan tax amnesty dianggap ikut meredam polemik serius
akibat kebijakan pemotongan anggaran belanja pemerintah yang sempat terjadi
pada kuartal III 2016 lalu. Faktor trust yang berhasil dibangun antara
pemerintah dengan dunia usaha dan wajib pajak menjadi success story yang layak
dipertahankan.
Beberapa bulan ke depan, pemerintah dituntut untuk memenuhi
target akhir dana tebusan yang diharapkan dapat terkumpul hingga Rp165 triliun.
Bila data dalam dashboard amnesti pajak (2016) kita intip sejenak, pemerintah
untuk saat ini boleh dibilang merasa cukup tegang karena sepanjang periode
kedua hingga awal pekan ketiga Desember (13/12) kemarin, realisasi dana tebusan
berdasarkan surat setoran pajak (SSP) hanya bertambah Rp2,69 triliun. Kalau
diagregatkan dengan perolehan di sepanjang periode pertama, berarti pemerintah
masih “berhutang” sekitar Rp65 triliun selama tiga bulan ke depan.
Nasib yang sama juga melanda realisasi dana repatriasi yang
hingga Desember (13/12), masih mencapai Rp143,69 triliun atau berkisar 14,37% dari
total target sekitar Rp1.000 triliun. Dengan regulasi dana repatriasi yang secara
tidak langsung “memaksa” para taxpayer menggunakan hartanya untuk kegiatan
investasi dalam negeri (minimal tiga tahun), kita perlu mengakui bahwa partisipasi
dan kepercayaan publik masih cukup rendah untuk keamanan berinvestasi. Bagaimanapun
kita harus mafhum bahwa kalangan swasta memiliki rasionalitas kuat terkait ekspektasi
profit. Kalau daya saing investasi kita tidak cukup atraktif, maka pemerintah
bisa kehilangan sumber pendanaan investasi yang dapat dibilang sangat
menggiurkan.
Langkah selanjutnya, Indonesia perlu belajar dari 40 negara
yang sudah menerapkan dan rata-rata gagal dalam proses pelaksanaannya.
International Monetary Fund (IMF) pada 2008 dengan gamblang menjelaskan,
kesuksesan tax amnesty bagaikan anomali karena sebuah kesuksesan akan dinilai
tidak normal dan kegagalan merupakan sesuatu yang normal. Contoh terdekat
kegagalan Filipina karena mekanisme lanjutan pasca pemberlakukan tax amnesty
tidak dimbangi dengan reformasi sistem perpajakan yang bersifat menyeluruh.
Menurut Alm dan Beck (1993), kebijakan tax amnesty yang
pernah diterapkan di Colorado tidak berdampak positif baik terhadap tren pengumpulan
maupun tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) dalam jangka panjang. Program
ini dinilai hanya berperan layaknya “aspirin” (obat pereda demam) yang bersifat
sementara. Argumen ini dijustifikasi Alm, Martinez, dan Wallace (2007) yang
meneliti pengalaman amnesti pajak di Rusia. Salah satu “kesalahan” utama dari
Rusia ialah terlalu sering untuk melakukan kebijakan tax amnesty, sehingga banyak
masyarakat yang mangkir dari kewajiban pajaknya karena menganggap nantinya akan
kembali “dimaafkan” melalui program
pengampunan pajak. Ketiga peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan tax amnesty
tidak berpengaruh terhadap kinerja pajak di negara tersebut. Mereka menegaskan
bahwa penegakan peraturan setelah berakhirnya kebijakan (post amnesty enforcement effort) lebih menjamin terhadap penerimaan
pajak daripada sekedar mengulang kebijakan tax
amnesty.
Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa hanya terpaku pada
penetapan targettarget penerimaan selama sembilan bulan masa pemberlakuan.
Seperti pengalaman di Colorado dan Rusia, pemerintah juga harus menambah amunisi
kebijakan yang dapat melindungi upaya reformasi pajak dan peningkatan tax
compliance.
Pertama, dukungan dari lingkungan politik.
Breakthrough melalui berbagai pendekatan yang kemarin dilakukan tiga trisula
utama (Presiden, Menkeu, dan Ditjen Pajak), terbukti mampu meningkatkan animo
masyarakat untuk terlibat dalam rekonstruksi sektor perpajakan. Kedua, desain dan
tujuan reformasi perpajakan harus disusun lebih jelas. Pemerintah dapat
berdiskusi dengan masyarakat mengenai hambatan tingkat kepatuhan pembayaran
beserta tahaptahap administrasi yang dinilai membebani biaya transaksi. Ketiga,
pengembangan teknologi informasi perpajakan demi mereduksi potensi
penyelewengan dan mengefisiensi proses pengawasan. Keempat, perumusan kebijakan,
masa transisi, dan proses implementasinya harus dengan cara yang tepat. Kelima,
peningkatan kapasitas SDM perpajakan sebagai lini yang paling mendesak. Selain
demi menjaga integritas dan kredibilitas, SDM perpajakan dinilai dapat berperan
sebagai ujung tombak edukasi perpajakan kepada masyarakat. Proses interaksi dengan
masyarakat, merupakan cara yang paling efektif untuk mengkampanyekan betapa
pentingnya peran pajak dalam proses peningkatan keadilan dan pemerataan
pembangunan.
Merenungi Masa Depan Amnesti Pajak
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
Sumber: Media Keuangan Januari 2017