Analisis APBN 2017, Lebih Kredibel?
Menteri Keuangan Sri Mulyani
menekankan pentingnya menjaga kredibilitas anggaran. APBN yang kredibel,
menurutnya, memberi kepastian bagi para pembuat kebijakan, terutama saat
menghadapi krisis. Anggaran kredibel berarti bahwa angka-angka dalam anggaran
tersebut dapat dipercaya, antara lain target pendapatan diyakini akan tercapai,
rencana belanja akan terealisasi, dan rencana defisit akan terpenuhi dari sumber
pembiayaan. Sementara target pendapatan yang terlalu tinggi dan kurang diyakini
ketercapaiannya bisa menimbulkan risiko defisit yang melebar. Bahkan berpotensi
melanggar ketentuan Undang-Undang yang membatasi defisit APBN maksimum 3 persen
dari PDB.
Pelaksanaan anggaran tahun
2015 dan 2016 memberi pelajaran penting agar menetapkan target pendapatan yang
lebih realistis. Pada 2015 capaian penerimaan pajak hanya 83,3 persen dari
target Rp1.489,3 triliun. Sementara itu, serapan belanja mencapai 91 persen
dari target Rp1.948 triliun. Akibatnya, rasio defisit membengkak mencapai
sekitar 2,6 persen dari PDB, melebihi rencana awal sebesar 1,9 persen dari PDB.
Kita beruntung, sebab likuiditas pasar masih mampu menyediakan sumber
pembiayaan untuk pelebaran defisit tersebut.
Baca Juga: APBN Kredibel Bisa Jadi Solusi
Postur APBN 2016 tidak
jauh berbeda dengan APBN 2015, di mana target pendapatan dipatok cukup tinggi sehingga
dianggap kurang kredibel. Peningkatan target penerimaan pajak mencapai 24 persen dari realisasi 2015, yaitu
Rp1.539,2 triliun. Akibatnya, pemerintah memutuskan untuk melakukan pemotongan
belanja, sehingga berisiko pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga
kerja akibat berkurangnya daya stimulus APBN.
Berkaca pada kondisi dan pengalaman
dua tahun sebelumnya, APBN 2017 diyakini banyak pihak lebih kredibel. Target
pendapatan dibuat lebih realistis sebesar Rp1.750 triliun. Jumlah ini tumbuh 12
persen dibanding perkiraan realisasi 2016, antara lain pertumbuhan penerimaan
pajak sebesar 14 persen dan PNBP sebesar 2 persen (dari perkiraan realisasi
2016). Asumsi angka pertumbuhan penerimaan pajak tersebut lebih rendah
dibandingkan target dalam APBNP 2016 sebesar 24 persen (terhadap realisasi
2015).
Baca Juga: Menuju Belanja Pemerintah Yang Berkualitas
Target 14 persen dianggap cukup
realistis untuk dicapai. Jumlah ini diperoleh dari perkiraan atas pertumbuhan
alami penerimaan pajak, sesuai perkiraan pertumbuhan PDB nominal sebesar 8 persen
dan perkiraan pertumbuhan pembayar pajak baru sebesar 6 persen. Perhitungan ini
didukung data historis realisasi penerimaan pajak pada 10 tahun terakhir
(2005-2015) dengan angka pertumbuhan rata-rata sebesar 14 persen.
Keyakinan atas
ketercapaian target penerimaan, serta belanja yang tidak melebihi pagu, memberi
keyakinan bahwa defisit APBN 2017 tidak akan melebar. Kepastian jumlah defisit
ini memberi kejelasan likuiditas pasar, sehingga menarik pelaku pasar untuk
berinvestasi. Sementara itu, keyakinan atas ketercapaian jumlah penerimaan memberi
kepastian besaran rencana belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah.
Bagi Kementrian/ lembaga (K/L), kepastian rencana belanja mencegah kemungkinan
pemotongan anggaran di pertengahan tahun. Hal ini memberi kepastian bagi
masyarakat dan pihak ketiga yang hendak memanfaatkan belanja negara tersebut.
APBN 2017 juga menunjukkan
kehati-hatian para pengambil kebijakan dalam menentukan angka di tingkat the
most probable. Target rasio defisit sebesar 2,41 persen dari PDB mencerminkan
APBN yang ekspansif pada level yang paling memungkinkan untuk dicapai,
mengingat kondisi eksternal belum kondusif untuk bersikap lebih ekspansif lagi.
Besaran defisit tampaknya telah mengantisipasi kemungkinan likuiditas pasar
keuangan yang boleh jadi tidak mengalami perbaikan di tahun 2017. Secara
implisit, kebijakan APBN 2017 juga memberi ruang yang lebih luas bagi sektor
swasta untuk lebih ekspansif. Apabila likuiditas keuangan membaik dan Indonesia
menarik bagi investor, maka dana tersedia untuk sektor swasta akan lebih
banyak. Sebab, kebutuhan pembiayaan atas defisit negara sudah lebih pasti dan
terhindar dari crowding-out effect akibat obligasi dan pinjaman negara.
Analisis APBN 2017,
Lebih Kredibel?
Hefrizal Handra
Dosen Fakultas
Ekonomi Universitas Andalas
Sumber: Media
Keuangan Januari 2017