Lacofest (Lampung Coffee Festival) 2016: Merawat Kebersahajaan Kopi
Jika
belum terlambat, sepertinya Sapardi Djoko Damono perlu menambahkan baris baru
dalam puisi fenomenalnya Hujan Bulan Juni,
dengan rima begini kira-kira: “Tak ada
yang lebih hangat dari kopi/ Disembunyikannya
peluh dan pedih itu/ Ke dalam setiap
gelas yang berlalu...”
![]() |
Rifky Bangsawan |
Baca Juga: Yok Kita Ngopi “Kopi”Kopi memiliki ceruknya sendiri, mulai dari cairan yang menemani ketela rebusnya pak tani hingga teman bisnis yang dimaksimalkan bapak-bapak berdasi. Akhir tahun yang penuh mendung, hujan sering datang tak tentu. Banyak orang menghabiskan sisa hujan dengan menyeruput hangatnya kopi. Karena, kopi menjadi pembuka awal yang ampuh untuk berbagai topik bicara sehingga agenda-agenda dapat rampung dengan sempurna. Memang, kopi yang membersamai hujan adalah pasangan paling tepat: sulit untuk mencari tandingannya.
Baca Juga: Lacofest (Lampung Coffee Festival) 2016: Panggungnya Kopi Robusta Lampung
Seperti
disebut Muchlas Samorano, “Ketika kopi
menemukan dimensi sosialnya, ia tidak
sekedar sebagai komoditas konsumsi masyarakat, tetapi juga menjadi wadah perekat dan pemantik diskusi-kritis.” Tukar ide di kedai kopi menjadi pemandangan
yang umum terjadi. Tidak sedikit yang
memanfaatkan kedai kopi sebagai sarana mendedah habis ide-ide inovatif yang ada
dalam kepala, merencanakan suatu gerakan, hingga hanya sekedar duduk santai membahas
berita terbaru untuk menghilangkan kantuk.
Kopi telah menemukan irisannya sendiri, dengan berbagai kepentingan yang
dibawa. Apabila kopi adalah aliran
musik, barangkali ia adalah musik yang paling kabur batasan umurnya. Semua menitipkan apresiasinya terhadap kopi,
mulai dari muda hingga yang tua, dari buruh pabrik hingga buruh rakyat paling
elit.
Baca Juga: Festival Kopi Lampung 2016 (Lacofest 2016): Dari Industri Kreatif, Pariwisata dan Kuliner Unggulan
Fenomena
kopi masih menjadi api dalam sekam sebelum diledakkan oleh film berjudul “Filosofi Kopi”, tidak banyak yang
menyadari bahwa “Ngopi” telah
membudaya. Terlepas dari bagaimana
meracik dan memilih biji kopinya, menyeruput kopi adalah unsur-unsur budaya
yang dilegitimasi waktu menjadi peradaban Indonesia. Tak ada masalah yang tak tuntas diatas meja
yang berisikan cangkir kopi, dia-lah yang menyegerakannya. Baris puisi M. Faizi dalam “Qohwiyat 2”
merupakan representasi riil kopi dalam masyarakat, sebab kopi hanya tanda bersulang/ bagi silaturahmi dan banyak kepentingan//. Kopi membawa ruangnya sendiri, dengan menjadi
stimulus yang begitu halus dan pelita yang membawa benderang dalam setiap
lobi-lobi. Menyenangkan rasanya merawat
kebersahajaan bersama kopi, ada keluguan, kesederhanaan, namun tetap menawarkan
pikat yang selalu menarik untuk ditelusuri.
Muchlas Samorano menandaskan, “Mestinya,
kopi menjadi simbol keguyuban dan
perlawanan terhadap kesewenangan, bukan
sebagai sekat dan pertanda kemapanan.”
Kopi
menjadi pembawa senyum si jelata menghadapi penguasa, bersama ketela dan acara
tv seadanya mereka menahan sabar dalam harap ke penguasa yang tidak pula segera
menyejahterakan mereka. Bagi pak tani,
kopi adalah pengobat lelah mencangkul sawah, sungguh nilai yang sangat kecil
bila dibandingkan lobi penguasa dibalik gedung megah. Semoga pada akhirnya bukan kopi yang
melancarkan setiap agenda-agenda yang berat sebelah.
Selamat
datang Lacofest (Lampung Coffee Festival) 2016, salah satu tuan rumah kopi di
Nusantara.
Lacofest 2016: Merawat Kebersahajaan Kopi
Oleh: Rifky Bangsawan (Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Lampung)