Lacofest 2016 (Lampung Coffee Festival): Yok Kita Ngopi “Kopi”
Sebelumnya saya juga agak bingung dengan judul tulisan ini. Cuma demi adanya aroma kopi, dan dengan gelaran Provinsi Lampung melalui Dinas Perkebunan Provinsi Lampung dan Lampung Segalow yang akan menghelat Lampung Coffee Festival (Lacofest) 2016 pada 7-8 Desember 2016, maka sedikit memaksa saya juga harus bicara kopi. Apalagi akhir-akhir minggu ini kopi jadi pembicaraan menarik baik dilingkungan kerja maupun di rumah.
Bahwa kegiatan meminum kopi, yang biasa disebut ngopi, juga sama ketika akan mem-foto copy, bisa juga disebut ngopi, misalnya: “gw ngopi tugas elu ya.” Atau bisa juga pada saat kita mengcopy file di word-excel misalnya, gw ngopi file ini ya. Dari pada nanti banyak pertanyaan lebih baik saya pertegas saja bahwa yang di ngopiin itu kopi. Kopi yang sebenar-benarnya kopi.
Sore itu, setelah walimatul aqiqah anak saya yang ketiga, ada seorang tamu. Ya, tamu ga jauh, tetangga juga, Cuma karena belum sempet hadir di acara inti, marhabanan dan segala macemnya, ia datang sore hari, ditengah kesibukan beberes keadaan rumah yang acak adut. Saya ngoborol santai dengannya.
Namanya Thomas, aslinya si katanya namanya Masto.. Cuma supaya keren diganti dengan Thomas.. hehe.. itu candaan beliau waktu pertama kali kenalan.. toh sama saja, mau dibolak balik juga nama tomas dan masto sama bunyinya mastomastomasto.. hehe..
Ngakunya dari solo, jadi di Lampung baru 5 tahunan. Tapi sudah ngacak-ngacak Lampung dengan bisnis jual beli sapi, banting stir, bisnis “Warung Steak”, banting stir lagi ke “Soto Babat” dan tak ketinggalan juga menu minuman yang ditawarkan diwarungnya adalah “kopi”.
Tanpa basa basi, saya tawari dia kopi: “Ngopi mas?”
Thomas: “Boleh”
Saya kasih alasan supaya dia tidak kaget: ”Tapi rasa kopinya aneh mas, merk ini saya beli biasanya enak, tapi yang ini rasanya ga enak. Besar kemasannya beda dengan yang biasa saya beli”
Thomas: “Selama ini, kalau aku ngopi ya ngopi aja tur, aku ga paham enaknya kopi dimana? Aku belum merasakan enaknya ngopi. Karena aku ngopi ya baru di Lampung ini. Sebelumnya ga pernah ngopi”
Padahal di warungnya jualan kopi??
Lalu, saya tanya kembali: “Lha, emangnya di Jawa sana ga ada yang jualan Kopi?”
Thomas: “Ya, ada, tapi jarang yang jual kopi hitam yang ditumbuk begini, ada namanya kopi “Desa” itu sudah jarang sekali, biasanya juga orang-orang sana konsumsi kopi sachet, atau kopi-kopi yang sudah kemasan begitu”.
Thomas pun melanjutkan: “Aku ya ngopi hitam model begini karena sudah gaul di Lampung ini, jadi ya ngopi-ngopi aja buat pergaulan, belum merasakan nikmatnya seperti apa”
Oh, disini saya mengambil kesimpulan bahwa kopi di Lampung merupakan lifestylemasyarakat Lampung. Orang seperti mas Thomas membiasakan ngopi, walaupun mungkin cuma 1 gelas sehari, dan itupun ketika ia bertamu atau bersitalurahmi dengan tetangga dan sahabatnya di Lampung. Dan juga ia sendiri mengakui belum menikmati nikmatnya kopi. Inilah salah satu akibat gaul di Lampung, bisa-bisa jadi kecanduan kopi. Saya ga tau apakah ini dampak negatif dari pergaulan di Lampung atau bukan. Tapi ini sepertinya akibat dari pergaulan positif kok. Banyak untungnya dari pada ruginya.
Pada malam hari sebelumnya, tepatnya malam minggu sebelum acara aqiqah anak saya pada hari minggunya, tetangga kumpul di tarup tempat acara. Riungan, main kartu sambil ngopi. Itulah awal mula ketahuan kalau kopinya ga enak. Kopinya apek, bau seperti kadaluarsa atau apalah. Semua bisa merasakan kalau kopi ini tidak enak, tetapi tidak bisa menyimpulkan kenapa kopi ini tidak enak.
“Ini bukan kopi namanya”, kata teman saya. Lha kalau bukan kopi lalu apa? Itu kopi..
Satu lagu nyeletuk menyindir “ Rasanya ada manis-manisnya gitu, ada rasa vanila..” dengan gaya seperti salah satu iklan yang sering muncul di televisi. Grrrrr.. saya pun geram.. Sebagai tuan rumah, tentu penghinaan besar bagi saya ketika tidak bisa menyuguhkan yang terbaik buat tamu, apalagi kopi, menu utama.
“Piil woy.. Piil..” kata orang kampung saya, ketika Nemui-Nyimah tak berjalan dengan semestinya.
Lalu, saya tuding merk kopi yang saya beli tadi sori. 2 bungkus besar ukuran 500 gram saya beli di salah satu swalayan di Bandar Lampung dengan harga Rp. 21.300,- per bungkus. Capnya terkenal, biasanya enak. Kadaluarsanya juga tertera 11-2017. Artinya masih ada waktu 1 tahun untuk bisa menikmati kopi ini.
Begitu juga pada acara hari H aqiqah anak saya, semua pada protes. Terutama para penikmat kopi, kok kopinya ga enak ya, rasanya seperti ini. Ada yang ditinggalkan saja dengan mencicip sedikit, adapula yang terpaksa menghabiskan 1 gelas demi menemani menikmati musik dan teman merokok.
Ya, sebagai masyarakat penikmat kopi, kita bisa tau kopi yang enak yang mana dan tidak enak yang mana. Tapi kita tidak tau penyebabnya enak kenapa dan tidak enak kenapa. Karena sebagian besar dari kita adalah penikmat kopi, bukan peracik dan pengolah kopi macam barista begitu. Walaupun kadang kita gampang menyeduh kopi. Tetapi walaupun kita ahli dalam menyeduh kopi apakah kita juga paham cara mengolah kopi dari buahnya dan mengolahnya menjadi kopi bubuk yang mantap..!!!
Oh, itu sudah urusan petani dan pabrik pengolah kopi. Rasanya iya juga, tetapi itu bukan hak mutlak mereka saja sebagai produsen kopi. Mereka punya tanggung jawab untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Bukankah begitu teori-teori yang diajarkan pada ilmu marketing.
Ketika sadar bahwa produksinya tidak enak mengapa harus menyebarkan dan memasarkan dengan meniru cap merk lain. Dengan diubah sedikit cap nya, sehingga masyarakat tertipu. Saya telah menemukannya, perbedaannya dimana. Saya kumpulkan bungkusnya, lalu saya beli dengan kemasan kecil dengan gambar yang sama. Dan ternyata banyak sekali perbedaan dalam kemasan. Hanya gambar merk yang sama, sedangkan produksi dan yang memproduksi berbeda.
Apakah ini tidak ada perhatian dari pemerintah ketika gambar merk kopi bubuk itu hampir sama dan pastinya kualitasnya juga berbeda. Apakah itu tidak ada pelanggaran ketika kemasan ini beredar, sedangkan merk cap kopi ini sudah melegenda di Lampung. Rasanya ingin saya sebut merk-merk itu, tetapi tidak etis disini, nanti dianggap pelanggaran, walaupun mereka sendiri telah melanggar etika terhadap kepuasan konsumen.
Ketika produsen ini tau bahwa Lampung adalah surganya para penikmat kopi, seharusnya mereka berlomba-lomba untuk membuat para penikmat kopi salut terhadap bubuk kopi yang mereka buat. Sehingga, setiap rumah tangga merekomendasikan bubuk kopi hitam ini. Kenapa, sebagai penikmat kopi saya telah merasakan nikmatnya kopi dirumah dan warung-warung kecil dibanding dengan tempat-tempat yang wah dengan harga kopi yang mahal.
Setelah saya teliti untuk keesokan harinya, saya membeli kopi dengan cap yang sama, dengan modal Rp 2.500,- saya sudah mendapatkan kopi dengan merk populer ini seperempat kilo (250 gram) dan bisa menikmati kopi seduhan sendiri yang mantap. Mau direbus dan mau diseduh, sama-sama mantap.
Ternyata, memang benar. Walaupun dengan gambar cap yang sama ternyata merk nya berbeda.. rasaya beda, mana yang kopi dan mana yang bukan. Saya tidak akan tertipu lagi, dan yang pasti ketika nanti ada kawan-kawan yang bertanya kepada saya secara offline, akan saya jawab dimana letak perbedaannya, dan saya akan merekomendasikan mana yang terbaik antara merk-merk kopi bubuk yang memiliki gambar yang hampir sama tersebut.
Itulah yang saya maksud dengan ngopi yang sebenarnya kopi, yok kita ngopi kopi. Bukan yok kita ngopi bubuk hitam rasa apek ini.
Untuk para produsen kopi, jadilah orang pertama yang menikmati kopi anda. Karena saya lihat, banyak sekali kopi bubuk hitam yang dijual secara online dengan embel-embel membawa nama Lampung. Oleh-oleh Lampung, Khas Lampung, Dari Lampung, Kopi Lampung atau semacamnya.. Kalau yang dijual bukan kopi. Malu geh Lampungnya.
Semoga dengan gelaran Lacofest (Lampung Coffee Festival) 2016 ini menjadi momentum kebangkitan kopi Lampung, terutama kopi Robusta. Sepertinya legenda kopi Lampung sama tuanya dengan lada Lampung. Tabik..!!!
Semoga dengan gelaran Lacofest (Lampung Coffee Festival) 2016 ini menjadi momentum kebangkitan kopi Lampung, terutama kopi Robusta. Sepertinya legenda kopi Lampung sama tuanya dengan lada Lampung. Tabik..!!!