Karena Nyinyir Adalah Trend dan Politik Menjadi Panglima di Medsos (Media Sosial)
Merebaknya media sosial juga tidak lepas dari pelaku-pelaku didalamnya. Medsos pernah sempat hanya menjadi bahan candaan, ajang silaturahmi, kenalan dengan orang-orang baru dan postingan-postingan yang dianggap alay.
Namun seiring berjalannya waktu, medsos juga berubah menjadi ranah politik untuk pencitraan dan sosialisasi para politikus. Obama mungkin salah satu pencetus untuk mempromosikan dirinya melalui Facebook, Twitter dan game-game online. Sarana ini dimanfaatkan oleh tim sukses Obama untuk mengantarkannya menuju tampuk AS 1.
Di Indonesia juga tidak ketinggalan, SBY dan Jokowi adalah contoh sosok sukses yang memanfaatkan medsos untuk kepentingannya. Dan sosok yang “dimatikan” baik pribadi dan kehidupannya oleh medsos dan media-media elektronik lainnya adalah seperti Aa Gym, Rhoma Irama, Aburizal Bakrie dan tokoh-tokoh lainnya.
Baca Juga: Internet Menjadi Alat Propaganda dan Pembunuhan Karakter
Padahal orang-orang seperti Aa Gym dan Rhoma Irama adalah orang-orang yang sukses membangun brand dan image mereka sedemikian rupa. Bicara wisata hati kita ingat Management Qolbu Aa Gym, bicara dangdut kita ingat Rhoma Irama. Tetapi, brand yang kuat tak sepenuhya mampu menahan image dari serangan medsos. Ketika image telah dihajar, brand juga lambat laun ikut menyusut
Dari sini kita sudah akrab dengan lahirnya para haters yang siap mem-bully dan menghabisi siapa yang menjadi target. Baik haters bayaran maupun secara sukarela menjadi kubu-kubu yang saling berseberangan. Detik.com dulu memiliki kolom komentar di setiap postingannya. Disitu ajang pertarungan para pihak yang berseberangan.
Misalnya, pada helatan Moto GP, Ketika Valentino Rossi yang menunggangi Yamaha kalah, maka ramai-ramai para sales dari produk-produk tertentu dan komentatornya akan menghajar produk Yamaha, bagitu juga sebaliknya, jika pembalap Honda yang kalah dan Yamaha yang menang, maka ramai-ramai akan membully para sales dan pendukung Honda.
Baca Juga: Bahaya Menyebar Kebencian
Begitu juga ketika El Classico antara Barca dan Madrid, Messi VS Ronaldo. Menjadi viral dan sepertinya lebih asik membaca ejekan-ejekan dari pada isi berita. Lebih asik menyindir lawan-lawan yang kalah dengan status-status baik di BBM, facebook, twitter dan media lainnya.
Rasanya asik, keesokan harinya masih itu-itu juga yang dibahas. Tak ada SARA, tak ada marah-marah walau disindir habis-habisan.
Makin kesini, trend sudah berubah. Politik menjadi panglima di medsos dan konspirasi semakin menjadi-jadi oleh Media. Media membuat framing sesuai kepentingannya. Kita masuk wilayah abu-abu. Tidak adalagi kata sindiran yang menohok dan membuat tertawa. Tetapi, kita marah. Karena politik isu SARA di bawa oleh para politikus yang mengaku-ngaku demi kepentingan rakyat. Nyinyir dengan kepercayaan orang lain dan tak bisa menjaga rahangnya.
Saya bilang SBY sukses karena dia tidak membawa-bawa isu SARA, tetapi ia membawa platform dari ketertindasan, yang sudah lama kita alami semasa Orde Baru, masih ada luka lama yang membekas. Ketika tampuk pimpinan diberikan kepada sipil tetapi hasilnya nihil, SBY tampil sebagai sosok militer yang tertindas pada era Megawati, dicampur dengan JK yang mewakili sipil dengan slogan “Bersama Kita Bisa” ternyata mampu memikat hati mayoritas rakyat Indonesia.
Baca Juga: Marketing Politik Pada Media Sosial
Pun, begitu juga dengan Jokowi. Datang dari Solo dengan segudang prestasi begitu kata media. Terutama blow up medsos yang selalu mengharumkan namanya. Dianggap sukses di Solo menjadi modal untuk Jokowi melanggeng di DKI 1. Medsos ramai membicarakan kinerja dan kebaikan Jokowi, sifat Humble yang ditonjoklan oleh Jokowi mematahkan sifat-sifat elitis yang ditonjolkan oleh kandidat lainnya. Kira-kira seperti itulah gambaran media membuat citra sosok Jokowi. Ia sukses dan menang.
Namun, semakin kemari, kita tidak lagi bicara program. Tapi bicara propaganda, konspirasi, SARA dan pengerahan pasukan dunia maya. Dunia maya terbelah, tidak ada lagi sindir-menyindir yang membuat tertawa. Ejekan-ejekan yang semakin mempererat persatuan. Tetapi kita terbelah dalam kebencian. Suka dan tidak suka. Marah, Elu dan Gue Beda.
Saya menyadari itu, dan saya juga merasakan itu. Kenapa? Karena isu SARA sangatlah sensitif, menyingung SARA sama saja dengan menghina pribadi kita. Sama juga dengan perilaku nyinyir yang menyangkut SARA. Mungkin bagi sebagian orang tidak seperti itu, tapi bagi sebagian besar itu sangat menyakitkan. Yang lebih parahnya lagi dengan membuat analogi-analogi yang sesat pikir. Tidak adil, membelokkan pemikiran dan pemahaman orang dengan metode-metode yang membuat sesat pikir, jebakan Batman. Konyol dan salah kaprah.
Bukan lagi ejek mengejek (candaan) yang membuat tertawa, nyindir yang cerdas tapi kebanyakan sekarang nyinyir. Saya coba menelusuri apa sebenarnya makna kata dari nyinyir. Karena yang saya pahami nyinyir ini memiliki konotasi negatif. Ruming kalau kata orang Lampung. Nyinyir bicaranya bibirnya sambil.. heh.. macam nenek-nenek atau tante-tante jahat di sinetron. Cerewet, bawel berlebihan, judes, tukang ngomongin orang, ghibah, mempengaruhi orang lain dengan menjatuhkan yang lainnya.
Saya browsing dan mendapatkan artikel “Jenis-jenis Tukang Nyinyir Sosmed” yang ditulis oleh Setya Octaviani pada provoke-online.com. Dia membagi menjadi 5 jenis tukang nyinyir yakni: tukang nyinyir frontal, tukang nyinyir smart, tukang nyinyir pengecut, tukang nyinyir caper dan tukang nyinyir nggak modal.
Saya melihat jenis-jenis itu dan melihat contoh-contoh kalimatnya lebih seperti para buzzer yang menghina secara pribadi-pribadi yang menjadi objek. Bukan kritik yang membangun tetapi lebih kepada menghina dan ingin menghancurkan pribadi-pribadi orang yang menjadi sasaran.
Ternyata nyinyir didalam KBBI memiliki makna seperti ini:
Saya rasa ini telah terjadi pergeseran makna dari nyinyir yang sebenarnya, ya bergeser sedikit. Nyinyir di wilayah medsos/sosmed menjadi senjata untuk menjatuhkan lawan-lawan yang berseberangan. Menghina dan menghajar dengan kata-kata. Judes.
Nah dalam konteks ini, ketika medsos telah dikuasai panggung politik, dan telah mengarah kepada SARA, maka ini menjadi bola salju yang akan terus membesar menggelinding dan akan menimpa siapa yang menjadi sasaran. Bisa juga dikatakan ini sebagai Bom Waktu yang sewaktu-waktu akan meledak dan menghantam tidak peduli A atau B bahkan C dan D.
Jadi, kalau memang nyinyir adalah perilaku yang tidak baik, tapi kenapa nyinyir menjadi komoditas dan budi daya yang laku di pasaran? Saya tidak tahu jawaban pastinya. Mungkin nyinyir adalah salah satu gaya hidup kekinian. Pergaulan saat ini adalah pergaulan nyinyir, jadi mari bernyinyir-nyinyiran. Misalnya, ayo karaoke, ayo menyanyi, tapi yang ini ayo nyinyir di medsos.
Saya pernah menemui orang-orang yang hobinya nyinyir di medsos, tapi begitu ketemu langsung ternyata, dia tidak se-nyinyir ketika di medsos. Berbeda 180 derajat. Apakah ini gejala kepribadian ganda? Wallahualam.