Breaking News

Polisi Membagi Wewenang Menangkap Polisi



Kapolda Lampung Brigjen Pol Ike Edwin akan memberi hadiah bila masyarakat menangkap oknum polisi yang terlibat narkoba. Begitu berita yang saya baca dalam portal Tribun Lampung.
 
Polisi Membagi Wewenang Menangkap Polisi
Budi Hutasuhut
Tapi, sejak kapan masyarakat punya wewenang melakukan penangkapan. Bukankah wewenang itu hanya milik Polri berdasarkan UU No.2 Tahun 2000 tentang Kepolisian Republik Indonesia?

Apakah kewenangan menangkap pelaku narkoba (terutama polisi) itu bisa dibagi Polri kepada masyarakat. Apakah pembagian wewenang itu menjadi resmi ketika masyarakat ikut dalam rombongan satuan tugas antinarkoba (Satgas Antinarkoba)?
Sulit memahami logika yang dipakai Kapolda Lampung. Epistemenya mungkin soal bela negara, tentang rasa nasionalisme yang harus bangkit menghadapi kejahatan narkoba. Kejahatan yang menghancurkan kehidupan masyarakat, dan tak diketahui siapa pelakunya.

Sejarah mencatat, jauh sebelum provinsi ini terbentuk, narkoba yang salah satunya disebut candu, sudah menjadi barang yang dipakai oleh masyarakat. Di daerah Teloekbetoeng--dan wilayah itu sampai ke Lampung Selatan sekarang--di lingkungan orang yang hidup di sekitar Pelabuhan Panjang, candu adalah kebutuhan yang tak boleh hilang.

Rumah-rumah candu muncul di wilayah itu, sebelum kini daerah itu menjadi perkampungan yang ramai dan padat. Para pengusahanya adalah orang-orang yang punya akses terhadap produksi candu, yang mampu mengamankan usahanya agar tidak ditindak oleh lembaga negara di bidang pengamanan dan penegakan hukum.

Candu bagian dari kehidupan, sisi paling buruk dari masyarakat yang dijadikan konsumen oleh para pengusaha candu. Sejarah itu terus berlanjut, karena masyarakat selalu dijadikan konsumen narkoba oleh para pengusaha narkoba.

Sebagai konsumen, mereka dipeliraha. Kebutuhannya dipasok. Mereka diservis, tak jarang diantar.
Nah, siapa yang memasok kebutuhan dan siapa yang bertindak sebagai pengantar, seharusnya proses itu berlangsung secara terbuka. Sebab, para pecandu tidak pernah sembunyi-sembunyi, apalagi bila mereka sudah teler.

Sebagian besar mereka yang memakai narkoba adalah orang-orang miskin--yang kemudian menjadi kaya. Orang-orang miskin yang cerdas karena tidak ingin hanya jadi pemakai, lalu melebarkan sayap menjadi penjual (pengedar). Jika mereka sukses, mereka akan naik kelas menjadi agen para pengedar.

Entah di Lampung, adakah produsen narkoba? Anak-anak jalanan di sudut-sudut Kota Bandar Lampung memakai lem agar bisa mabuk. Anak-anak di desa-desa, menggunakan ganja supaya bisa teler. Harganya murah, hanya butuh sedikit, dan telernya lama. Jika mereka teler, tidak sulit menemukannya di antara penduduk. Tinggal menanyakan dari mana mereka mendapatkan produk.

Kembali soal membagi wewenang menangkap kepada masyarakat, harus dipikirkan kembali. Pasalnya, mereka yang disebut masyarakat, yang memakai dan mungkin mengedarkan narkoba, bisa juga memakai wewenang menangkap ini. Mereka akan menangkap orang yang disangkanya mengganggu bisnis yang sedang dikelolanya.

Bisnis narkoba ini paling aman dan selalu sukses. Aman karena ia berjejaring. Di ujung jejaring itu, ada tangan-tangan kuat yang tak terlihat. Semacam kartel dalam bisnis minuman keras. Orang-orang yang dekat dengan penegak hukum.

Tinggal bagaimana pemimpin penegak hukum itu bekerja dengan baik. Bila sudah bekerja dengan baik, tak perlu membagi wewenang kepada masyarakat, apalagi sampai menawarkan hadiah seperti yang dilakukan Kapolda Lampung.

Menangkap itu bukan wewenang yang bisa dibagi. Ini hanya akan ditafsirkan sebagai upaya mengadu domba masyarakat dengan orang-orang hebat yang berbisnis narkoba.