Mungkinkah Lampung Mengandalkan Pariwisata
Tulisan ini adalah tulisan
pada laman facebook Bang Budi Hutasuhut yang saya copy beserta juga
komentar-komentarnya. Karena saya melihat tulisan ini bagus bagi perkembangan
dan perhatian kita terhadap pariwisata Lampung. Berikut petikan tulisan dari
Bang Budi Hutasuhut.
Hari Minggu lalu saya
ngobrol santai dengan Sutono Sadiman Sastrosuwito. Sebetulnya Beliau yang lebih
banyak bicara, karena hari itu dia banyak bahan untuk dibicarakan. Salah
satunya tentang gagasan Pemda Provinsi Lampung untuk tak lagi terlalu
mengandalkan sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian daerah.
Baca Juga: Momentum Kebangkitan Pariwisata Lampung
Orang pasti akan berdebat
panjang soal itu. Banyak yak akan bicara tentang mata pencaharian dasar manusia
di Lampung, juga segala hal tentang tata niaga komoditas pangan. Tapi, mungkin,
gagasan itu perlu dipikirkan mengingat posisi Lampung yang begitu dekat dengan
Provinsi Banten.
Lantas apa penggantinya?
"Jasa," kata Beliau.
Bisa jadi jasa pilihan
yang baik. Cuma, ada banyak syarat untuk bisa mewujudkan hal itu. Setahun atau
dua tahun ke depan belum tentu. Tapi beberapa tahun yang akan datang, siapa
bisa mengatakan tidak mungkin.
Mari kita lihat sawah di
Kota Metro. Perlahan dan pasti, sawah-sawah jadi perkampungan. Kelurahan
Hadimulyo, misalnya, dulu berupa lahan pesawahan. Kini, banyak rumah di sana.
Kelak, sawah memang akan hilang. Kelak, entah, kapan.
Tapi, ekonomi jasa seperti
yang bisa powerfull?
Saya berpikir tentang
industri pariwisata. Industri ini tak hanya powerful sebagai alat pemerataan
kemakmuran, tapi juga berpotensi menjadi mesin baru perekonomian Indonesia
pasca booming minyak.
Komoditi
pertanian/perkebunan seperti kelapa sawit, cokelat, atau karet harganya anjlog
di tengah pasok dunia yang berlebih. Begitupun tekstil dan pakaian jadi yang
kian tak kompetitif karena ongkos buruh yang tak lagi murah.
Menteri Keuangan Sri
Mulyani pernah bilang, negara ini butuh mesin pertumbuhan baru.
Sektor pariwisata bisa
jadi mesin baru itu. Kinerja selama beberapa tahun terakhir sangat mengesankan.
Tahun 2015, sektor ini menyumbang devisa USD12,6 miliar dengan pertumbuhan yang
robust dua digit (rata-rata 10,3% pertahun selama 5 tahun terakhir). Tren ini
akan terus berlanjut di tahun-tahun mendatang.
Tentu, banyak syarat yang
harus dipenuhi bila pariwisata hendak jadi industri. Cuma, jangan pernah
menjual kebudayaan, karena kebudayaan bukan barang dagangan. Kebudayaan untuk
diresapi.
Terdapat beberapa komentar
dari tulisan tersebut:
Andi Desfiandi: Pariwisata
berbasis ekonomi kreatif
Guntur Subing Pn Puccak:
Mantap bang tulisannya. Tetapi saya belum bisa memahami 2 kalimat terakhir:
"cuma, jangan pernah menjual kebudayaan, karena kebudayaan bukan barang
dagangan. Kebudayaan untuk diresapi.." kira-kira2 bagaimana ini bang dalam
menginterpretasi kalimat-kalimat itu?
Jawaban Budi Hutasuhut:
Banyak yang bicara pariwisata, pasti mengait-kaitkannya dengan kebudayaan.
Padahal, yang mereka maksud sebetulnya karya seni (produk kebudayaan). Yang
berkaitan dengan pariwisata itu adalah produk kebudayaan, bukan kebudayaan itu
sendiri.
Fahrizal Darminto: Dari
sisi demand, pariwisata memang sangat potensial untuk menjadi motor penggerak
ekonomi. Diperlukan upaya rekayasa sosial agar masyarakat petani (tradisional)
dapat secara mulus masuk ke arena industri pariwisata, karena mereka harus
menjadi pelaku, bukan penonton.
Yoke Muelgini: Ikut
ngomong ya Budi. Industri pariwisata memang berpotensi besar untuk ditumbuh
kembangkan agar dapat menjadi satu diantara sumber-sumber pertumbuhan baru di
Lampung dan Indonesia; hanya saja meskipun pembangunan fisiknya dapat dibangun
dengan cepat, tetapi pengembangan budaya industri pariwisatanya memerlukan
waktu yang lebih lama.
Jika dilihat secara
mendalam, selain faktor2 determinan, ada dua faktor perlu mendapatkan perhatian
secara seksama dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan pengembangan industri
pariwisata. Pertama adalah adanya faktor leakage (bocor), yaitu berupa jumlah
dana yang diinvestasikan untuk mengimpor barang dan jasa yang diperlukan dalam
menarik wisatawan karena tidak dapat disediakan oleh sumberdaya lokal secara
berkelanjutan dengan harga terjangkau dan mutu bersaing. Misalnya dalam
pembangunan sarana dan alat transportasi udara, darat, dan laut, fasilitas
perhotelan dan akomodasi, industri kuliner, dll. Contoh konkrit, sebagian hotel
baru yang dibangun selama 5 tahun terakhir bukan milik penduduk lokal, baik
dilihat dari input-input yang dipakai untuk membangun secara fisik maupun
dilihat dari kepemilikannya. Demikian pula industri modern lainnya. Akibatnya
pengembangan industri pariwisata hanya menguntungkan para pemilik modal besar
dari luar daerah dan relatif tidak berperan dalam membuka peluang bisnis bagi penduduk
dan sumberdaya lokal, selain sebagai hanya sekedar ikut meramaikan saja.
Untuk mengatasinya maka
dalam pengembangan industri pariwisata perlu dilaksanakan dengan mendorong
linkages antara potensi ekonomi lokal dengan sektor formal dari industri pariwisata
(sarana dan alat transportasi udara, darat, dan laut, fasilitas perhotelan dan
akomodasi, industri kuliner, operator pariwisata, dll).
Penciptaan linkages ini
sepatutnya menjadi bagian yang endogen dalam strategi pengembangan industri
pariwisata mulai tahap perencanaan, konstruksi, maupun operasional. JIka tidak
maka pengembangan pariwisata tidak akan bermanfaat banyak bagi masyarakat
lokal, karena sebagian terbesar tambahan pendapatan yang diperoleh hanya akan
mengalir ke luar Lampung; masyarakat dan sumberdaya lokal hanya akan menerima
sebagian kecil saja. Akibatnya industri pariwisata "bertumbuh semakin
baik" bagi pemilik jaringan2 industri dari luar Lampung, bukan bagi
masyarakat pariwisata di Lampung. Apa yang perlu kita lakukan selanjutnya akan
berpulang ke kita juga. Ingat Lampung bukan Bali, Lombok, Jabar atau Sumatra
Barat.