Lagu Singkong
Ari Wibowo bernyanyi
tentang singkong. Ia menyebut dirinya "anak singkong", membandingkan
kemiskinannya dengan gadis yang ditaksirnya, yang disebutnya "anak
keju". Dalam lagunya, penyanyi yang tenar dekade akhir 1980-an ini bicara
tentang betapa jauhnya jarak antara "anak singkong" dengan "anak
keju".
Perbedaan itu menjadi
sebuah dikotomi dalam kajian tentang kemiskinan yang sering dilakukan Biro
Pusat Statistik (BPS). Wilayah rural identik dengan pemerintah daerah
kabupaten, sedangkan wilayah urban dicocokkan dengan wilayah pemerintah kota.
Ada perbedaan tajam antara "pedesaan" dan "pekotaan".
Baca Juga: Bila Singkong Diimpor
"Pedesaan"
menjadi wilayah yang memproduksi singkong. Sedangkan "pekotaan"
menjadi wilayah yang mengkonsumsi singkong. Tapi, singkong yang dikonsumsi kota
berbeda dengan singkong yang diproduksi di desa. Perbedaan itu terjadi karena
singkong yang masuk ke kota berasal dari luar negeri, yang dikirim oleh para
produsen tepung. Singkong itu sudah berbentuk bahan makanan.
Kalau Ari Wibowo bernyanyi
tentang singkong dan keju, saat ini soal itu bukan persoalan orang kota lagi.
Singkong hanya jadi persoalan orang desa, mereka yang menanam singkong seumur
hidupnya. Pola tanam mereka dipandang sebagai penyebab para pengusaha melakukan
impor singkong, sehingga nasib petani singkong yang harusnya dibela justru
dipersalahkan.
Baca Juga: Fenomena Anjloknya Harga Singkong
Petani singkong tak pernah
sekolah cara mengatur pola tanam. Mereka bertani sebagai tradisi,
pengetahuannya turun-temurun. Belajar dari alam raya. Mereka tidak pernah
menduga, singkong akan masuk komoditas pangan yang tata niaganya bisa
dikenalikan oleh para kapitalis.
Mereka hanya berpikir satu
hal: bagaimana caranya bisa panen dengan hasil yang lumayan. Mereka tidak berpikir
bisa kaya, tapi hanya agar bisa untuk hidup.
Menanam singkong untuk
menyambung hidup. Singkong adalah penghasilan enam bulan sekali. Mereka juga
punya penghasilan harian, menjadi buruh tani. Mereka juga punya penghasilan
bulanan, menjadi apa saja yang diinginkan orang lain. Mereka bekerja peras
mengandalkan tulang yang liat dan tenaga manusia. Daya tahan mereka hanya
didorong oleh "keinginan untuk bertahan hidup".
Keinginan alamiah seperti
itu harus berhadapan dengan pengusaha yang berkeinginan ekspansif, menguasai
seluruh hal yang berkaitan dengan ulu dan ilir dari usaha singkong. Malangnya,
petani sendirian dan pemerintah hanya bisa menyalahkan mereka karena tak mampu
mengatur pola tanam sehingga hukum ekonomi Adam Smit tentang supplay and demand"
berlaku di desa.
Mari menyanyi tentang
singkong, tentang tiwul yang disimpan di samping rumah sambil dijemur, dan itu
menjadi lumbung pangan yang tradisional. Berbeda dengan orang kota yang
menyimpan uang di bank dan hidup dari bunga bank.
![]() |
Penulis: Budi Hutasuhut |