Smart City Adalah Soal Mendisiplinkan Rakyat
![]() |
Smart City Adalah Soal Mendisiplinkan Rakyat, Oleh: Budi P Hates (Dewan Riset Daerah Lamtim) |
Smart City yang kini jadi
primadona bagi seluruh pemerintah daerah di negeri ini, terutama di Provinsi
Lampung, sebetulnya belum beranjak dari nalar liberal yang kuat mempengaruhi
kebijakan bidang telekomunikasi dan informasi di negeri ini. Beberapa hari
lalu, Pemda Provinsi Lampung menggelar semacam pengenalan atas smart city
kepada sejumlah wakil dari kabupaten/kota, yang memposisikan PT Telekomunikasi
Indonesia, Tbk sebagai sumber pengetahuan, ilmu, dan nalar smart city.
Kita masih ingat kritik
yang dilemparkan publik terhadap RUU tentang konvergensi telekomunikasi, yang
hingga kini belum jelas ujungnya. Kritik itu masih berlaku karena salah satu
hal yang jadi sorotan adalah rasa (taste)
nalar liberal dalam RUU itu, yang diasumsikan publik sebagai "cara baru" para kapitalis untuk
menebarkan jaring penangkap keuntungan bisnis. "Cara baru" ini muncul
dari euforia reformasi, yang kuat dipengaruhi praktik-praktir liberal dimana
transaksional (perusahaan vendor bertraksaksi dengan pemerintah daerah) menjadi
satu-satunya strategi yang harus ditempuh, sehingga keuntungan bisnis bisa
diperoleh.
Baca Juga: Bandar Lampung "Kotaku" 2020?
Lewat berbagai tawaran
menggiurkan bernama aplikasi, yang dirancang seakan-akan bernalar
"keadilan bagi seluruh masyarakat dalam mengakses informasi",
perusahaan justru memperkenalkan bisnis baru yang sesungguhnya untuk
mendongkrak kinerja perusahaan bersangkutan.
Ketika Telkom sibuk
menawarkan smart city, mendadak muncul isu "koreksi biaya
interkoneksi" vendor yang harus diseragamkan, sehingga terjadi beda
pendapat yang luar biasa. Semua perdebatan itu kuat dipengaruhi nalar liberal,
bisnis semata terkait Average Revenue Per
Minute (ARPM).
Sebab itu, kita perlu
melacak episteme dari kebijakan smart city ini. Di tengah-tengah pemerintah
daerah yang euforia reformasi, yang gemar seragam dan diseragamkan, harus
muncul semacam pemikiran kritis tentang apakah perkara smart city ini hanya
perkara permukaan yang tampak manis saja, padahal perkara sesungguhnya adalah ,
euforia kemajuan teknologi sebagai alat pendisiplinan baru.
UU ITE adalah alat
pendisiplin baru. Siapa saja tidak boleh bicara tentang apa saja meskipun itu
berkaitan dengan tradisi gaya bicara. Kawan saya Saut Situmorang, yang penyair
dan punya ciri khas berbicara apa adanya karena memaknai bahasa sebagai alat
ekspresi, menjadi contoh kalau UU ITE itu adalah "alat pendisiplin baru".
Mari kita pikirkan
episteme smart city itu!