Breaking News

Mendobrak Tembok “Terlambat Menikah”



Saya menulis ini sembari mendengarkan Podcast Awal Minggu, acara dari channel youtube Adriano Qalbi yang tayang setiap awal minggu.  Adri adalah salah satu comic, merujuk istilah kekinian untuk aktor dalam dunia komedi tunggal.  Adri berhasil menyampaikan keresahannya melalui komedi, sehingga sontak berkali-kali dalam benak saya “Bajigur! Bener nih”.  Keresahan yang lahir dari keadaan dewasa ini. Keresahan yang disampaikan secara komedik tanpa menghilangkan pesan.  Bukan kecerdasan kacangan mengaduk emosi sekaligus mengisi pikiran, yang saya tahu Adri works melakukan hal itu.
Mendobrak Tembok “Terlambat Menikah”
Rifky Bangsawan
Comic yang selalu membicarakan kegelisahan ini tidak hanya delivery tawa tapi memberikan sesuatu lain yang bermakna.  Adri termasuk laki-laki yang melabeli diri dengan sebutan “terlambat menikah”, karena menikah pada usia yang cukup matang yaitu 31 tahun.  Saya rasa bukan Adri yang memberi julukan tersebut, namun disematkan oleh realitas sosial.  Lho, kok menuduh keadaan? Meminjam perspektif Teori Labeling yang diperkenalkan Sosiolog Mazhab Chicago pada tahun 1960-1970-an yaitu George Herbert Mead, dalam bukunya yang berjudul, Labeling Theory: Social Constructionism, Sosial Stigma, Deinstitutionalisation dijelaskan bahwa sebuah perilaku dan identitas diri individu ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur masyarakat dimana individu itu berada.  Penyimpangan perilaku individu belum tentu inheren dalam diri individu tersebut melainkan didefinisikan atau diberi label secara sosial oleh masyarakatnya.  Tolong beri jawaban yang masuk akal, kenapa kita seringkali merasa lebih tahu atas masalah orang lain?  Jika melemparkan kesalahan adalah hal yang elok, tentu saja demokrasi yang saya pilih menjadi sebab ini semua.  Ke-sotoy-an yang terbentuk akibat legalitas kebebasan berbicara, efek demokrasi dan keliru mendefinisikan kebebasan.  Sialnya, kadang kala norma dan tata nilai berawal dari kesalahan persepsi semacam ini.
Kontrol sosial menjadi hal yang menakutkan, selain film Suzanna.  Hukum pidana kadang tidak cukup efektif memberi efek jera.  Namun coba bayangkan bila hukum sosial yang diberlakukan, setiap dari kita pasti akan berpikir dua kali dan menyeruak kontrol dari mulut masing-masing berupa “janganlah, gak enak diliat orang-orang” atau “nama baik keluarga ini dibangun bertahun-tahun, jangan sampai jadi taruhannya”.  Personal branding yang sontoloyo kan?  Kita menempatkan diri sebagai subjek sekaligus objek, seperti begini, anda itu subjek yang sibuk sekali menilai diri sendiri dan tetap think too much what people think.  Terlalu banyak energi yang dikeluarkan untuk menjadi apa yang orang lain mau, bukan menjadi apa yang sebenernya ada di diri sendiri.  Ideal adalah kemewahan yang kita miliki, bukan diberikan orang lain.
Saya pun termasuk yang demikian, terlalu memikirkan apa yang ada dikepala orang lain.  Saat remaja dulu,  saya pernah dengan sadar berujar “Kalo umur seorang laki-laki sudah 25 tahun dan belum punya pacar, maka segera berpikirlah.”  Entah apa yang merasuki anak muda ini hingga ia berpikir dititik itu, seolah objek yang ditunjuk tanpa izin ini tidak pernah berpikir.  Buah pikir prematur yang lahir lewat proses melihat, visi ini dibentuk oleh keadaan sosial berupa batasan umur pantas untuk menikah.  Saya garis bawahi umur yang pantas.  Seolah tolok ukur utama adalah umur, siapa yang bisa menjamin diumur sekian puluh tahun kita sudah berhasil “mengenal” diri sendiri.  Dan bagaimanakah cara mengukur kepantasan sesuatu?  Ditahap ini sekali lagi saya sampaikan, kita adalah manusia yang sotoy.  Saya sungguh-sungguh tidak menyarankan untuk membuat keputusan membagi hidup dengan orang lain berdasarkan sikap sotoy yang kolektif, jangan taruh seseorang pada dadu judi yang kita pilih.  Perjudian soal masa depan perkara pernikahan pula, sungguh sembrono.  Menikah terlambat itu bukan masalah kok.  Menikah terlambat itu ibarat datang sekolah terlambat, jangan dipikirkan omelannya yang penting tetap bisa belajar.
Menikah adalah hal yang sakral, jangan menggunakan prinsip permainan dalam hal ini.  Game dapat dengan mudah di-restart saat gagal menyelesaikan.  Pernikahan tidaklah perlu dibatasi kapan akan terlaksana, bukan pula tidak menjadikannya terukur hanya saja tidak bermaksud memaksakan.  Terlambat itu tidak apa-apa.  Masyarakat dewasa ini sangat peduli dengan urusan orang lain melebihi yang bersangkutan.  Seolah preseden yang terbentuk, terlambat menikah adalah masalah bersama sehingga menuntut perhatian khalayak untuk diselesaikan melalui mufakat ala bullying.  Apakah norma dan tata nilai yang kita yakini telah menggerus etika?  Terlalu banyak pertanyaan dan waktu yang kita luangkan untuk memikirkan hidup orang lain, sehingga lalai memakni peran dalam masyarakat.
Menikah adalah sesuatu yang penting, setidaknya bagi saya.  Semoga kita sepakat tentang hal ini.  Saat kita melakukan sesuatu yang penting tentunya harus sesuai dengan harapan.  Jangan sampai kita melakukan sesuatu dengan setengah hati, menjalankan sesuatu yang penting menurut orang lain, atau melakukan sesuatu yang penting tapi menggunakan cara orang lain.  Ini bomb namanya, jangan menghancurkan hidup anda sendiri.  Pernahkah anda terbersit bahwa sebenernya beberapa bahkan sebagian dari kita menikah bukan karena hal itu penting untuknya melainkan akibat dari hukuman sosial?  Pertama, menggunakan faktor umur untuk menuntut pernikahan kepada pasangannya, silahkan anda tebak sendiri siapa yang sering menggunakan alasan klise ini.  Kedua, memutuskan menikah karena bosan dengan pertanyaan “kapan menikah?”, saran saya apabila anda bosan dengan pertanyaan maka jawablah random seperti meracau atau pura-pura gila seperti “besok kalo nggak kesiangan” atau “ntaran tunggu tanggal merah”.  Pertanyaan selalu mendambakan jawaban dan akan selalu ada dengan variasi yang berbeda, anda harus selalu siap sedia dengan jawabannya.  Thats it!
Orang dewasa melakukan sesuatu karena butuh dan sudah dipikirkan, begitulah yang seharusnya dilakukan.  Menikah seyogianya juga menggunakan pola ini.  Menikah itu tidak terbatas pada dua orang saja, lebih dari itu menyatukan dua keluarga besar, atau dua perusahaan besar, atau dua lembaga besar yang disebut agama, ataau, oke silahkan dilanjutkan sendiri ya.  Menikah adalah proses memisahkan seseorang dari komunitasnya, komunitas yang disebut keluarga.  Memisahkan si perempuan dari rasa aman yang diberikan sang bapak dan kasih sayang tiada tara ibunda, lalu memindahkan tanggung jawab ini kepada seorang laki-laki.  Inilah tanggung jawab yang kadang luput, menikah bukan hanya rutinitas memberi makan.  Khusus untuk laki-laki, siapkah kita untuk menerima tradisi bahwa penguasa sejati adalah perempuan?  Laki-laki ibarat kepala, sementara perempuan lehernya.
Seperti pernyataan Stephen Hawking bahwa, “Kehidupan ini akan menjadi tragis, jika ia tidak lucu”.  Pernikahan yang tidak diletakkan pada dasar kebutuhan bisa jadi tragedi, dan sialnya jika pernikahan lahir melalui rahim hukum sosial berupa pasal “si Fulan sudah terlambat, sudah pantas menikah sekarang”.  Omong kosong mereka semua, si kampret yang ngomong telat segala macam tadi akan termasuk kelompok pertama yang menjadikan kegagalan pernikahan anda sebagai komedi (andai gagal).  Jangan gunakan kalimat orang lain sebagai hukum yang mengatur hidup kita.  Toh mereka ndak membantu untuk kredit rumah anda berdua nanti kan?
Kita punya mamah Dedeh, kan bisa curhat.
.... ... ..
Guys?  Guys, mau kemana?
Dikit lagi ini jangan pergi dulu.
Oke oke serius, kita punya Tuhan untuk diajak bercerita.  Ibadah bisa jadi haluan curhat, kapan lagi anda nangis tanpa dikomentari nada mewek-nya kurang naik 1 chord.  Maka saya menyarankan anda mengenaliNya, supaya tidak canggung saat cerita.  Toh ceritanya dalam hati, tidak akan didengar oleh shaf disebelah anda.  Ibadah adalah hal yang paling dekat untuk istirahat dari dunia dan berbincang dengan Tuhan.  Mengeluh tidak akan menjawab masalah, maka kerahkan segala solusi yang kita punya dan berbahagialah.  Masalah-masalah yang saat ini kita hadapi juga bagian dari amanah Tuhan untuk mengolah hidup, jangan salah memilih tempat cerita.  Tuhan mengerti semua bahasa, termasuk bahasa yang tidak diucapkan dalam bilik sanubari kita.  Jangan taruh kasih Tuhan dibawah kasih manusia, tempatkan Dia ditempat seharusnya maka kita akan berada dalam damai.
Begitulah kura-kura...
Mendobrak Tembok “Terlambat Menikah”
Penulis: Rifky Bangsawan (Mahasiswa Universitas Lampung)