Ironi Penipuan Lowongan Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia
Beberapa waktu lalu ada
berita yang sebenarnya tidak heboh-heboh amat di sebuah media online lokal
Lampung. Tapi, berita itu menjadi sebuah ironi. Di tengah kesulitan orang lain
yang berusaha menghidupi diri dengan bekerja, justru dipermainkan. Lebih
parahnya lagi, menjurus penipuan.
Ada sebuah perusahaan yang
kisahnya diangkat di sebuah media online. Perusahaan yang baru empat bulan
beroperasi ini merekrut orang untuk membungkus teh. Bahkan, selebaran tentang
modus perekrutan ini mungkin menyebar diberbagai sudut kota. Di kediaman
penulis pun terdapat selebaran yang menempel di tembok pagar.
Dalam brosur, tertulis
tawaran lowongan pekerjaan mengelem teh. Honornya, Rp60 ribu per 50 kemasan.
Pada kenyataannya, mereka harus membayar Rp275 ribu sebagai dalih membuat kartu
anggota. Mereka yang sudah menjalankan tugas mengelem teh, wajib merekrut
anggota jika ingin honornya dibayarkan.
Mirip sistem Multi Level
Marketing (MLM). Perusahaan pun mendapatkan keuntungan dari biaya kartu anggota
yang dibebankan kepada pekerja. Sementara pekerja, harus kehilangan sejumlah
uang dengan kewajiban terus merekrut anggota baru. Cara kerja yang mencekik.
Kondisi ini memang tidak
bisa dipungkiri. Di tengah tingginya angka pengangguran di Indonesia (data BPS
2016 sekitar 7 juta lebih orang Indonesia mengaggur) mereka meraup pundi-pundi
uang dari hasil menipu orang-orang yang butuh pekerjaan. Modusnya
bermacam-macam. Mulai dari sebaran brosur, pasang iklan di media cetak sampai
membuka website abal-abal. Bahkan, konon situs lowongan pekerjaan adalah situs
paling ramai dicari setelah situs porno.
Di akun media sosial
penulis, pernah seseorang yang mengisahkan aksi penipuan yang dilakukan oleh
website yang mencantumkan pembukaan lowongan kerja (loker) di sebuah BUMN
bidang energi. Di situ, si pelamar sebelumnya diperdaya dengan dinyatakan telah
lulus seleksi administrasi dan diminta mentransfer sejumlah uang untuk bisa
mengikuti seleksi selajutnya.
Penipuan di bidang
lowongan kerja juga kerap dialami para Tenaga Kerja Indonesia. Seorang rekan
penulis pernah bercerita bagaimana kerabatnya yang bekerja di Malaysia ternyata
tidak ditempatkan di tempat bekerja sesuai kontrak. Begitu juga persoalan gaji,
meleset jauh dari kontrak. Yang megerikan, di tempat lain, ada TKI Wanita yag malah
dipekerjakan sebagai wanita malam.
Miris memang. Sebagai
negeri yang gemah ripah loh jinawi, ada sebagian anak negeri yang harus jungkir
balik mencari pekerjaan. Kondisi itu pun memicu tumbuhnya modus kejahatan baru
berkedok lowongan pekerjaan. Keadaan yang mungkin akan menjadi sulit ketika
Indonesia mendapatkan bonus demografi tahun 2020 nanti.
Pemerintah memang tidak
henti-hentinya menciptakan iklim kondusif investasi untuk memicu pertumbuhan
ekonomi. Harapannya, bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja. Tapi, pemerintah
juga tidak boleh lelah untuk membangunkan generasi muda Indonesia tentang
begitu pentingnya wirausaha.