“Indonesia adalah Negara Agraris” Hmm.. Kata Siapa??
Mahasiswa
adalah bagian dari kaum urban yang mendiami kota. Ribuan mahasiswa dari daerah mengejar kota
untuk menjadi terdidik dan merangkak naik dalam kelas sosial. Temporer jumlahnya terus bertambah setiap
tahun, suatu saat bahkan secara berkala kita pasti pulang untuk mengunjungi
kampung halaman. Seramai dan gemerlap
apapun kota, kampung tetap memiliki tempat tersendiri didalam setiap kita yang
menggantungkan cita-cita pada gedung-gedung pencakar langit. Begitupun dengan saya, saya adalah warga
kampung yang sedang mengenyam pendidikan kota. Mengapa pendidikan kota? Karena bagaimanapun tidak dapat dipungkiri
tempat tinggal akan mempengaruhi pola kita dalam mengolah pikir. Minggu ini seperti biasanya saya pulang ke
kampung. Kampung saya belum cukup ramai,
namun tidak juga sepi.
Geliat
pembangunan mulai terlihat dimana-mana. Banyak
ruko-ruko baru dan bangunan baru yang kosong, seakan menyiratkan bahwa mereka
tengah bersiap menyambut berkah bonus demografi. Meningkatnya penduduk usia kerja akan
mendorong bergeraknya perekonomian, menambah jumlah uang yang beredar baik dari
segi belanja properti atau rumah tangga.
Demi mengantisipasi hal ini, banyak inisiatif bermunculan mulai dari
bangunan kosong yang dipersiapkan hingga tahap lebih lanjut pada jenis usaha
dari primer hingga tersier. Hal yang
mengkhawatirkan pun terjadi, kesibukan membangun ternyata menyeret kita pada
kecerdasan tanpa pertimbangan.
Menjadikan hak asasi sebagai perisai untuk memuluskan hasrat memiliki
properti. Sawah digerus menjadi ruko,
ladang ditebang untuk menambah ruang membangun rumah. Dari sudut pandang ekonomi hal ini baik, namun
pernahkah kita membayangkan bahwa luasan sawah yang terkonversi menjadi ruko
atau rumah itu adalah lahan produktif yang difungsikan untuk mencukupi
kebutuhan pangan sehari-hari? Lalu
ladang yang ditebangi itu menjadi sumber keanekaragaman hayati dan penjaga
keseimbangan ekosistem? Pernah tidak?
Bagi
ketahanan pangan nasional, konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius. Mengingat keadaan ini sulit untuk dihindari,
bagaimanapun cepat atau lambat akan menunjukkan dampak. Kita hanya dapat membuat arus konversi sawah
melambat, sangat sulit membuatnya berhenti.
Sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat
permanen, kumulatif, dan progresif. Meningkatnya jumlah penduduk berdampak positif
sekaligus negatif terhadap beberapa hal, pertambahan penduduk akan meningkatkan
pendapatan rumah tangga dan berpengaruh positif terhadap gerak ekonomi masyarakat
melalui arus penggunaan uang. Sementara itu
dilain sisi, bertambahnya penduduk akan meningkatkan konsumsi per kapita. Mari kita bayangkan, kita punya cukup uang
untuk membeli makanan tapi berasnya sulit didapat atau bahkan menjadi mahal
karena supply tidak dapat memenuhi demand.
Singkirkan dulu intervensi pemerintah dalam keadaan ini, walaupun kita
tau ada peran pemerintah didalamnya. Dari
mana datangnya beras jika sawahnya saja sudah berubah menjadi tempat tinggal. Mau menanam di lantai rumah?
Sumberdaya
lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Jika lahan sawah dikonversi
ke penggunaan nonpertanian, maka dampak negatif atau kerugian yang ditimbulkan
lebih dirasakan oleh masyarakat luas daripada sebagian kecil masyarakat pemilik
lahan. Diperlukan pertimbangan yang
lebih seksama pada pemilik sawah untuk mendahulukan hak asasinya atau
kemaslahatan umat. Sementara itu
sebagian dari kita masih melanggengkan slogan “Indonesia adalah negara agraris”. Dimana letak agrarisnya jika sawah saja sudah
tidak ada?
Sebagai
mahasiswa, saya membayangkan akibat dari konversi ini secara positif akan
meningkatkan pendapatan keluarga, tentu saja ada penambahan pada uang jajan
dikampus. Meningkatnya uang jajan akan
berdampak baik pada peningkatan gizi konsumsi sehari-hari, diatas kertas akan
seperti itu. Tapi, mari kita
pertimbangkan lagi komoditas tukar yang dikorbankan untuk peningkatan
pendapatan ini. Sawah yang akan
dikorbankan, yang produknya adalah beras. Ketiadaan beras akan mempengaruhi supply
pada warung makan, yang artinya akan ada peningkatan harga beras atau
nasi. Meningkatnya harga beras akan
membawa pengaruh pada penentuan harga nasi telur yang biasa saya dan
kawan-kawan konsumsi. Peningkatan uang
jajan yang dibarengi dengan peningkatan pengeluaran konsumsi akan mencapai
titik equilibrium, yang artinya hal
ini tidak berarti apa-apa. Tidak pula
menguntungkan namun tendensinya lebih kearah kerugian, karena peningkatan harga
komoditas seringkali tidak dapat diperkirakan dan dampak pada lingkungan. Seiring harga yang naik maka perekonomian akan
menjadi lesu akibat kecenderungan untuk berhemat dan mengurangi pengeluaran. Saya rasa ini adalah peningkatan yang semu,
atau dapat dikatakan peningkatan yang tidak banyak memperbaiki. Keadaan yang sangat disayangkan, pertumbuhan
ekonomi yang bergandengan tangan dengan inflasi. Daya juang kementerian pertanian akan
menabrak tembok keras ketika disatu sisi membangun dan dilain sisi masyarakat
tidak menanggapi dengan baik malah justru mengkhianati. Saya hanya berusaha untuk adil, tidak terlalu
berteriak pada pemerintahan dan memilih untuk saling menilai diri.
Lantas
masihkah kita cukup konsisten untuk mengibarkan slogan “Indonesia adalah negara
agraris”, atau justru negara agraris ini sudah menjadi legenda yang kisahnya
patut disejajarkan dengan kebesaran Majapahit dengan Mahapatih Gajah Mada?
Mari
kita senyum-senyum melihat keadaan ini. ^_^
Penulis: Rifky Bangsawan
Mahasiswa Universitas Lampung