Budi Hutasuhut: Bila BIN Dipimpin Polisi
Setelah teror bom di
Sarinah, Jakarta, pada 14 Januari 2016 lalu. Beberapa hari kemudian Kepala
Badan Intelijen Nasional (BIN) Sutiyoso jadi buah bibir. Dia bilang BIN sudah
tahu akan ada teror, tapi BIN tidak bisa melakukan penangkapan. Dia pun berkoar
agar BIN diberi wewenang menangkap.
Sontak Kepala Polri waktu
itu, Jenderal Pol Badroddin Haiti, menanggapi sambil mempertanyakan sejak kapan
BIN punya wewenang menangkap. Dan, tanggapan itu berlanjut jadi wacana di
kalangan pengamat, juga d lingkungan wakil rakyat. Media menulis tentang
permintaan Sutiyoso agar BIN diberi kewenangan menangkap. Media juga menulis
tengang penolakan dan dukungan terhadap keinginan Sutiyoso.
Belakangan kita tahu,
teror bom di kawasan Sarinah, Jakarta, itu tidak hanya mengagetkan seluruh
warga bangsa tentang "ancaman bom" di Kota Metropolitan Jakarta, tapi
juga membongkar ketidakharmonisan antara lembaga intelijen negara dengan
lembaga kepolisian negara. Dua lembaga yang harusnya bersinergi itu,
berlomba-lomba berselfi ria tentang posisi dan kedudukan masing-masing.
Memang, polemik wacana
kewenangan menangkap itu tidak ada ujungnya. Kita tak tahu apa hasil dari
polemik yang sempat menyita perhatian publik itu. Kita hanya tahu, Presiden
Joko Widodo mengajukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kepala BIN
menggantikan Sutiyoso. Dan, pengajuan seorang anggota Polri sebagai Kepala BIN
tampaknya sebagai upaya untuk menjawab apa yang disampaikan Sutiyoso.
Dengan memilih Budi
Gunawan, yang notabene seorang polisi, mungkin diharapkan BIN akan mulai
melakukan penangkapan dan bukan pengumpulan data seperti selama ini.
Setidaknya, BIN di tangan seorang polisi, bisa langsung punya akses kepada
polisi sebagai penegak hukum yang punya wewenang menangkap.
Mungkin juga, pengajuan
Budi Gunawan sebagai Kepala BIN sekaligus menegaskan sikap Jokowi, bahwa dia
kurang percaya pada kemampuan BIN bila dipimpin seorang TNI. Teror bom di
Sarina, Jakarta, itu sebagai buktinya. Ketidakmampuan BIN menguntit aksi teror
bom membuat publik mengecam pemerintahan Jokowi. Eh, bukannya BIN meminta maaf,
tapi malah mempertanyakan wewenang penangkapan teroris yang tak ada di tangan
BIN.
Sutiyoso seakan-akan
mengatakan, BIN akan kuat bila punya wewenang menangkap teroris. Tapi,
pernyataan itu, ternyata ditafsirkan berbeda oleh Polri, seolah-olah Sutiyoso
ingin menegaskan bahwa Polri yang berwewenang menangkap tidak melakukan
tugasnya.
Mungkin Sutiyoso benar,
barangkali juga Badrodin tidak keliru. Kita berharap polemic soal itu segera
selesai bila DPR RI akhirnya memilih Budi Gunawan sebagai Kepala BIN
menggantikan Sutiyoso. Tapi, tampaknya, BIN tak akan banyak berubah. Sebab,
sebelum Budi Gunawan, pernah juga anggota Polri menjadi Kepala BIN.
Di zaman Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), Jenderal Pol Sutanto menjadi Kepala BIN. Pada masa
itu, teror bom lebih ganas lagi. Bahkan, aksi-aksi kelompok teror yang dipimpin
Azhari, semakin sering dan sukar diidentifikasi. Bahkan, pada masa Sutanto,
sel-sel teroris terus berkembang. Azhari bukan lagi satu-satunya sel teroris di
negeri ini, juga bukan satu-satu acuan gerakan terorisme.
BIN dan Polri kemudian
bersinergi, dan berhasil menangkap Azhari. Tapi, kita sadar, setelah Azhari
dinyatakan tewas, ternyata benar kalau Azhari bukan satu-satunya pimpinan
terorisme. Ternyata pula, sel-sel terorisme makin banyak.