Breaking News

Apakah Islam Hanya Simbol Saja?



Apakah Islam Hanya Simbol Saja?

Menyampaikan kegelisahan adalah mudah tetapi sulit. Mudah untuk disampaikan namun sulit mencapai kata sepaham. Harus diakui saya -dan mungkin anda juga- bukan mahluk yang menjalankan ritual agama dengan baik. Seringkali sudah merasa beragama namun belum menghamba sepenuhnya. Kita berada dalam perjalanan mencari jawaban tentang masalah keagamaan yang tak kunjung dipahami. Kadangkala terpikirkan kenapa harus melakukan ritual yang ini? Mengapa simbol yang kita gembar-gemborkan ini bahkan tidak pernah kita pilih sebelumnya? Apakah kita sudah mengenal agama yang dengan tahbis tertulis dikartu tanda penduduk atau selama ini kita hanya menjalankan ritual yang sakral menurut orang lain? Bukan atas dasar perenungan kita sendiri.

Kita belajar setiap hari hingga bertahun-tahun untuk berproses. Proses mengetahui bahwa setiap apa yang bekerja dimuka bumi ini karena satu kekuatan maha besar, tapi kekuatan ini tidak bekerja secara gaib melainkan dapat ditelusuri seluk beluk musababnya. Kekuatan yang berdiri dengan gagahnya seorang diri, namun tetap dapat dirunut melalui olah pikir teoritis dan ditakar madzhab keilmuan. Manusia adalah katalis paling ideal dalam menerjemahkannya. Penerjemah yang lahir dari rahim pendidikan.  Pendidikan digadang menjadi investasi jangka panjang untuk menuntun kita memaknai apapun termasuk agama. Apakah Islam terbatas pada simbol atau tanda saja tidak lebih? Atau lebih lanjut membawa substansi/inti dari suatu ikhwal.

Tanpa sadar pendidikan yang kita terima disusun untuk ‘mencerna’ makanan berbentuk gaib yang ditimbulkan tradisi-tradisi keagamaan. Tujuan dasar berpendidikan adalah untuk meruntuhkan segala ikhwal takhayul dan macam-macam kegaiban yang dengan lantang didendangkan sebagai warisan leluhur. Ikhwal takhyul dan gaib harus ditemukan akar rumpun untuk menulusuri seluk beluk fitrahnya. Fitrah sebagai penuntun jalan hidup atau akal-akalan manusia modernisme. Agama adalah salah satu sasaran empuk untuk dicerna pendidikan.  Mencerna dalam arti menjadikan lebih lembut ditelan si awam dan lebih mudah untuk diejewantahkan dalam keseharian yang rumit.

Agama adalah salah satu hal gaib dan tentunya juga sakral. Saya merasa mayoritas manusia menerima agama sebagai warisan maha agung dari orang tua dan dengan naif melihat itu sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Ketabuan yang dipelihara dengan baik dan tumbuh menjadi raksasa menyeramkan yang mencabut rasa ingin tahu serta memangkas begitu banyak pertanyaan. Kubu pengusung ini menciptakan batasan-batasan yang sulit dimengerti, batasan yang tidak menjawab tumpukan pertanyaan. Hal yang membatasi eksplorasi kita menyangkut agama, alasan paling ampuh adalah takut kualat. Bagaimana kita dapat menemukan kebenaran akan sesuatu tanpa sempat terlintas kemungkinan kelemahan didalamnya, untuk kemudian dipikirkan kemungkinan benarnya dalam titik temu. Senada dengan pernyataan Ahmad Wahib bahwa kalau betul-betul Islam itu membatasi kebebasan berpikir, sebaiknyalah saya berpikir lagi tentang anutan saya terhadap Islam ini. Maka hanya ada dua alternatif yaitu menjadi muslim sebagian atau setengah-setengah atau malah menjadi kafir. Hemat saya jika kita tidak menyelisik bangunan hingga pondasi, lalu bagaimana mengetahui muasal hal itu dibangun? Menerka kulit tentu saja berbeda hal dengan membuka isinya. Setiap durian sama-sama memiliki duri, namun siapa yang dapat menjamin legitnya sama. 

Pemikiran ini bisa menjadi dekonstruksi pemahaman agama, ya benar. Karena jika memang hancur berarti dapat diartikan bahwa pondasi ini memang tidak cukup pantas untuk mejadi pegangan suci bernama agama. Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan “adanya”. Saya tidak menggugat, tidak sama sekali, apa lagi dalam hal ini membicarakan agama seringkali diartikan mempertanyakan Tuhan. Tapi maukah kita mengedukasi diri perihal ritual agama ini?  Bukan untuk saya, tapi untuk anda sendiri.

Kita sering bahkan selalu menaruh ritual keagamaan diurutan pertama, warisan generasi terdahulu. Meminjam istilah Dendy Raditya yang menyebutkan ritual-ritual ini sebagai islam secara simbolik. Setiap sudut kehidupan kita sisipkan simbol keagamaan, bahkan dengan yakin melakukannya tanpa tahu mengapa hal itu dilakukan. Apakah Islam terbatas pada ritual rutin shalat 5 waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadan, dan haji hingga mengenakan pakaian yang berlabelkan “Islami” dilengkapi hijab bermacam jenis ala model Rabbani saja?  Ataukah gegap simbol ritual ini berdampingan dengan hal yang bersifat substansial? Maksud saya disamping itu semua bersanding hal-hal yang tak kalah prinsipil untuk kita renungkan dalam menjalani hidup, seperti memuliakan tamu, menjaga keselamatan tamu, menjaga kebersihan, sopan santun dan etika, dan lain-lain. Manusia dewasa tidak lagi dalam keadaan hanya menerima dogma yang tak terbantahkan. Bukankah ritual merunut muasal tertentu dan menitipkan efek ke sesuatu? Harus terjawab apakah hal itu menuju kearah kebenaran ataukah justru penyesatan yang dilakukan oleh kompetitor dari organisasi lain yang celakanya disebut sebagai agama juga.

Jangan sampai kita terbentuk menjadi mahluk yang beragama secara simbolik namun kehilangan kesalehan sosial. Menjalankan ibadah dengan taat namun lidah tetap menyakiti tetangga, mengajak kebaikan dengan memukul, memicingkan mata pada orang yang berseberangan faham, menelantarkan orang-orang disekitar kita padahal dalam keadaan mampu, dan yang lebih hebat adalah mencita-citakan berdirinya negara Islam dengan perlengkapan yang justru tidak islami seperti aksi teror, melakukan pembunuhan, bekerja melalui pemerasan, dan lain-lain. Agama menjadi kompor yang baik untuk membakar semangat buas khas manusia, menegakkan simbol agama dengan menggerus hak-hak kemanusiaan. Selama ini, kita sering menjadikan ritual simbolik sebagai tujuan. Akibatnya nafsu buas manusia dijadikan alat membasmi otoritas kemanusiaan, menyeret nama agung Tuhan (seolah Tuhan anti-humanisme). Saya sepakat dengan ungkapan Muhammad Abduh bahwa kebesaran Islam malah tertutup oleh perilaku umat muslim itu sendiri, dapat kita saksikan sekarang.

Menurut hemat saya, ritual simbolik agama harus tetap berjalan tanpa menihilkan kesalehan sosial karena keduanya bermuara pada satu tujuan. Sudah merasa aman dimata Tuhan karena melakukan ritual lima waktu, ritual hari jumat, ritual harian, ritual tahunan? Jika agama hanya dipahami sebagai hubungan mesra antara seseorang dengan Tuhan-nya, maka kita akan “terlena” dengan kenikmatan ritual tanpa memperhatikan realitas sekitar. Ibadah menjangkau tata laku sepanjang hari dan berada disekitar kita bukan terbatas pada tempat dan waktu. Bagi saya ibadah adalah bentuk terima kasih kepada Tuhan yang diejewantahkan secara substansial dengan mengasihi sesama, menjaga kenyamanan tetangga, dan prinsip keadilan lainnya. Tentu saja tanpa meninggalkan simbol seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, menutupi aurat dengan seksama, dan lainnya. Ibadah adalah kehidupan itu sendiri, seperti yang disampaikan intelektual muslim India Ashgar Ali Engginer bahwa masyarakat apapun yang didalamnya masih terdapat eksploitasi kepada kaum yang lemah dan tertindas tidak bisa disebut Islami walaupun ritual-ritual Islam dijalankan bahkan diformalkan sebagai hukum.

Ibadah masa kini tidak lagi pada tataran harfiahnya, makin kesini kian lekat dengan pahala dan dosa. Bahkan dipandang hanya sebagai urusan pahala dan dosa. Sepertinya kita dewasa ini beribadah begitu menggebu hanya untuk mengejar pahala akibat ketakutan karena dosa. Dosa menjadi hal yang sangat scary, layaknya penyakit yang disembuhkan secara matematis dengan pahala. Kesulitan untuk merasa telah menemukan, bahwa dibalik kehidupan ada kekuatan maha besar yang membuat hidup ini ada. Selanjutnya dengan sepenuh hati berdamai dan merasa perlu untuk berterima kasih.

Ikhtiar mencari jawaban ini berada pada kegelisahan yang sama dengan pernyataan Ahmad Wahib. Walaupun kita mengatakan diri kita sebagai penganut Islam, belum tentu bahwa pikiran kita telah berjalan sesuai dengan Islam. Sering dengan tidak sadar kita telah berpikir sejalan dengan ide-ide lain. Saya pikir hal ini disebabkan oleh kevakuman filsafat Islam. Akibatnya, kita cuma menjadi muslim emosional.

Maukah kita kembali menyelami jiwa spiritual masing-masing? Islam yang seperti apa kita ini? Saya yakin kita semua punya sesuatu yang dapat memperbaiki keadaan ini bersama, ayolah kita singkirkan dulu hal-hal yang berbeda dan berjalan bersama untuk melakukan tuntunan yang secara kolektif kita sepakat atas dalilnya. Jangan lagi pola relijiusitas kita mengkotak-kotakan diri hingga lupa untuk berkemanusiaan yang adil dan memiliki adab. Saya bosan membicarakan perbedaan, sudah cukup kotak-kotak yang disakralkan tapi bernafas subjektifitas itu.

Apakah Islam Hanya Simbol Saja?
Apakah Islam Hanya Simbol Saja?
Oleh: Rifki Bangsawan
Mahasiswa Universitas Lampung