Santoso: "Che Guevara" dari Poso
Pasca tewasnya Santoso, kisahnya masih saja hangat. Lelaki 39 tahun itu tewas
di hutan belantara belantara Poso. Santoso tewas dalam baku tembak menghadapi
Pasukan Kostrad. Paska tewasnya Santoso, ada yang menganggap dia sebagai pahlawan.
![]() |
Sumber Foto: detik.com |
Kisah santoso ini
agak-agak mirip dengan Ernesto Guevara de la Serna atau lebih dikenal sebagai
Che Guevara. Namanya harum di Negara Kuba. Di belahan dunia lain, termasuk
Indonesia, Che Guevara diidolakan. Fotonya dipajang, kisahnya diabadikan dalam
buku. Beberapa aktivis mahasiswa bahkan menjadikan kisah Che Guevara sebagai
buku wajib (dibaca).
Che Guevara, lelaki asal
Argentina itu adalah seorang penganut Marxisme. Hatinya berontak melihat
kesewenangan kaum kapitalis. Tekadnya untuk melawan dibuktikan dengan membantu
Fidel Castro (mantan pemimpin Kuba) melawan imperialisme di Kuba. Che Guevara
digambarkan sebagai sosok pemberani dan tidak mengenal kompromi.
Dalam buku "Che
Guevara, dari Sierra Maestra Menuju Havana" bisa menggambarkan sedikit tentang
kisah perlawanan Guevara. Dia dengan kelompok kecilnya menyusuri hutan Kuba,
melumpuhkan satu-persatu pleton tentara imperialis. Dari beberapa peperangan
kecil, garnisum Guevara bisa mengumpulkan senjata dan ransum untuk melanjutkan
peperangan grilya di dalam hutan.
Sampai akhirnya, Guevara
meraih apa yang dia perjuangkan yaitu mengusir imperialis. Dia pun mendapatkan
jabatan menteri dibawah Persiden Fidel Castro yang menjadi mitra koalisinya
melawan musuh. Sampai akhirnya, Guevara tidak puas dengan apa yang sudah
diraih. Dia pun kembali masuk hutan untuk kembali menjadi tentara.
Kali ini, dia masuk ke
hutan Negara Bolivia. Melawan tentara Bolivia yang dianggap pro imperialis.
Sayangnya, perlawanan Guevara tidak semulus di Hutan Negara Kuba. Dalam perjalanan
Grilyanya di hutan Bolivia, Guevara tertangkap tentara pemerintah dan langsung
dieksekusi. Guevara menemui ajalnya di Usia 39 tahun, seumuran dengan Santoso.
Bedanya, Santoso berjuang
mengangkat senjata melawan bangsanya sendiri. Entah apa sesungguhnya yang
dilawan Santoso, tetapi dia mengaku setia kepada ISIS tahun 2014. Dua orang
anggota brimob pun pernah menjadi korban senapan Santoso. Keduanya tewas dan senjatanya
dirampas kelompok Santoso untuk digunakan dalam melanjutkan perang grilya.
Mirip yang dilakukan Guevara.
Santoso yang mendaulatkan
diri sebagai pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT) juga menyerang
masyarakat. Khususnya mereka yang masuk ke dalam hutan untuk berkebun. Tiga
warga Desa Tangkura ditemukan tewas di dalam hutan yang menjadi daerah grilya
Santoso. Kelompoknya pun kerap mendapatkan ransum dengan menjarah gubuk di
kebun milik warga.
Mungkin, tindakan seperti
itulah yang membuat Santoso tidak dielukan seperti Guevara. Ketika pemakaman,
ribuan warga meghadiri pemakamannya. Entah hanya ingin melihat bagaimana
seorang yang dianggap teroris dimakamkan atau memang menganggap Santoso sebagai
pahlawan. Mengingat Santoso pernah turut aktif berperang dalam konflik
horizontal yang pecah di Poso tahun 2001.
Sebagian warga Poso yang
melihat bagaimana perjuangan Santoso di tengah konflik horizontal mungkin
menganggapnya sebagai pahlawan. Tapi mungkin warga Indonesia yang lain
menganggap Santoso benar-benar teroris karena turut membunuh manusia yang jelas
satu kepercayaan. Menyerang masyarakat tidak berdosa.
Itulah dua kisah pejuang
Grilya di dalam hutan. Sama-sama menyerang dalam gelap, sama-sama berani dan
nekat. Mereka berbeda nasib, satu dipuji, satunya lagi dicaci. Satu melawan
Imperialisme, satunya melawan Densus 88. Mungkin saja, wajah Santoso akan
dipajang sebagai simbol perlawanan layaknya Guevara. Mungkin juga ada yang
diam-diam mengidolakan Santoso karena memiliki pemahaman yang sama.
Santoso ini sepertinya
lebih mirip dengan Letkol Untung. Seperti tersirat dalam buku yang ditulis
Mantan Ketum PB HMI Ridwan Saidi "Che Guevara dari Melayu". Bagaimana
seorang pemberontak yang gagal dan menjadi bahan celaan. Itulah yang dialami
Santoso yang tewas 18 Juli lalu dalam operasi Tinombala.