Pulau Pasaran Lampung, Pulaunya Para Nelayan
Ikan teri asin yang
dihasilkan oleh masyarakat pulau ini kebanyakan memang dikirim ke Pulau Jawa.
Ikan yang sudah ditangkap nelayan ini langsung di rebus di tengah laut untuk
kemudian langsung di jemur ketika kapal merapat ke dermaga kecil di Pulau
Pasaran. Itu kenapa kualitas teri asin di sini sangat disukai. Dalam sehari,
masyarakat bisa menghasilkan sampai 20 ton ikan teri asin kering.
Harga ikan teri asin yang
baik pun memberikan kemakmuran bagi masyarakat pulau. Saat ini saja, harga ikan
teri asin mencapai 60 ribu/kilogram. Tidak heran, aktivitas masyarakat pulau
makin hari makin padat. Apalagi setelah Pemkot Bandarlampung membangun akses
jembatan sepanjang 500 meter menuju pulau pasaran tahun 2013. Sebelumnya,
masyarakat hilir mudik menuju pulau ini menggunakan perahu.
Menuju Pulau Pasaran saat
ini tidaklah sulit. Sampai di Kelurahan Kota Karang, melalui Jalan Teluk Bone,
masyarakat bisa langsung menuju akses jembatan ke Pulau Pasaran. Melewati
jembatan selebar 2 meter itu, siapapun bisa menikmati pemandangan di
sekitarnya. Mulai dari pantai Teluk Lampung, hamparan tanaman bakau, bagan ikan
bahkan hamparan sampah plastik.
Sesampainya di Pulau
Pasaran, kita akan menyaksikan wajah Pulau yang dulu pada tahun 1988 luasnya
hanya sekitar 4 Hektar. Makin lama, makin padat penduduknya, pulau diperluas
dengan pengurugan. Kemungkinan, luas pulau bisa bertambah diiringi semakin
ramainya aktivitas masyarakat di sana. Bahkan, beberapa rumah kost pun tersedia
di dalam pulau.
Maklum saja, banyak
pedagang dari berbagai daerah yang datang mencari ikan asin teri. Jika cuaca
mendung atau pada saat musim penghujan, mereka harus menunggu ikan selesai
dijemur. Tingginya permintaan ikan asin teri membuat barang milik nelayan cepat
habis. Begitu ikan selesai dijemur, langsung dikemas dan dikirim. Jadi harus
cepat berada dilokasi jika ingin kebagian.
Menyusuri jalan-jalan
sempit di dalam pulau, kita akan menemui segerombolan masyarakat yang
kebanyakan kaum ibu. Mereka sibuk menjemur, memilah atau mengemas ikan. Kaum
lelaki umumnya sibuk melaut. Menyusuri pulau ini, kita akan melihat bagaimana
potret kehidupan masyarakat yang mampu bertahan di tengah keterbatasan.
Di areal pulau, tidak
ditemukan sumber air tawar. Untuk aktivitas Mandi Cuci Kakus (MCK) masyarakat
menggunakan air yang rasanya asin. Begitu juga di satu-satunya Masjid di Pulau
itu, air wudhu yang dipakai rasanya agak-agak asin. Selain minim sumber air tawar,
masyarakat juga dihadapkan oleh minimnya sanitasi air yang buruk.
Di Pulau Pasaran, susunan
rumah tidak beratur. Ada rumah yang menghadap ke jalan, ada juga yang
membelakangi jalan. Tidak ditemui saluran air pembuangan limbah rumah tangga
yang baik. Tidak sedikit air limbah rumah tangga hanya dibiarkan menggenang di
dekat rumah. Kondisi ini diperparah aroma jemuran ikan asin.
Anak-anak di dalam pulau
pun terlihat seperti anak-anak pada umumnya. Mereka bermain di satu-satunya
lapangan kecil di areal pulau. Ada juga yang sibuk bersepeda menyusuri gang
sempit di tengah pemukiman masyarakat Pulau Pasaran. Meskipun kondisi udara di
tengah pulau yang terasa pengap karena ketiadaan pepohonan, mereka tetap ceria
di tengah keterbatasan.
Akan tetapi, dengan
keterbatasan itu, masyarakat pulau tetap mampu bertahan. Aktivitas hilir mudik
masyarakat pun tetap ramai. Mungkin itulah identitas masyarakat Pulau Pasaran.