Pilkada, Daulat Tuanku dan Pendidikan Politik Masyarakat
Daulat tuanku yang menjadi warisan feodalisme kini telah tergantikan oleh
daulat rakyat. Sentralisasi kekuasaan menjadi basi dan digantikan
desentralisasi kekuasaan. Rakyat punya kuasa untuk menentukan pilihannya, bebas
dari rasa takut, rahasia dan merdeka.
Namun, betulkah semua itu berjalan dengan mulus sebagaimana mestinya.
Mengingat kultur bangsa kita yang berkuasa cenderung ingin mempertahankan
kekuasaannya. Hingga, banyak pejabat mengalami post power syndrome karena
kehilangan kekuasaannya.
Maka, Regulasi yang baru, dibuat oleh mereka yang berkuasa saat ini. Yang
berkuasa, sulit untuk melepaskan sikap dalam mempertahankan kekuasaannya.
Hingga keberpihakan kepentingan dalam pembuatan regulasi sangat sulit untuk
dilepaskan. Regulasi dibuat harus menguntungkan yang berkuasa, lengah sedikit
berarti memberi peluang kepada yang lainnya.
Kekuasaan menjadikan buta dan memaksakan kuasa. Bagi mereka yang duduk dikursi
kekuasaan, langkah untuk mempertahankan kekuasaan menjadi sesuatu kewajiban.
Tidak ada pilihan, memberikan kesempatan pada yang lain adalah suatu bencana. Tidak
ada yang rela kursinya berpindah tangan dan menjadi milik yang lainnya.
Mungkin kita bisa merenungkan pesan Emha Ainun Najib
yang penuh ambisi berikut ini: Kalau sedang dirudung ambisi atau rasa amarah
untuk merebut kekuasaan, cocoknya mungkin cari Makam Anusopati yang dulu
sanggup menikam Ken Arok, bapak sambungnya yang sakti dan dalam jangka waktu
yang sangat panjang sanggup menjalankan ”Strategi Kebo Ijo dan Keris Empu
Gandring” untuk perebutan dan pelanggengan kekuasaan. Atau justru ziarah ke
makam Ken Arok sekalian, agar mungkin mentransfer energi untuk men-Tunggul
Ametung-kan untuk siapa yang sedang ia pusingkan.
Pernyataan Cak Nun tersebut hanya sekedar untuk refleksi akan sejarah masa
lalu, untuk Indonesia kekinian pernyataan tersebut adalah sindiran betapa
kekuasaan banyak mengorbankan banyak pihak dan tentu tidak relevan untuk
dilakukan pada era demokrasi saat ini.
Pilkada, sebagai salah satu proses penting dalam menjalankan roda demokrasi di Indonesia, sangat rentan terjamah kekuatan
kotor. Parpol sebagai kekuatan politik tentu memiliki potensi besar untuk
menjalankan roda demokrasi di indonesia, tetapi semua itu bisa saja terjamah
pada tataran taktis prosesi pilkada.
Bisa dilihat, bagi partai politik yang
mempunyai kesempatan dalam memberikan pencalonan pada pilkada, setidaknya
konsep jual mahal juga berlaku. Karena sebagai kendaraan politik, para calon
yang ingin naik ke tampuk kekuasaan harus mendapatkan restu dari partai
politik.
Kondisi ini berpotensi timbulnya jual beli kursi pencalonan. Hampir semua
kandidat diprediksikan mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Sehingga money
politik sulit untuk dihindarkan dan menjadi seksi dan lumrah untuk dilakukan,
itu pun kalau kita tak ingin mengatakan jika semua itu adalah biaya politik dan
memang mahal harganya.
Faktor lain yang terjadi pada prosesi pilkada adalah senjangan antara
pemilih, penyelenggara dan peserta pilkada. Pemilih condong pasif dan hilang
daya kritisnya padahal sumbangsih mereka sangat besar dalam memberikan
kontribusi bagi berjalannya demokratisasi. Namun, pengetahuan yang terbatas
membuat pemilih kehilangan potensinya tersebut.
Memang, untuk meng-cover semua
itu, peran partai politik sangatlah besar. Sebagai institusi yang terlibat
langsung, setidaknya partai politik memberikan pendidikan politik pada
masyarakat dan bukan semakin membodohi masyarakat.
Masalah lain adalah timbulnya golongan putih pada pilkada. Ada dua
klasifikasi golongan putih, pertama, karena kondisi tekhnis pembuatan
kartu. Sebagaimana kasus-kasus yang marak, banyak masyarakat tidak
mendapatkan kartu pemilihan.
Baca Juga: Membaca Fenomena Golput
Dengan tidak adanya kartu pemilih, otomatis, mata pilih yang menjadi haknya lenyap begitu saja, terlepas dari faktor konspirasi atau rekayasa pihak tertentu dari kendala tekhnis. Untuk menghindari kondisi tersebut berlanjut setidaknya, kritisme datang dari masyarakat yang merasa haknya tidak terpenuhi dan menuntut keadilan, bukan karena paksaan pihak tertentu yang takut kehilangan mata pilih potensial.
Dengan tidak adanya kartu pemilih, otomatis, mata pilih yang menjadi haknya lenyap begitu saja, terlepas dari faktor konspirasi atau rekayasa pihak tertentu dari kendala tekhnis. Untuk menghindari kondisi tersebut berlanjut setidaknya, kritisme datang dari masyarakat yang merasa haknya tidak terpenuhi dan menuntut keadilan, bukan karena paksaan pihak tertentu yang takut kehilangan mata pilih potensial.
Sudahkah masyarakat kita seperti itu atau justru menganggap lain dan dari kaca mata tertentu sehingga tidak risau ketika tidak
mendapatkan kartu pemilih. Justru yang banyak menuntut adalah calon yang kalah
yang merasa bahwa pemilih yang tidak mendapatkan kartu pemilihan adalah
kansnya. Itupun dilakukan ketika pemilihan telah usai dan telah berlalu.
Kedua, karena pribadi, kehendak pribadi ingin tidak
berpartisipasi baik keterlibatannya dalam sosialisasi dalam penyelenggaraan
bahkan keterlibatan dalam menentukan pilihan. Pada konteks yang kedua ini,
justru berbeda dengan yang pertama. Lahirnya golongan putih yang kedua
disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu atau
pilkada karena faktor idiologi dan tingkat kepercayaan masyarakat pada
institusi pemerintahan.
Tugas partai politiklah dalam memberikan kepercayaan dan rasionalisasi
pentingnya dalam menentukan pilihan, tetapi sayang semua itu jauh dari perilaku
dan tugas dari parpol, bahkan mungkin tidak ada program tersebut yang dilakukan
oleh partai politik.
KPU dan KPUD sebagai institusi penyelenggara pemilu mungkin tak mampu untuk
mengcover tugas tersebut, mereka disibukkan oleh persoalan tekhnis
penyelenggaraan dan tidak adanya penataan perundang-undangan yang mengatur
dalam memberikan tugas tersebut terhadap KPU dan KPUD.
Semestinya peran penyelenggara pemilu yang tidak mungkin ter-cover, harus di back up oleh partai politik sehingga melepas stigmatisasi partai
politik yang hanya mengejar target untuk duduk dikekuasaan dan kemudian lupa
terhadap fungsi dan peran yang sesungguhnya.
Revitalisasi Partai
Politik
Peran partai politik sebagai peserta pemilu atau pilkada, sangatlah penting
dan signifikan dalam membawa alam demokrasi Indonesia.
Misalnya, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat adalah tugas berat
yang harus diemban. Rakyat tidak serta merta hanya dijadikan tumbal untuk
memperbanyak mata pilih dalam memenangkan pertarungan sedangkan tanggung jawab
membina dan mengarahkan masyarakat lepas begitu saja.
Perjalanan awal partai dihadapkan pada persoalan untuk lolos verifikasi,
langkah pertama adalah melakukan rekrutmen anggota dan pengurus partai. Pada
tahapan ini timbul permasalahan ketika deadline
menanti untuk lolos verifikasi. Pembenahan di dalam harus segera dilakukan
dengan menata idiologi, selektfitas para pengurus, kemampuan manajerial
pengurus, sosialisasi dan kemampuan lainnya yang membawa partai pada posisi
diperhitungkan.
Revitalisasi partai politik tersebut dilakukan untuk menghindari polemik,
hingga partai yang tampil harus mampu dan tetap eksis. Eksisnya partai politik
adalah fungsi untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Sebagai kendaraan
politik, parpol hadir sebagai alat perjuangan, bukannya gagal dalam mengemban
amanah kebangsaan.
Gagalnya partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat dewasa ini lebih banyak ditonjolkan oleh kegagaan partai politik
dalam menata idiologi, selektifitas para pengurus, kemampuan manajerial
pengurus serta terkesan hanya target untuk lolos verifikasi.
Menjamurnya partai politik saat ini akan sia-sia jika tidak dibangun pula
daya kritisme masyarakat secara fundamental. Revitalisasi partai politik harus
diimbangi pula dengan kemajuan pola pikir masyarakat sehingga untuk mencapai
masyarakat madani bukanlah impian belaka.
Dan lagi-lagi rakyat, jangan hanya digunakan sebagai peluru untuk mendulang suara. Selesai pilkada/pemilu, meranalah mereka.
Pilkada, Daulat Tuanku dan Pendidikan Politik Masyarakat
Oleh: Guntur Subing
Direktur Eksekutif Poetra Merdeka Centre