Breaking News

Pilkada, Daulat Tuanku dan Pendidikan Politik Masyarakat



Daulat tuanku yang menjadi warisan feodalisme kini telah tergantikan oleh daulat rakyat. Sentralisasi kekuasaan menjadi basi dan digantikan desentralisasi kekuasaan. Rakyat punya kuasa untuk menentukan pilihannya, bebas dari rasa takut, rahasia dan merdeka. 
 
Pilkada, Daulat Tuanku dan Pendidikan Politik Masyarakat
Sumber Foto: harlyyudhapriyono.blogspot.co.id
Namun, betulkah semua itu berjalan dengan mulus sebagaimana mestinya. Mengingat kultur bangsa kita yang berkuasa cenderung ingin mempertahankan kekuasaannya. Hingga, banyak pejabat mengalami post power syndrome karena kehilangan kekuasaannya.

Maka, Regulasi yang baru, dibuat oleh mereka yang berkuasa saat ini. Yang berkuasa, sulit untuk melepaskan sikap dalam mempertahankan kekuasaannya. Hingga keberpihakan kepentingan dalam pembuatan regulasi sangat sulit untuk dilepaskan. Regulasi dibuat harus menguntungkan yang berkuasa, lengah sedikit berarti memberi peluang kepada yang lainnya.

Kekuasaan menjadikan buta dan memaksakan kuasa. Bagi mereka yang duduk dikursi kekuasaan, langkah untuk mempertahankan kekuasaan menjadi sesuatu kewajiban. Tidak ada pilihan, memberikan kesempatan pada yang lain adalah suatu bencana. Tidak ada yang rela kursinya berpindah tangan dan menjadi milik yang lainnya.

Mungkin kita bisa merenungkan pesan Emha Ainun Najib yang penuh ambisi berikut ini: Kalau sedang dirudung ambisi atau rasa amarah untuk merebut kekuasaan, cocoknya mungkin cari Makam Anusopati yang dulu sanggup menikam Ken Arok, bapak sambungnya yang sakti dan dalam jangka waktu yang sangat panjang sanggup menjalankan ”Strategi Kebo Ijo dan Keris Empu Gandring” untuk perebutan dan pelanggengan kekuasaan. Atau justru ziarah ke makam Ken Arok sekalian, agar mungkin mentransfer energi untuk men-Tunggul Ametung-kan untuk siapa yang sedang ia pusingkan.

Pernyataan Cak Nun tersebut hanya sekedar untuk refleksi akan sejarah masa lalu, untuk Indonesia kekinian pernyataan tersebut adalah sindiran betapa kekuasaan banyak mengorbankan banyak pihak dan tentu tidak relevan untuk dilakukan pada era demokrasi saat ini.

Pilkada, sebagai salah satu proses penting dalam menjalankan roda demokrasi di Indonesia, sangat rentan terjamah kekuatan kotor. Parpol sebagai kekuatan politik tentu memiliki potensi besar untuk menjalankan roda demokrasi di indonesia, tetapi semua itu bisa saja terjamah pada tataran taktis prosesi pilkada. 

Bisa dilihat, bagi partai politik yang mempunyai kesempatan dalam memberikan pencalonan pada pilkada, setidaknya konsep jual mahal juga berlaku. Karena sebagai kendaraan politik, para calon yang ingin naik ke tampuk kekuasaan harus mendapatkan restu dari partai politik.

Kondisi ini berpotensi timbulnya jual beli kursi pencalonan. Hampir semua kandidat diprediksikan mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Sehingga money politik sulit untuk dihindarkan dan menjadi seksi dan lumrah untuk dilakukan, itu pun kalau kita tak ingin mengatakan jika semua itu adalah biaya politik dan memang mahal harganya.

Faktor lain yang terjadi pada prosesi pilkada adalah senjangan antara pemilih, penyelenggara dan peserta pilkada. Pemilih condong pasif dan hilang daya kritisnya padahal sumbangsih mereka sangat besar dalam memberikan kontribusi bagi berjalannya demokratisasi. Namun, pengetahuan yang terbatas membuat pemilih kehilangan potensinya tersebut. 

Memang, untuk meng-cover semua itu, peran partai politik sangatlah besar. Sebagai institusi yang terlibat langsung, setidaknya partai politik memberikan pendidikan politik pada masyarakat dan bukan semakin membodohi masyarakat.

Masalah lain adalah timbulnya golongan putih pada pilkada. Ada dua klasifikasi golongan putih, pertama, karena kondisi tekhnis pembuatan kartu. Sebagaimana kasus-kasus yang marak, banyak masyarakat tidak mendapatkan kartu pemilihan. 

 Baca Juga: Membaca Fenomena Golput

Dengan tidak adanya kartu pemilih, otomatis, mata pilih yang menjadi haknya lenyap begitu saja, terlepas dari faktor konspirasi atau rekayasa pihak tertentu dari kendala tekhnis. Untuk menghindari kondisi tersebut berlanjut setidaknya, kritisme datang dari masyarakat yang merasa haknya tidak terpenuhi dan menuntut keadilan, bukan karena paksaan pihak tertentu yang takut kehilangan mata pilih potensial.

Sudahkah masyarakat kita seperti itu atau justru menganggap lain dan dari kaca mata tertentu sehingga tidak risau ketika tidak mendapatkan kartu pemilih. Justru yang banyak menuntut adalah calon yang kalah yang merasa bahwa pemilih yang tidak mendapatkan kartu pemilihan adalah kansnya. Itupun dilakukan ketika pemilihan telah usai dan telah berlalu.

Kedua, karena pribadi, kehendak pribadi ingin tidak berpartisipasi baik keterlibatannya dalam sosialisasi dalam penyelenggaraan bahkan keterlibatan dalam menentukan pilihan. Pada konteks yang kedua ini, justru berbeda dengan yang pertama. Lahirnya golongan putih yang kedua disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu atau pilkada karena faktor idiologi dan tingkat kepercayaan masyarakat pada institusi pemerintahan.

Tugas partai politiklah dalam memberikan kepercayaan dan rasionalisasi pentingnya dalam menentukan pilihan, tetapi sayang semua itu jauh dari perilaku dan tugas dari parpol, bahkan mungkin tidak ada program tersebut yang dilakukan oleh partai politik.

KPU dan KPUD sebagai institusi penyelenggara pemilu mungkin tak mampu untuk mengcover tugas tersebut, mereka disibukkan oleh persoalan tekhnis penyelenggaraan dan tidak adanya penataan perundang-undangan yang mengatur dalam memberikan tugas tersebut terhadap KPU dan KPUD.

Semestinya peran penyelenggara pemilu yang tidak mungkin ter-cover, harus di back up oleh partai politik sehingga melepas stigmatisasi partai politik yang hanya mengejar target untuk duduk dikekuasaan dan kemudian lupa terhadap fungsi dan peran yang sesungguhnya.

Revitalisasi Partai Politik

Peran partai politik sebagai peserta pemilu atau pilkada, sangatlah penting dan signifikan dalam membawa alam demokrasi Indonesia. Misalnya, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat adalah tugas berat yang harus diemban. Rakyat tidak serta merta hanya dijadikan tumbal untuk memperbanyak mata pilih dalam memenangkan pertarungan sedangkan tanggung jawab membina dan mengarahkan masyarakat lepas begitu saja.

Perjalanan awal partai dihadapkan pada persoalan untuk lolos verifikasi, langkah pertama adalah melakukan rekrutmen anggota dan pengurus partai. Pada tahapan ini timbul permasalahan ketika deadline menanti untuk lolos verifikasi. Pembenahan di dalam harus segera dilakukan dengan menata idiologi, selektfitas para pengurus, kemampuan manajerial pengurus, sosialisasi dan kemampuan lainnya yang membawa partai pada posisi diperhitungkan. 

Revitalisasi partai politik tersebut dilakukan untuk menghindari polemik, hingga partai yang tampil harus mampu dan tetap eksis. Eksisnya partai politik adalah fungsi untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Sebagai kendaraan politik, parpol hadir sebagai alat perjuangan, bukannya gagal dalam mengemban amanah kebangsaan.

Gagalnya partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dewasa ini lebih banyak ditonjolkan oleh kegagaan partai politik dalam menata idiologi, selektifitas para pengurus, kemampuan manajerial pengurus serta terkesan hanya target untuk lolos verifikasi.

Menjamurnya partai politik saat ini akan sia-sia jika tidak dibangun pula daya kritisme masyarakat secara fundamental. Revitalisasi partai politik harus diimbangi pula dengan kemajuan pola pikir masyarakat sehingga untuk mencapai masyarakat madani bukanlah impian belaka.

Dan lagi-lagi rakyat, jangan hanya digunakan sebagai peluru untuk mendulang suara. Selesai pilkada/pemilu, meranalah mereka. 

Pilkada, Daulat Tuanku dan Pendidikan Politik Masyarakat
Oleh: Guntur Subing
Direktur Eksekutif Poetra Merdeka Centre