Menggelitik Dilema Independensi HMI
Tepatnya 63 tahun yang lalu sebuah organisasi kemahasiswaan berdiri ditengah-tengah pergulatan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lafran Pane beserta kawan-kawan mendeklarasikan berdirinya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947 M atau 14 Rabiul Awal 1366 H. HMI lahir sebagai anak sejarah yang ingin melawan penindasan terhadap bangsanya. Sebagai elemen pemuda, mereka yang tergabung di dalam HMI ingin tampil untuk membela bangsanya dan mengasah kemampuan mereka dilingkungan para mahasiswa islam.
HMI hadir untuk memberikan sarana bagi para mahasiswa islam untuk mengembangkan kemampuan mereka sehingga HMI bukanlah organisasi massa layaknya organisasi kebanyakan. Tetapi HMI menetapkan dirinya sebagai organisasi kader yang ingin membina para kadernya untuk menjadi insan cita yakni insan paripurna yang dapat mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Baca Juga: Mengintegrasikan Insan Cita HMI Dalam Diri Kader HMI
Tampilnya HMI dalam pentas gerakan kepemudaan merupakan daya dorong yang baik bagi perkembangan pergerakan kepemudaan. HMI dapat dikatakan sebagai stimulan gerakan para pemuda islam di Indonesia. Yang pada saat itu gerakan pemuda islam pada jaman Lafran Pane tidak memiliki sebuah wadah bila dibandingkan dengan organisasi-organisasi kepemudaan lainnya. Banyaknya organisasi kepemudaan yang menjadi underbow partai politik semakin memberi ruang bagi HMI untuk tampil kedepan.
Sebagaimana diketahui bahwa HMI merupakan organisasi yang bersifat Independen. Independensinya HMI inilah yang memberikan ciri khas bila dibandingan dengan organisasi lainnya. Independensi ini memberikan ruh kemandirian bagi HMI baik dari sisi organisatoris maupun etis. HMI menetapkan dirinya sebagai organisasi yang berdiri tanpa dibawah payung organisai manapun, apalagi underbow partai politik. Sedangkan Independensi etis HMI menggambarkan bagaimana HMI berpihak kepada kebenaran. Ia mencintai kebenaran tersebut dan akan membela kebenaran tersebut dalam gerakannya.
Baca Juga: Mengapa Kader-kader HMI Begitu Bangga Dengan Organisasinya ???
Tentu pilihan-pilihan tersebut memiliki konsekuensi pada tataran perjuangannya. Dalam dunia yang penuh dengan pragmatisme, HMI dapat saja digadaikan oleh mereka yang duduk di tampuk kekuasaannya. Pada akhirnya pucuk pimpinan di organisasi kemahasiswaan tersebut menjadi seksi untuk diperebutkan. Bagi elit di lingkungan HMI yang memiliki nilai tawar yang tinggi tentu memberikan ruang juga untuk berselingkuh dengan kekuasaan.
Perselingkuhan HMI dengan kekuasaan tak akan dapat di hindari mengingat gerakannya memiliki warna yang unik, yakni bergantung kepada karakter sang pemimpin. Yang menjadi aneh adalah ketika gerakan elit HMI tidak sesuai dengan khittah perjuangannya. Karena gerakan HMI adalah gerakan yang bersifat mendidik para kadernya agar menjadi Insan Akademis, Insan Pencipta, Insan Pengabdi, Insan Yang Bernafaskan Islam, dan Insan Yang Bertanggung Jawab Atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang Dirihoi Allah SWT.
Baca Juga: Sepenggal Sejarah Berdirinya HMI Cabang Bandar Lampung
Artinya yang dikedepankan adalah Insan Akademis, dimana insan ini adalah insan yang sesuai dengan jurusan masing-masing ketika para kader menjalankan kuliahnya di kampus. Untuk itu mereka dihadapkan pada problema yakni memperdalam jurusannya dikampus atau ikut-ikutan dengan yang lainnya dan bergabung pada wilayah politik praktis.
Tujuan HMI tersebut tidak hanya dapat di wujudkan didalam lingkungan pada saat mereka aktif di HMI saja. Tetapi juga pada saat mereka telah terjun kemasyarakat. Ahmad Wahib mengatakan bahwa HMI adalah alat bukan tujuan. Maka tujuan HMI yang begitu mulia merupakan tujuan setiap kader HMI selama hayat masih dikandung badan.
Kader di HMI dapat dibagi menjadi dua, yakni: kader struktural dan kader kultural. Bagi mereka yang struktural biasanya mereka banyak yang terjun kepada politik praktis. Kebanyakan dari mereka ini lebih dekat kepada alumni HMI dan tokoh-tokoh politik. Mereka lebih mudah dalam bergaul dan memiliki banyak kenalan dengan organisasi pergerakan lainnya. Mereka memiliki kecerdasan dan tangkas dalam bertindak, solutif, tidak berbelit-belit, mampu bergerak cepat dan juga mudah dalam mendapatkan sumber pendanaan.
Bagi mereka yang kultural, biasanya kutu buku dan lebih menyukai diskusi dengan kelompoknya. Memberikan pelatihan-pelatihan dan bergaul dengan lingkungan yang sempit. Terkadang mereka tidak menyukai dengan gaya-gaya politik praktis dan sering melontarkan kritikan-kritikan tajam perihal perkaderan, independensi dan gerakan moral.
Bagi mereka yang mencintai struktural biasanya lebih menyukai diskusi tentang trik-trik politik dan kondisi politik kontemporer serta gerakan-gerakan kepemudaan. Mereka lebih cepat dalam menyelesaikan kuliah dibanding mereka yang kultural. Orang-orang struktural tidak fokus pada satu tempat namun berpindah-pindah. Sangat kontras dengan mereka yang kultural. Mereka yang kultural ini mampu untuk berlama-lama membicarakan satu pokok bahasan diskusi.
Tetapi semuanya tidak seperti yang tergambar diatas, karena tidak semua perilaku manusia itu sama. Setiap Komisariat, Cabang dan Badko memiliki karakter yang berbeda-beda. Biasanya setiap daerah memiliki corak yang khas baik dari gerakan maupun perkaderan yang dilaksanakan.
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika membicaran tentang independensi HMI. Padahal telah secara gamblang dijelaskan di tafsir independensi HMI. Tetapi tetap saja dalam perilaku berorganisasinya sulit untuk memisahkan antara kepentingan individu dan kepentingan organisasi. Penulis menilai bahwa dilema ini sering ditemukan didalam tubuh HMI. Apalagi saat bersentuhan dengan alumni yang bergerak pada wilayah politik. Sebagian anak HMI terkadang terjebak pada independensi tersebut.
Misalnya, jika ada alumni yang bergerak pada wilayah politik dan memiliki sumber pendanaan yang tidak sedikit bagi HMI, maka fungsionaris HMI diberikan pilihan-pilihan yang sulit. Pada saat alumni tersebut membutuhkan bantuan orang-orang yang ada di dalam kepengurusan HMI mau tidak mau mereka akan memberikan bantuan dan terjun dalam kepentingan politik tersebut. Kalau tidak membantu ada perasaan tidak enak karena selama ini alumni tersebut telah banyak berkorban baik dari segi materi dan pemikiran demi kelangsungan organisasi. Mau membantu tetapi dibenturkan dengan Anggaran Dasar Organisasi. Dilema ini tak kunjung usai dan selalu menghantui para kader-kader HMI.
Ketika sudah masuk pada wilayah itu maka independensi HMI telah tergadaikan. Melihat kondisi tersebut penulis menilai bahwa sebenarnya titik persoalannya adalah pada sumber pendanaan bagi gerakan HMI. Artinya independensi HMI harus juga diperkuatkan pada wilayah pendanaan. Sumber-sumber pendanaan yang independen harus digali agar keberpihakan yang di inginkan memang keberpihakan yang tidak mementingkan segelintir orang tetapi kepentingan tersebut merupakan kepentingan untuk bangsa, negara dan umat islam pada khususnya.
Berbeda dengan organisasi-organisasi sayap atau organisasi-organisasi yang menjadi underbow partai politik tertentu. Tentu gerakan mereka selaras dengan organisasi yang ada di atasnya. Keselarasan gerakan ini memberikan kekuatan organisasi yang diatas. Artinya mereka merupakan gerakan yang mimiliki platform yang sama antara ayah dan anak. Yang menjadi dilema bagi mereka adalah ketika timbulnya cita-cita dan gerakan organisasi inti berseberangan dengan organisasi sayap dan underbownya.
Untuk itu HMI harus tetap independen baik dari segi organisatoris maupun etis, atau dalam bahasa lainnya HMI tetap independen baik dari sikap politik, sumber pendanaan dan gerakan moralnya. Selamat Milad HMI ke-63, mudah-mudahan momentum ini dapat dijadikan pijakan untuk terus menatap masa depan HMI yang gemilang bagi kemajuan bangsa, negara dan umat.
Bandar Lampung, 5 Februari 2010