Menelaah Celoteh Haris Bahwa Okum BNN dan Mabes Polri Terima Milyaran Rupiah dari Freddy Budiman
Tidak ada yang luar biasa
dari cerita Haris Azhar, Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak
Kekerasan (Kontras). Pasca ekseskusi gembong Narkoba Freddy Budiman, Hary
mengungkap percakapan dirinya dengan Sang Gembong beberapa tahun silam.
Isi pembicaraan yang
disampaikan tidak lebih hanya cerita sumir dan hanya menjadi bola liar. Dari
pembicaraan dengan Sang Gembong, Haris mengungkapkan bahwa Freddy pernah
memberikan uang milyaran rupiah kepada oknum di BNN dan Mabes Polri. Sangat
disayangkan, informasinya tidak lengkap. Di mana lokasi, siapa namanya,
bagaimana pemberian nya, semuanya tidak jelas.
Informasi ini sebenarnya
sudah menjadi rahasia umum. Ibarat kentut, keterlibatan oknum penegak hukum
dalam peredaran narkoba itu terasa baunya tapi tidak berwujud. Pemerintah pun
sudah berusaha untuk menyatakan perang terhadap narkoba dan melakukan
pembersihan terhadap oknum yang terlibat narkoba.
Kejadian-kejadian seperti
itu memang sudah menjadi buah bibir di masyarakat kita. Hal itu sekaligus
menguatkan bukti bahwa Narkoba sudah menyebar ke seluruh elemen masyarakat.
Oleh sebab itu, semangat Presiden Joko Widodo untuk serius melawan narkoba dan
menindak tegas pelakunya patut diapresiasi. Jokowi pun memberikan instruksi
kepada bawahannya untuk melakukan pembersihan dan melawan Narkoba.
Kapolri Tito Karnavian
sudah menyatakan dengan tegas bahwa harus dilakukan perbaikan internal Polri,
termasuk aksi bersih-bersih. Tinggal Tito berani atau tidak melakukan wajib tes
urine bagi setiap anggota kepolisian. Kalau BNN, melalui Budi Waseso memang
sudah menyatakan perang melawan Narkoba. Pembersihan terhadap oknum nakal di
BNN sudah dilakukan. Beberapa diantaranya dipecat. Bahkan, BNN pun tidak takut
untuk menggerebek pejabat negara yang memakai Narkoba.
Mungkin, satu-satunya
informasi bermanfaat yang disampaikan Haris adalah peredaran Barang Bukti (BB)
kejahatan yang ternyata beredar di pasaran. Tidak semua dimusnahkan, masih ada
yang diambil untuk kemudian dijual. Inilah pekerjaan berat bagi kepolisian.
Selain itu, ruang untuk melakukan pengawasan terhadap keberadaan barang bukti
pun sulit dilakukan. Apalagi oleh masyarakat.
Hal ini menyangkut
kerahasiaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian yang tidak bisa
sembarangan keluar. Kemudian, BB tersebut harus dihadirkan dalam persidangan.
Setelah itu baru kemudian BB disimpan digudang penyimpanan untuk kemudian
dimusnahkan. Pengawasan ketat dari masyarakat hanya bisa dilakukan melalui
peran pers.
Itu pun masih sulit.
Mereka harus mencatat jumlah BB saat tersangka di BAP, BB yang dihadirkan di
persidangan dan jumlah BB yang dimusnahkan. Datanya harus cocok untuk bisa
mengetahui apakah BB dicuri oleh Oknum penegak hukum. Misal, tahun 2015 Mabes
Polri mengamankan 5 ton ganja kering. Tetapi, pada saat pemusnahan, jumlahnya
menyusut. Itu patut dicurigai.
Oleh aebab itu, patut
dipertanyakan apa sesungguhnya motif Haris menyampaikan informasi ini, di saat
Freddy sudah tewas. Kenapa tidak pada saat informasi itu baru didapat dari
Freddy. Kondisi ini membuat penggalian informasi menjadi sulit. Praktis,
informasi sepihak hanya keluar dari mulut Haris. Tidak ada informasi pembanding
yang notabene berasal dari Freddy yang sudah tewas.
Diketahui, Haris bersama
Kontras memang paling getol melawan sanksi hukuman mati di Indonesia. Beberapa
kali mereka menolak dilakukan eksekusi mati terhadap napi kasus Narkoba. Jangan
sampai, informasi ini hanya dijadikan alat untuk menunda dilakukannya eksekusi
kepada pengedar Narkoba. Meminta dilakukan tindakan atas keterlibatan oknum aparat
penegak hukum yang terpaksa membuat eksekusi ditunda. Apakah pemerintah
termakan ucapan Haris?