Membaca Fenomena Golput (Catatan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Jilid dua)
Pemilihan
kepala daerah tahun 2017, merupakan pemilihan kepala daerah serentak jilid dua
sebagai kelanjutan jilid satu di bulan Desember 2015 lalu. Khusus untuk Provinsi Lampung ada sebuah
fenomena yang hampir seragam di delapan kabupaten kota yang melaksanakan
pemilihan kepala daerah 9 Desember 2015 lalu, yaitu rendahnya angka partisipasi pemilih.
Target
KPU RI bahwa angka partisipasi diharapkan berada pada kisaran 77, 5% ternyata
tidak tercapai dalam pemilihan serentak jilid satu, khususnya di Provinsi Lampung. Dari delapan
pemilihan yang digelar hanya ada satu wilayah yang memenuhi target. Fenomena
ini oleh kebanyakan orang disebut sebagai pemilih golongan putih / golput, atau
tidak memilih.
Dalam
konteks memilih di Indonesia adalah kegiatan memilih adalah hak, sehingga
pemilih dapat menggunakan hak itu atau tidak menggunakannya Mekanisme
penghitungan suara berdasarkan domain
bahwa suara rakyat itu sebagai sumber demokrasi dalam pemilihan langsung
berimplikasi pada seberapa besar partisipasi rakyat dalam menggunakan hak
suaranya dalam memilih.
Pengalaman
Negara Indonesia dalam melaksanakan pemilu, dapat kita jadikan acuan, misalnya pada
pemilu legislatif, angka partisipasi pemilih di Indonesia mengalami fluktuasi
yang semakin mengkhawatirkan. Demikian pula dengan pelaksanaan pemilihan
presiden secara langsung pada tahun 2004, dan tahun 2009. Data yang didapat dari Desk Pilkada Departemen Dalam Negeri tahun 2005,
didapatkan bahwa angka pemilih yang
tidak menggunakan hak pilihnya (golput)
pada pemilu legislatif berjumlah 15,93 %, golput dalam Pilpres Putaran
Pertama, 20,24 % dan golput Pilpres Putaran Kedua; 22,56 %, dan rata-rata
golput dalam pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia, berkisar 30,65 %.
Angka
ini juga menanjak dalam pemilihan umum (pileg, pilpres, pemilukada) tahun 2009,
rata-rata 3 sd 5 % (Sumber ; Depdagri , 2009) . Pelaksanaan pemilihan Gubernur
Lampung secara langsung tahun 2008, berdasarkan data dari KPUD Lampung, angka
warga yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah sebesar 39 %.
Golput
dalam pemilu dan pemilukada
di Indonesia sudah menjadi momok besar dalam proses Indonesia berdemokrasi yang
bebas dan mandiri. Terlepas dari memilih dalam
peraturan kita bukanlah kewajiban tapi hak, sehingga ada kecendrungan setiap
pelaksanaan pemilu golput akan selalu bertambah. Kondisi ini diperparah dengan
kualitas wakil yang terpilih (dewan, presiden, kepala daerah) tidak menunjukkan
grafik membaik. (Hanya membaik dalam beberapa kasus saja , semisal Jokowi, Tri
Rismaharini, Ridwan Kamil dan beberapa tokoh non pemerintah).
Pertanyaan
besar yang kemudian mengemuka adalah, bagaimana meningkatkan partisipasi
pemilih dalam pilkada serentak jilid dua di Provinsi Lampung di lima wilayah
kabupaten yang menyelenggarakan pilkada. Baik dari segi kuantitas (jumlah warga
yang memilih) maupun secara kualitas (rasional warga dalam melakukan pilihan,
tanpa tendensi uang, tekanan atau primordial).
Istilah “golput” (
kependekan dari golongan putih) sendiri muncul tahun 1990-an. Istilah ini
diperkenalkan oleh sejumlah aktivis dan kelompok pro demokrasi (seperti Arief
Budiman) yang menolak terlibat dalam Pemilu di masa Orde Baru. Saat itu, Pemilu
dilihat sebagai kewajiban. Warga negara yang mempunyai hak pilih dipaksa untuk
terlibat atau berpartisipasi sebagai pemilih. Seseorang menggunakan hak
pilihnya lebih karena kewajiban atau ketakutan daripada pencerminan dari sikap
atau pilihan politik.
Aktivis yang tidak
setuju dengan penyelenggaraan Pemilu dan termasuk partai-partai yang ikut
bertarung, memperkenalkan golput untuk
mengajak agar masyarakat tidak ikut memilih. Golput karena itu lebih merupakan
sikap atau pilihan politik yang diambil secara sengaja. Saat ini
istilah ‘golput” kemungkinan mengalami perubahan. Saat ini, warga negara berhak
untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya. Tidak ada sanksi atau
hukuman bagi orang yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Secara teoriotis
(dalam Apter, Dahl, Gaffar, Paige, Surbakti) , studi mengenai perilaku pemilih ( voter behavior) dikenal tiga teori besar
yang menjelaskan fenomena golput. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak
ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis
tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Di Amerika,
orang yang berpendidikan tinggi relatif lebih aware dengan pemilihan dan akan menggunakan hak pilihnya,
dibandingkan dengan warga yang berpendidikan rendah. Faktor jenis pekerjaan
juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak.
Kedua, teori
psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh
kedekatan ( attachment) dengan partai
atau kandidat yang ada. Ketiga, teori ekonomi politik. Teori ini menyatakan
keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional,
seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih
baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru
terpilih, dan sebagainya.
Menurut pendapat
penulis ada beberapa alasan mengapa Golput terjadi. Pertama, administratif.
Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur
administrasi, seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam
daftar pemilih dan sebagainya. Kedua,
teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk
memilih, seperti harus bekerja pada hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota
di saat hari pemilihan dan sebagainya. Dalam kasus pilgub lampung 2008 lalu
misalnya, ditemukan beberapa warga tidak memilih karena alasan hujan dan TPS
jauh dari tempat tinggal.
Ketiga, rendahnya
keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa
tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai
hal yang penting. Keempat, ekonomi politik. Pemilih memutuskan tidak
menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak
memilih. Pemilu (atau Pilkada) dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa
perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan
sebagainya.
Kelima; psikologi
pemilih, ada kebosanan dan kejenuhun pemilih terhadap proses pemilu atau
pilkada karena beragam faktor; calon yang itu-itu saja, kandidat yang tidak menarik, kampanye
yang stagnan, pembatasan politik uang yang ketat.
Meminimalisir golput adalah tugas sistem, yang melibatkan banyak pihak,
mulai dari negara (pemerintah, legislatif, penyelenggara pemiliihan umum,
yudikatif), Civil Society (LSM, NGO, kaukus, perhimpunan, kelompok penekan)
sampai pada partai politik dan para
calon itu sendiri.
Lima alasan utama penyebab golput, yaitu administratif, teknis, politis dan
ekonomi politik, psikologis, perlu
disediakan solusi yang sepadan sebagai obat penawarnya. Administratif dan
teknis misalnya dapat diselesaikan dengan pemberlakuan E- KTP dan E-
Governance. Dikemudian hari mungkin memilih dapat
menggunakan E-Voters, dengan melalui kartu saja, di ATM atau sistem pemilu
elektronik yang disediakan, kiranya kita tertinggal dari negara India dan
Pakistan yang sudah lebih dulu walaupun dalam tahap mencoba menggunakan E-voters. Amerika,Australia dan Eropa sudah sangat familiar
dengan sistem ini. Walau ada beberapa negara yang dulunya memakai E-Voting
kembali ke konvensional dengan alasan rentannya sistem keamanan (hacker).
Alasan politis bisa diminimalisir dengan menyatukan pelaksanaan pemilu dan
pilkada, sehingga pemilih tidak merasa jenuh, karena dalam waktu berdekatan
selalu ada pemilu. Kementrian dalam negeri memiliki langkah yang baik, karena
berniat menyatukan pemilu di tahun 2015 , setelah MK memutuskan pemilu hanya
satu kali saja khusus untuk pemilu tahun 2019.
Paling berat adalah menyelesaikan alasan ke empat, yakni ekonomi politik,
karena masyarakat sudah terbiasa dengan politik uang, pemberian barang atau
barter pekerjaan, proyek dan jabatan. Pemilih masih melihat proses untung rugi
dalam alasan keempat ini. Selain di bungkus dengan peraturan perundangan yang
mengikat, misal sanksi perdata dan pidana, cara lain yang berat dalam proses
pelaksanaan adalah memperbaiki citra partai politik, calon anggota legislatif,
independensi penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, Panwaslu, DKPP) serta
independensi pemerintah (pusat dan daerah). Mempertahankan lembaga anti
korupsi, (KPK) dari pelemahan struktural oleh DPR dan Eksekutif, juga bagian
dari upaya meningkatkan kualitas pemilu dan demokrasi kita.
Revisi Undang-Undang tentang Pilkada, yang tertuang dalam UU No 10 tahun
2016 telah melakukan 21 item perbaikan mengenai pelaksanaan dan tata cara
Pemilihan Kepala Daerah, salah satunya adalah memperkuat posisi Bawaslu,
perubahan pola Kampanye, dukungan bagi calon perseorangan yang berdasarkan
jumlah pemilih, aturan pemberhentian tetap bagi PNS, anggota DPR yang akan mencalonkan diri menjadi kepala
daerah.
Dengan adanya revisi UU tentang Pilkada itu, tentunya kita tak berhenti
berharap agar kualitas pemilu kita meningkat, dengan dibarengi peningkatan
kualitas demokrasi, tidak hanya prosedural (Shcumpeter Theori), tetapi juga
substansial yakni peningkatan kesejahteraan warga umumnya, wabil khusus menekan
angka golput. Wallahu alam Bishawab.
Membaca Fenomena Golput