Kerusuhan Tanjung Balai, Mission Complete!!!
Kerusuhan berbau SARA
(Suku Agama Ras dan Antar golongan) kembali pecah di Indonesia. Kali ini,
Tanjung Balai menjadi tuan rumah ajang mengumbar kebencian sesama anak manusia,
sesama anak Indonesia. Tontonan yang menyayat hati bagi siapa pun yang berharap
Indonesia hidup damai.
Keanekaragaman suku, adat,
budaya dan agama di Indonesia menjadi entitas kekayaan Indonesia. Di sisi yang
lain, kondisi ini dimanfaatkan bagi mereka yang tidak ingin Indonesia hidup
rukun. Tidak ingin Indonesia sebagai bangsa hidup bahu membahu memajukan negeri
nya. Mereka yang ingin Indonesia selalu dalam kotak perbedaan diiringin
kecurigaan yang menggebu.
Apakah konflik yang pecah
di Indonesia terjadi secara alamiah? Tidak. Semua sudah dikondisikan. Bisa
dikatakan misi kelompok yang ingin Indonesia masuk dalam kekacauan berjalan
sukses. Disebabkan perkara kecil, kerusuhan sudah bisa merusak beberapa rumah
ibadah. Ibarat bermain game, mission complete. Silahkan pindah lokasi. Mungkin
ke Pulau Jawa, Papua, Kalimantan atau lainnya. Misi menjerumuskan Indonesia
dalam kubangan konflik akan terus berjalan.
Pupuk perpecahan dan
kebencian memang sudah lama disebar. Di kelompok atau komunitas kecil dibuat
diskusi. Isinya apalagi kalau bukan menjelekkan dan membahas kekurangan
kelompok yang lain. Kelompok yang dibahas pun melakukan hal yang sama. Seperti
bara dalam sekam, suatu saat pasti akan berkobar menjadi api yang besar.
Tanjung Balai menjadi contohnya. Sebelumnya, di Tolikara Papua, Balinuraga
Lampung. Yang paling besar terjadi di Poso dan Ambon tahun 2000-an dan Sampit
di Kalimantan. Ribuan orang mati sia-sia.
Tidakkah masyarakat kita
belajar dari pengalaman? Mereka belajar, mereka ingat, mereka paham apa
dampaknya. Akan tetapi, apa yang ada di memori otak masyarakat Indonesia terus-menerus
digerus oleh propaganda kebencian. Ajakan untuk membenci dan enggan hidup
berdampingan dengan kelompok tertentu. Propaganda yang tetap berjalan santai
dan makin dinikmati. Proses ini berjalan terus-menerus dan berulang.
Buktinya, kejadian di Tanjung
Balai hanya karena adanya provokasi celotehan seseorang di media sosial.
Kemudian, efeknya luar biasa sekali. Kebencian yag sudah lama disemai sudah
mulai tumbuh dan sudah bisa dipetik hasilnya. Tinggal memencet remote saja,
dimana yang akan dijadikan tuan rumah konflik horizontal.
Luar biasa bukan. Hanya
karena hal sepele, semuanya bisa hancur. Keharmonisan dan tatanan masyarakat
yang normal menjadi berantakan. Pecahnya api konflik menjadi pemicu kebencian
baru. Semangat menyerang dan menyingkirkan kelompok lain. Sungguh memilukan
ketika bangsa lain sudah sibuk dengan kemajuan teknologi, di Indonesia masih
sibuk meredam api di sana-sini.
Kita yang menyaksikan
kejadian itu mungkin ikut mengumpat, memaki atau apalah. Padahal yang kita
tonton adalah bukti ketidakpahaman dan keawaman yang dieksploitasi. Para pelaku
kerusuhan pun sebenarnya hanya korban. Mereka tidak tahu bahwa merusak dan
membakar bukan jaminan masuk surga. Mereka tidak tahu bahwa kerusakan yang
ditimbulkan ikut menzalimi orang lain.
Mungkin ada harapan,
ketika meregang nyawa di arena konflik mereka akan dielu-elukan seperti
pemberitaan sumir yang beredar. Gembong Narkoba yang tewas dielu-elukan.
Pemberontak yang tewas ditangan aparat diagung-agungkan. Penyampaian fakta yang
terbalik yang sebenarnya itulah provokasi yang menyesatkan.
Pemerintah sudah
berkali-kali diingatkan. Bara dalam sekam yang bisa memicu konflik harus cepat
dipadamkan. Kipas angin yang dihembuskan dari berbagai macam arah, khususnya
media sosial harus cepat ditertibkan. Diambil tindakan tegas. Kita jadi
bertanya-tanya, apa kerjaan Menkominfo dan polisi Cyber dari Kepolisian.
Gerakan penghasutan secara masif tidak juga diambil tindakan yang cepat.
Contohnya saja, kelompok
diskusi di media sosial yang menjelekkan agama lain sangat lambat
penindakannya. Bahkan, seseorang bisa sangat lancang dengan megunggah video
pribadi sedang menghujat agama lain. Begitu longgarnya pengawasan dari aparat
penegak hukum. Sementara di tempat lain, ada yang tersinggung dengan ulah seperti
itu. Satu-persatu bara itu muncul menjadi potensi bibit konflik baru.
Aksi-aksi kelompok penebar
propaganda kebencian terus dibiarkan. Wajar jika kita pun curiga, apakah
kelompok yang ingin menghancurkan Indonesia sudah menyusup begitu jauh sampai
ke pemegang otoritas kekuasaan?. Begitu nyatanya informasi yang menghasut tapi
tidak cepat didinginkan.
Kita harus menyadari
kemenangan dan keberhasilan kelompok perusak. Tinggal kita menunggu, dimana
lagi aka pecah konflik. Semoga saja, bukan di lingkungan kita. Semoga saja
orang-orang yang kita cintai terhindar dari sabetan parang mereka yang sudah
termakan hasutan. Semoga saja bangsa ini dilindungi Allah SWT.
Kerusuhan Tanjung Balai, Mission Complete!!!
Penulis: Anton Adi Wijaya