Berpolemik Dengan Diri Sendiri
Pada awalnya saya tidak suka dengan perdebatan yang berakhir dengan debat kusir. Apalagi yang dibicarakan tidak memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi. Namanya juga debat kusir, yang didebatkan juga tak tentu arahnya kemana.
Apalagi bicara masalah politik yang tidak ada habis-habisnya. Ujung-ujungnya menjadi ghibah, fitnah dan segala macam bentuk perilaku yang tidak berakhlak bisa saja terjadi bila kita tidak mampu mengendalikan diri.
Tetapi pada saat yang sama saya mulai tergiring dan terbawa arus. Untuk mengendalikannya saya coba untuk peduli dan berpikir secara objektif. Tentu, objektifitas ini dibentuk pula atas apa yang saya baca, apa yang saya dengar dan apa yang saya lihat. Tanpa menafikan pengaruh lainnya tetapi pengaruh ketiga hal tersebut menjadi dominan dan melekat dan darimana lagi informasi yang saya terima kalau bukan dari media.
Media mejadi sarana utama untuk membentuk pikiran, memberikan arah yang tepat tentang suatu fenomena. Arah yang tentunya menjadi tujuan dari media. Lalu, saya berusaha untuk tidak mudah terpancing dan percaya begitu saja apa yang disampaikan bila tak ada pembanding. Inilah akibatnya, karena berdasarkan fakta yang terjadi bisa saja tidak sesuai dengan apa yang disampaikan. Tentu, saya tidak ingin berlama-lama untuk larut dalam polemik ini. Mesti ada garis yang jelas antara arah dan tujuan yang dicapai.
Pembelokan-pembelokan yang terjadi harus diluruskan. Untuk meluruskannya kita butuh sarana atau media pembanding. Tetapi saya tidak ingin media ini menjadi sarana dengan sudut pandang yang sempit. Harus ada beragam pemikiran didalamnya, didalamnya harus ada cara berpikir yang kritis dan merdeka. Siapapun itu bisa berkontribusi didalamnya sebagai wadah penyampaian aspirasi. Inilah tempatnya untuk berbagi, dan masing-masing memiliki peran yang tak kalah hebatnya.
Kenapa demikian? Karena saya meyakini bahwa setiap manusia memiliki pemikiran dan pandangan yang berbeda sehingga kita saling memberikan pencerahan kepada yang lain. Saling memberi isi pikiran kita sehingga saling mencerdaskan dengan berbagi pengalaman.
Perdebatan di media sosial akan berakhir pada tempat yang sama jika tidak didorong oleh kekuatan melalui suara yang lebih lantang. Media website/blog lebih lantang karena bisa diakses siapa saja tanpa harus melalui pertemanan. Dengan ini suara kita lebih bisa tersalurkan dan dapat dinikmati oleh siapapun.
Disitulah saya berkomitmen untuk membangun Poetra Merdeka Centre, agar tidak terjadi polemik didalam diri sendiri. Harus ada pembanding dan jawaban dari kawan-kawan yang lain. Apalagi ketika bicara maslah politik dalam negeri yang tidak ada habis-habisnya.
Dulu di organisasi mahasiswa, saya diajarkan oleh para senior untuk melihat visi, misi dan program yang ingin maju sebagai pemimpin terlebih dahulu. Bukan semata-mata melihat dengan sudut pandang suka atau tidak suka (like and dislike). Banyak faktor yang membuat kita like and dislike, terutama masalah perbedaan. Perbedaan menjadi jurang yang akan memisahkan objektifitas dalam pembangunan baik pola pikir, komitmen untuk memajukan sebuah bangsa dan nilai-nilai dalam persatuan.
Inilah yang terjadi pada saat ini. Kita terbelah dan tidak saling mendukung satu sama lain. Ikut campur pada pemerintahan merupakan tanggungjawab kita sebagai masyarakat untuk terus melakukan monitoring apalagi jika kebijakan mereka tidak berpihak kepada rakyat. Aku menunggu suara-suaramu wahai saudara-saudaraku. Jangan biarkan suara-suara sumbang mereka terdengar sedangkan suara indahmu terlelap dan terlena tertiup angin dan membawanya menghilang menjadi debu. Merdeka..!!!