Senja Dibalik Jeruji
Tiba-tiba penulis teringat tiga sosok mantan petinggi di jajaran pemerintahan Provinsi Lampung. Mereka adalah Tauhidi (Mantan Kepala Dinas Pendidikan), Albar Hasan Tandjung (Mantan kepala Dinas Perhubungan) dan Sugiharto (Mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga).
Ketiganya kini sedang dalam masa-masa sulit. Tersandung masalah hukum atas kesalahannya terdahulu ketika sedang menjabat. Walau belum jatuh vonis, ketiga orang yang sudah memasuki masa pensiun itu telah mendekam di dalam jeruji besi, tepatnya di Rumah Tahanan Way Hui.
Entah apa yang dipikirkan oleh ketiganya. Bisa saja ingin segera berkumpul dengan keluarga, menyesali perbuatan masa lalu, rindu kemewahan dan kemudahan masa lalu atau tidak memikirkan apa pun kecuali ingat mati. Penulis hanya mengira-ngira saja.
Sudah bukan rahasia umum jika para pejabat Indonesia, baik pusat maupun daerah, dimanjakan oleh berbagai sarana dan fasilitas yang sangat nyaman. Ketiga pejabat di atas pastilah pernah duduk di kursi empuk, ruangan ber-AC, televisi LED dengan ukuran besar, mobil dinas mewah sampai tombol untuk memanggil ajudan.
Semua kemewahan itu sekarang sudah hilang. Tinggalah ruangan penjara yang pengap dan dingin, fasilitas MCK digunakan bersama-sama, makanan jatah penjara dan yang terparah yaitu trrisolasi dari keluarga yang dicintai. Dibatasi jam besuk dan tidak boleh semua anggota keluarga membesuk.
Menjadi pejabat memang penuh godaan. Di negeri yang sudah puluhan tahun terjangkit penyakit korup, memang sulit bagi siapapun yang duduk di lingkaran kekuasaan untuk tidak ikut masuk pusaran. Uang sudah benar-benar menjadi barang untuk diberhalakan. Kekuasaan sangat perlu untuk dijadikan alat perlindungan atau mengeruk pundi-pundi.
Gaya hidup pejabat yang selalu bergelimang mungkin menjadi salah satu pemicu bagi mereka untuk berprilaku menyimpang saat berkuasa. Ada anggapan, masak pejabat tidak memiliki rumah mewah, masak pejabat mobilnya cuma satu, masak pejabat rumahnya cuma satu dan lain hal.
Belum lagi tuntutan keluarga yag sudah terjangkit pola hidup glamor sebagai anggota keluarga pejabat. Entah dituntut istri untuk beli ini dan itu atau ingin membelikan anak ini dan itu. Untuk memenuhi itu semua, membutuhkan uang yang tidak sedikit.
Gaji sebagai pejabat eselon tidak cukup. Jadilah mereka mencari penghasilan tambahan. Sayangnya, caranya yang salah. Mulai dari mengentit uang operasoional sampai memungut biaya dari pihak ketiga.
Ya, kepala dinas memang memiliki posisi penting dalam proses pengadaan barang dan jasa di dinas masing-masing. Suara kepala dinas dijadikan kunci untuk memenangkan paket pengadaan barang dan jasa. Pejabat Pembuat Komitmen dan Panitia Pengadaan Barang dan Jasa adalah orang-orang yang pasti tunduk kepada Kepala Dinas.
Kepala Dinas yang nakal biasanya akan meminta "uang pertemanan" kepada pihak ketiga atau pemborong jika ingin medapatkan paket proyek di dinas yang dipimpinnya. Tentunya, hanya pemborong nakal juga yang mau melayani kemauan kepala dinas nakal. Inilah yang disebut gratifikasi atau suap. Ujung-ujungnya pasti merugikan negara. Lingkaran setan tanpa ujung.
Apakah mereka tidak ingat dosa, tidak tahu bahwa penegakan hukum makin kuat, pengawasan dimana-mana?. Mungkin saat itu sedang terlena. Mungkin saat itu sedang asyik dengan dunianya. Semua dilupakan, termasuk melupakan para pengawas. Jadilah mereka terpeleset karena kelalaiannya.
Tauhidi terpeleset karena ketahuan korupsi pengadaan siswa miskin, Albar Hasan terpeleset karena korupsi clearing land Badara Raden Intan dan Sugiharto karena "tega" megentit uang saku atlet. Ketiganya sedang mempertanggungjawabkan kesalahannya pada hukum di dunia.
Apakah akan ada pejabat lain yang tersangkut kasus korupsi, kita tidak tahu. Aparat penegak hukum yang lebih mengerti. Yang jelas, kita sedang terpasung dalam gurita korupsi yang terjadi di semua lini kehidupan bernegara. Harusnya, lebih banyak lagi yang tertangkap.
Penulis jadi teringat ucapan salah satu mantan kepala dinas. "Urip kui yo ngono ton. Dunyo terahe ngono. Dewe yo kudu ngono. Tapi yo ojo ngono-ngono tenan" (hidup itu ya begitu ton. Dunia sekarang memang begitu. Kita juga harus begitu. Tapi ya jangan begitu-begitu amat).
Ketiganya kini sedang dalam masa-masa sulit. Tersandung masalah hukum atas kesalahannya terdahulu ketika sedang menjabat. Walau belum jatuh vonis, ketiga orang yang sudah memasuki masa pensiun itu telah mendekam di dalam jeruji besi, tepatnya di Rumah Tahanan Way Hui.
![]() |
Bung Anton |
Entah apa yang dipikirkan oleh ketiganya. Bisa saja ingin segera berkumpul dengan keluarga, menyesali perbuatan masa lalu, rindu kemewahan dan kemudahan masa lalu atau tidak memikirkan apa pun kecuali ingat mati. Penulis hanya mengira-ngira saja.
Sudah bukan rahasia umum jika para pejabat Indonesia, baik pusat maupun daerah, dimanjakan oleh berbagai sarana dan fasilitas yang sangat nyaman. Ketiga pejabat di atas pastilah pernah duduk di kursi empuk, ruangan ber-AC, televisi LED dengan ukuran besar, mobil dinas mewah sampai tombol untuk memanggil ajudan.
Semua kemewahan itu sekarang sudah hilang. Tinggalah ruangan penjara yang pengap dan dingin, fasilitas MCK digunakan bersama-sama, makanan jatah penjara dan yang terparah yaitu trrisolasi dari keluarga yang dicintai. Dibatasi jam besuk dan tidak boleh semua anggota keluarga membesuk.
Menjadi pejabat memang penuh godaan. Di negeri yang sudah puluhan tahun terjangkit penyakit korup, memang sulit bagi siapapun yang duduk di lingkaran kekuasaan untuk tidak ikut masuk pusaran. Uang sudah benar-benar menjadi barang untuk diberhalakan. Kekuasaan sangat perlu untuk dijadikan alat perlindungan atau mengeruk pundi-pundi.
Gaya hidup pejabat yang selalu bergelimang mungkin menjadi salah satu pemicu bagi mereka untuk berprilaku menyimpang saat berkuasa. Ada anggapan, masak pejabat tidak memiliki rumah mewah, masak pejabat mobilnya cuma satu, masak pejabat rumahnya cuma satu dan lain hal.
Belum lagi tuntutan keluarga yag sudah terjangkit pola hidup glamor sebagai anggota keluarga pejabat. Entah dituntut istri untuk beli ini dan itu atau ingin membelikan anak ini dan itu. Untuk memenuhi itu semua, membutuhkan uang yang tidak sedikit.
Gaji sebagai pejabat eselon tidak cukup. Jadilah mereka mencari penghasilan tambahan. Sayangnya, caranya yang salah. Mulai dari mengentit uang operasoional sampai memungut biaya dari pihak ketiga.
Ya, kepala dinas memang memiliki posisi penting dalam proses pengadaan barang dan jasa di dinas masing-masing. Suara kepala dinas dijadikan kunci untuk memenangkan paket pengadaan barang dan jasa. Pejabat Pembuat Komitmen dan Panitia Pengadaan Barang dan Jasa adalah orang-orang yang pasti tunduk kepada Kepala Dinas.
Kepala Dinas yang nakal biasanya akan meminta "uang pertemanan" kepada pihak ketiga atau pemborong jika ingin medapatkan paket proyek di dinas yang dipimpinnya. Tentunya, hanya pemborong nakal juga yang mau melayani kemauan kepala dinas nakal. Inilah yang disebut gratifikasi atau suap. Ujung-ujungnya pasti merugikan negara. Lingkaran setan tanpa ujung.
Apakah mereka tidak ingat dosa, tidak tahu bahwa penegakan hukum makin kuat, pengawasan dimana-mana?. Mungkin saat itu sedang terlena. Mungkin saat itu sedang asyik dengan dunianya. Semua dilupakan, termasuk melupakan para pengawas. Jadilah mereka terpeleset karena kelalaiannya.
Tauhidi terpeleset karena ketahuan korupsi pengadaan siswa miskin, Albar Hasan terpeleset karena korupsi clearing land Badara Raden Intan dan Sugiharto karena "tega" megentit uang saku atlet. Ketiganya sedang mempertanggungjawabkan kesalahannya pada hukum di dunia.
Apakah akan ada pejabat lain yang tersangkut kasus korupsi, kita tidak tahu. Aparat penegak hukum yang lebih mengerti. Yang jelas, kita sedang terpasung dalam gurita korupsi yang terjadi di semua lini kehidupan bernegara. Harusnya, lebih banyak lagi yang tertangkap.
Penulis jadi teringat ucapan salah satu mantan kepala dinas. "Urip kui yo ngono ton. Dunyo terahe ngono. Dewe yo kudu ngono. Tapi yo ojo ngono-ngono tenan" (hidup itu ya begitu ton. Dunia sekarang memang begitu. Kita juga harus begitu. Tapi ya jangan begitu-begitu amat).