Breaking News

Perlunya Kurikulum Khotbah Jum’at


Sejak awal masa pemerintahannya, Jokowi telah ‘diragukan’ kerelijiusitasannya oleh kelompok tertentu.  Dengan menyangkal fakta bahwa kita -dan juga saya- bahkan tidak mengetahui isi hati orang lain, bagaimana mungkin  kita dapat mengukur iman dan takwa seseorang.

Meminjam istilah kekinian yaitu kepo, manusia dewasa ini begitu ingin mengetahui banyak hal dan beberapa hal yang ingin diketahui justru tidak jelas tolok ukurnya dan sejatinya tidak bisa diketahui secara pasti.  Beberapa orang tanpa ragu dan dengan terang-terangan mempertanyakan aqidah seseorang.  Saya percaya betul bahwa aqidah seseorang hanya Tuhan sendiri yang tahu, masyarakat hanya butuh akhlaknya.

Perlunya Kurikulum Khotbah Jum’at
Rifky Bangsawan

Tempo hari yang lalu menyeruak isu bahwa Kementerian Agama akan dihapus, dalam hal ini saya tidak akan membahas isu tersebut tapi lebih kearah urgensi bagaimana mengimplementasikan visi-misi didalamnya.  Tanpa mengurangi rasa hormat, miris rasanya melihat kenyataan bahwa organisasi selevel kementerian terlihat aktif hanya saat penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri serta Penyelenggaraan Ibadah Haji saja.  Sementara itu pada tataran provinsi dan kabupaten/kota, saya tidak melihat peran yang sungguh signifikan selain rapat penentuan dan pengukuran arah kiblat, pemberian apresiasi/bonus terhadap kafilah MTQ, pelatihan guru agama, dan lain-lain. 
 
Penentuan arah kiblat tentu penting, saya apresiasi itu dan harapan saya tidak terbatas itu saja.  Pertanyaan dibenak saya, bagaimana kita akan menyongsong pembaruan tanpa melakukan perubahan terhadap cara lama yang telah usang?  Pernahkan kita tertarik untuk mencari tahu tentang organisasi pemerintahan bernama Kementerian Agama?

Layaknya organisasi pemerintahan lain, tentu saja yang satu ini dapat diukur kinerja dan persentase keberhasilan dalam mencapai visi dan misi yang tertuang. Dari laman situs resminya, dicantumkan bahwa organisasi tersebut memiliki visi “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang TAAT BERAGAMA, RUKUN, CERDAS, MANDIRI, DAN SEJAHTERA LAHIR BATIN.”, tulisan yang saya tulis dalam huruf besar tidak mengada-ada alias sesuai dengan yang tercantum dalam laman resminya.

Adapun misi dari Kementerian Agama adalah sebagai berikut : Pertama, Meningkatkan kualitas hidup beragama. Kedua, Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama. Ketiga, Meningkatkan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan. Keempat, Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. Kelima, Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Sebuah organisasi dibentuk pasti punya tujuan dan sasaran yang jelas, dan harus dapat diukur, tapi saya sama sekali tidak paham cara mengukur kesuksesan dari visi yang tertulis diatas.  Saya jadi membayangkan jangan-jangan ada petugas dari kemenag yang mendatangi orang-orang mengajak untuk rajin beribadah, dalam benak saya bukankah hal demikian sudah sering kita lihat di kehidupan sehari-hari melalui sekelompok orang yang diberi label ulama atau ustadz, tapi mereka bukanlah petugas dari kemenag. 
 
Disisi lain setiap hari jum’at, umat muslim sudah mempraktikan kegiatan mengajak kearah ketakwaan ini melalui khotbah jum’at yang seringkali membosankan.  Khotbah yang seringkali terlalu berat sehingga cenderung menjadi nina bobo pendengarnya.  Topik bahasan yang terlampau jauh lintas benua, namun akhlak sehari-hari disekeliling kita banyak yang harus dikoreksi, namun tidakkah kita berpikir bahwa banyak ibadah dalam aktivitas sehari-hari yang perlu untuk dikampanyekan demi mencapai ketakwaan pada yang Maha Kuasa?

Selanjutnya kita beranjak pada misi yang tertuang dalam laman resmi organisasi tersebut, saya bertanya-tanya bagaimana cara mengukur kualitas hidup beragama?  Bagaimana mengukur kualitas kerukunan umat beragama?  Untuk hal ini otak saya tidak sampai untuk memahaminya.  Murni karena kebodohan saya semata.  Bagi saya, beragama cukuplah untuk manusianya saja.  Akan membingungkan bila sebuah organisasi bernama negara juga harus beragama.  Silahkan tuduh saya liberal atau label lain yang lazim anda pakai, namun menurut hemat saya menjalankan kehidupan agama itu sendiri menimbulkan konsekuensi hak dan kewajiban.  Jika saya beragama maka saya harus patuh pada aturan agama yang saya anut.  Lantas bagaimana jika negara harus beragama?  Bagaimana cara sebuah negara shalat?  Atau ke Vihara atau ke gereja dan lain-lain.  Bagaimana?

Terlepas dari kontraindikasi yang telah saya jabarkan diatas, marilah kita perbaiki sistem yang ada ini.  Toh bahteranya sudah ada, jika arahnya salah tinggal putar saja kemudinya.  Negara mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi dan menjamin warga masyarakat bebas menjalankan keyakinannya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.  Klausa “syarat dan ketentuan yang berlaku” saya tulis karena sebagian dari kita ntah secara sengaja atau tidak seringkali kebablasan dalam mendefinisikan arti kebebasan.  Kebebasan seyogyanya kita rayakan tanpa sedikitpun melukai orang lain.  Setidaknya itu yang ada didalam pikiran saya.

Kita harus memanfaatkan kebebasan berbicara ini dengan sebaik-baiknya, saya mengharapkan pemerintah dapat mengakomodir usulan saya untuk membentuk Majelis Permusyawaratan Khotbah Jumat (MPKJ) yang bertugas memberikan instruksi dalam hal topik apa yang akan disampaikan melalui kalender khotbah jumat.  Majelis ini bertugas menghimpun, mendata, mengedukasi lalu mendaftarkan para khotib jumat dari masing-masing masjid agar tertib dan terkontrol sehingga lebih terukur dalam peningkatan kualitas syiar Islam.  Secara bertingkat mulai dari desa, kecamatan, hingga kabupaten melakukan permusyawaratan dan berkontemplasi mengenai kehidupan keagamaan yang dewasa ini kita implementasikan.  Perlukah ada koreksi?  Perlukah dilakukan perubahan?  Dan apakah keadaan ini sudah cukup ideal?

Pendidikan formal mengolah kita untuk menjadi manusia yang mampu menguak hal-hal tabu melalui olah logika sehingga menjadi bahan diskusi yang dapat dipertanggugjawabkan.  Menurut hemat saya, pendidikan ini seharusnya kita dapatkan juga dalam khotbah jumat.  Khotbah jumat melalui khotibnya harus menjadi corong dalam melakukan pembangunan pendidikan rohani, maka dari itu perlu dibentuk majelis yang secara sadar melakukan peran dan fungsinya untuk menyusun kurikulum pendidikan (khutbah) jumat. 
 
Kurikulum pendidikan tersebut dimaksudkan untuk membentuk manusia yang berperikemanusiaan, memiliki tata krama, membangun budaya melalui pegangan utama kehidupan, dan secara tidak langsung ikut membangun negeri ini melalui pembentukan manusia-manusia yang bermoral.
Marhaban Yaa Ramadhan..
Wassalam..

Perlunya Kurikulum Khotbah Jum’at 
Oleh: Rifky Bangsawan
Mahasiswa Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung