Bisnis Musiman, Bisnis Yang Mudah Redup
Siapa diatara kita yang tidak tahu Ikan Louhan. Ikan air tawar bersisik dan memiliki benjolan di kepala ini sempat booming di tahun 2002. Ikan yang saat itu harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah mendadak anjlok menjadi ikan dalam ember.
Kemudian, booming Ikan Louhan Digantikan oleh booming tanaman Gelombang Cinta. Dalam sebuah pameran, tanaman yang ukurannya baru 10 centimeter saja dihargai sampai 500 ribu. Sekarang, tanaman seperti itu dibiarkan saja menjadi rumput liar.
Terakhir, booming batu cantik (bacan) dua tahun belakangan. Karena terlalu demam batu, semua orang membicarakan batu. Tidak mengenal tempat, tidak mengenal jenis kelamin. Bahkan, orang sampai rela menggali-gali tanah dan menyelami siring hanya untuk berharap menemukan sebongkah batu.
Dulu, diawal booming, banyak orang beralih menjadi pedagang batu. Harga batu biasa jenis solar atau kecubung air pun dijual fantastis. Sampai 300 ribu/kilogram. Mengalahkan daging sapi. Padahal, jenis batu solar, bongkahan batunya hanya selevel batu pasangan talud. Kecubung Air, hanya selevel batu split untuk pasangan beton.
Begitulah luar biasa demamnya bacan, banyak orang dibuat bertingkah aneh. Menggosok-gosok batu cincin, yang tidak biasa pakai cincin mendadak bercincin, yang tidak berkalung memakai kalung.
Sampai akhirnya, pasar bosan. Ratusan manusia yang biasanya berkumpul dipinggiran jalan melihat-lihat batu, sekarang hilang. Puluhan lapak penjual batu di PKOR Way Halim tutup, menyisakan tiga lapak saja.
Sebenarnya, sah-sah saja mengambil keuntungan dalam berbisnis sesuatu yang sedang nge-trend, yang sedang booming. Hanya saja, aksi ambil untung harus cepat dilakukan karena disadari bisnis jualan seperti ini berumur pendek.
Kejelian si pelaku bisnis harus benar-benar terasah. Harus bisa membaca tanda-tanda pasar yang mulai meredup. Sehingga, belanja modal yang sudah dikeluarkan justru tidak berbalik menjadi kerugian. Sekarang, sudah jarang orang mau membeli bacan atau batu akik.
Meskipun begitu, di tengah pasar yang sedang meredup, tetap ada pedagang batu yang bertahan. Rizal (29) salah satunya. Warga Sukarame ini tetap bertahan dengan bisnis batunya. Meskipun dia menyadari bisnis ini sudah tidak seramai dulu.
Kesadaran tersebut diterjemahkan dengan hanya menjual batu-batu kelas satu. Sebut saja koleksinya Bungur Tanjung Bintang, Chalcedony, Serpentine, Ruby, dan Safir. Cara berjualannya pun tidak lagi membuka lapak pinggir jalan seperti dulu.
Dia bersama rekan-rekannya sesama penjual batu membuat perkumpulan. Dari perkumpulan ini, dia bisa mengetahui di mana digelar pameran, di mana ada yang mecari jenis batu tertentu. Selain itu, media sosial dan situs berjualan online pun menjadi sasaran untuk mempertahankan usahanya.
Dalam berbisnis, memang dibutuhkan ketekunan. Selain itu, dibutuhkan juga kreatifitas untuk menghadapi pasar yang dinamis. Meskipun dalam bisnis yang sepi, masih ada saja yang bermain dalam ceruk pasar tersebut.
Penulis: Anton Adi Wijaya