Anehnya Anak-anak Jokowi
Sebagai
Anak Orang Nomor satu negeri ini, memang aneh yang ditunjukkan anak-anak
Jokowi. Tindakannya tidak seperti dan lumrahnya anak-anak pejabat di Indonesia.
Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi malah jualan martabak. Kahiyang Ayu,
Ikut daftar CPNS tapi tidak lolos. Kalau si bungsu Kaesang Pangarep, memang
tidak terlihat seperti anak pejabat pada umumnya.
Beberapa
hari ini, media kembali digegerkan oleh sikap aneh gadis ABG anak Pejabat
negeri ini. Shafa Sabila membuat publik terhenyak. Anak Fadli Zon (Wakil Ketua
DPR) ini sedang ikut kursus tari di Amerika Serikat. Beredar surat ke KJRI
untuk memfasilitasi anak Fadli Zon. Kenapa fasilitas Negara harus diberikan
bukan pada tempatnya?.
Inilah
warisan feodal. Hasil penjajahan Belanda yang melekat kuat di kehidupan sosial
Indonesia. Belanda membagi kasta rakyat Indonesia ke dalam beberapa golongan.
Anak-anak golongan priyayi, pejabat pemerintah, mendapatkan perlakukan khusus.
Minimal, mereka ini lah yang bisa berpakaian layak dan mendapatkan pendidikan
yang juga layak. Ada perlakuan istimewa. Tradisi itu berlaku sampai sekarang.
Karpet
merah, pengawalan bahkan pelayanan mirip pejabat Negara seperti turut berhak
didapatkan anak pejabat. Bila perlu, mereka semua harus kebal hukum. Kita
ingat, anak Hatta Rajasa, Rasyid Amrullah Rajasa, yang tetap bisa bebas setelah
menabrak dua orang hingga tewas pada 2013 silam.
Ada
lagi, anak pejabat juga berhak mendapatkan jaringan bisnis dan kepentingan
karena jabatan bapaknya. Anak Mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Syarif Hasan contohnya. Riefan Avrian ditangkap karena terlibat korupsi
pengadaan videotron di kementrian yang dipimpin bapaknya. Selain dianggap
berhak mendapatkan perlakuan khusus, anak pejabat juga dianggap berhak
mendapatkan akses khusus. Misalnya, akses bisnis atau jabatan.
Aneh,
kenapa anak-anak Jokowi tidak bertingkah seperti anak-anak pejabat lainnya.
Gibran, kenapa tidak main proyek saja. Kenapa tidak memonopoli cengkeh. Toh dia
kan anak presiden. Daripada Cuma harus berjualan martabak.
Kenapa
tidak jadi Bupati saja seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Minimal, duduk di keanggotaan DPRD atau BUMD. Mengelola perusahaan yang
bisnisnya berkaitan dengan jabatan bapaknya.
Ada
lagi yang aneh dari Gibran. Kenapa istrinya tidak melahirkan di rumah sakit
Singapura atau Tiongkok saja yang lebih mewah dan lengkap. Kenapa Cuma melahirkan di RS PKU Muhammadiyah
Solo, rumah sakit level kabupaten. Bila perlu, proses kelahiran nya di siarkan
secara live dan diatur lahirnya dengan hari besar nasional.
Yang
aneh lagi memang Kahiyang Ayu. Kenapa dia tidak merengek kepada bapaknya untuk
jadi petinggi partai atau jadi anggota DPR RI saja. Toh, bapaknya punya
kekuasaan yang sangat luas. Kenapa mau ikut-ikutan berdesakan, ngantri, tes PNS
bersamaan dan malah tidak lulus. Di daerah, memo pejabat masih berlaku untuk
rekrutmen PNS. Apalagi anaknya pejabat.
Apa
yang ditunjukkan oleh anak-anak Jokowi sepertinya merupakan jawaban atas
ketidaksetujuan tradisi feodal yang terjadi di Indonesia. Anak-anak pejabat
seolah mendapatkan perlakuan yang khusus dan memang harus diperlakukan spesial.
Tapi, apa yang ditunjukkan oleh anak-anak Jokowi seolah mematahkan tradisi kuno
dan feodal yang sudah lama mentradisi.
Mereka
hidup seperti anak-anak Indonesia pada umumnya. Mandiri dengan bisnis yang
dirintis sendiri. Berjuang sendiri meniti karir. Bergaul biasa bersama
masyarakat.
Memang
benar dan tidak salah jika seorang anak pejabat menjadi sukses, hidup
berkecukupan. Semua itu sah dan boleh saja, asalkan apa yang didapat tidak
memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki oleh orang tuanya sebagai pejabat. Tidak
memanfaatkan aset negara untuk kepentingan pribadi.
Lihat
anak-anak Dahlan Iskan, Azrul Ananda menjadi petinggi Jawa Pos Group. Memang
warisan bapaknya. Tapi, Azrul memang menjauhi bersinggungan dengan bapaknya
setelah bapaknya jadi pejabat. Bertemu bapaknya di kantor PLN dan Kementrian
BUMN pun enggan apalagi mau “cawe-cawe” soal proyek.
Lihat
anaknya Prabowo Subianto. Walau Bapaknya Jenderal, Petinggi Partai, Ragowo
Hediprasetyo justru memilih menjadi penata busana di luar negeri. Bahkan,
enggan ikut-ikutan bapaknya bermain politik. Sebuah contoh melawan tradisi
feodal yang patut ditiru.