Rekonstruksi Budaya Belajar di Kampus
Rekonstruksi Budaya Belajar di Kampus; Kampus adalah laboratorium kader-kader bangsa. Tempat menempa para anak muda yang terketuk hatinya untuk membangun masa depan yang lebih cerah. Tempat mereka yang merindukan sebuah budaya yang jauh berbeda dengan lingkungan tempat tinggal. Meninggalkan kampung halaman untuk menggapai cita dan mengubah paradigma tentang kehidupan.
Bagi awam, mendengar nama mahasiswa sudah membuat salut. Kata mahasiswa identik dengan kaum intelektual, kaum yang memiliki kedalaman ilmu.
Tentu, opini tersebut akan terbantahkan jika melihat kondisi mahasiswa saat ini. Jauh panggang dari api. Mahasiswa saat ini hanya berjalan sekadarnya. Sebab, jika ditelisik lebih dalam, nyaris tak membedakan antara mahasiswa dan mereka yang tidak mengenyam pendidikan. Kalaupun berbeda, hanya sedikit.
Kritisme, responsivitas, intelektualitas dan kepekaan sosial yang dapat dibangun dengan budaya ilmiah kini mulai ditinggalkan. Sejatinya budaya ilmiah yang menjadi trade mark mahasiswa akan luntur dengan sendirinya oleh kelakuan mahasiswa itu sendiri. Bukan oleh mereka yang berada di luar kampus, melainkan oleh mereka yang membangun di dalamnya.
Komunitas ilmiah, menurut pengamatan penulis, dapat dibangun jika kepentingan mahasiswa terjawab di dalamnya. Kepentingan mahasiswa yang dimaksudkan adalah kepentingan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan akademis. Misalnya, membentuk komunitas belajar melalui diskusi dan kegiatan lainnya yang menunjang dalam menjawab tugas-tugas kampus.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa mahasiswa lebih suka menyontek hasil kerja teman lainnya. Atau dengan cara mengkopi file tugas-tugas yang telah dikerjaan. Sehingga jika ditanya, mereka sendiri tak mampu menjawab tugas yang telah mereka buat.
Ketika terjun ke masyarakat, mahasiswa akhirnya kelabakan dan bingung harus berbuat apa. Jangankan untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat, melakukan perubahan yang baik untuk diri sendiri dan keluarganya, mereka tak mampu. Tak mampu untuk menurunkan nilai-nilai akademis ke dalam realitas sosial.
Di dalam kehidupan yang mendesak seperti ini, di mana batas-batas yang menjadi aturan baku telah dihancurkan dengan perlahan. Kini, mahasiswa menghadapi persoalan yang rumit dan instan. Teknologi yang canggih memang memudahkan, tapi kemudahan tersebut milik mereka yang mengerti dan memahami teknologi. Bagi mereka yang tidak mengerti, teknologi menjadi alat yang menyulitkan dan menghambat. Efektivitas dan efisiensi yang diharapkan terkikis oleh ketidakmengertian akan teknologi.
Sekelumit pernyataan di atas, hendaknya menjadi refleksi. Karena di tangan mahasiswa itu sendirilah setiap persoalan yang ada dapat diselesaikan. Membangun budaya ilmiah adalah sebuah jawaban dari berbagai solusi-solusi lain yang dapat dituangkan dalam memecahkan masalah ini.
Mahasiswa tidak dapat sepenuhnya hanya meminta dan menerima saja setiap pelajaran dari dosen. Karena mungkin oleh keterbatasan waktu dan oleh tidak kritisnya mahasiswa menyebabkan dosen malas untuk membahas hal-hal yang krusial.
Monotonnya ruang kuliah menyebabkan dosen menjadi robot yang menampilkan atraksi-atraksi yang atraktif dan mahasiswa menjadi penonton yang tak mengerti dengan apa yang ditontonnya. Sehingga, setelah jam kuliah selesai semua kembali ke tempatnya masing-masing.
Dosen kembali ke ruang dosen dan mahasiswa kembali ke kantin. Untuk sekadar bersenda gurau dengan karib atau menjadi alternatif menghilangkan kebosanan menunggu mata kuliah selanjutnya.
Penulis yakin jika kritisme tumbuh di tubuh mahasiswa maka dosen-dosen akan terpacu dan bersemangat dalam belajar. Lalu bagaimana membangun kritisme dan budaya ilmiah di kalangan mahasiswa, terutama mengembangkan pola belajar mahasiswa?
Jika komunitas ilmiah yang telah ada mampu membaurkan diri di kalangan yang lainnya dan menjadi partner dalam menyelesaikan kepentingan-kepentingan kuliah mereka, penulis berkeyakinan bahwa langkah pendekatan tersebut adalah langkah untuk menarik mereka ke dalam budaya ilmiah. Karena saat ini, komunitas ilmiah lebih menunjukkan dirinya yang ekslusif atau tertutup bagi yang lain. Komunitas ilmiah hanya berisi mereka yang merasa pintar tapi tak mampu membuat orang lain lebih pintar dan cerdas.
Seharusnya yang menjadikan indikator mereka pintar dan cerdas adalah ketika mereka mampu menurunkan dan mengajak orang lain untuk menjadi cerdas. Langkah untuk mencerdaskan ini dapat melalui diskusi-diskusi yang telah penulis ungkapkan sebelumnya. Sebelum melakukan diskusi tentu setiap kelompok harus mempersiapkan diri dengan membaca referensi-referensi yang menunjang.
Membaca adalah sebuah kegiatan yang menjadi kewajiban bagi mahasiswa. Mahasiswa dan membaca adalah langkah awal untuk menuju budaya ilmiah. Setelah membaca, langkah selanjutnya adalah membuka forum diskusi. Forum diskusi dapat dibentuk dengan limited group. Karena, limited group ini diharapkan lebih efektif ketimbang banyak tapi tidak menghasilkan kesimpulan apa-apa. Karena biasanya ketika diskusi dilaksanakan dengan kelompok yang membludak hasil diskusi menjadi bias dan kacau.
Berangkat dari limited group yang membahas secara teoritis dan praktek terhadap kuliah-kuliah yang akan dihadapi maupun kondisi faktual yang sedang menjadi fenomena yang menarik untuk didiskusikan, akan membentuk karakter kritis dan ilmiah di kalangan mahasiswa perlahan-lahan.
Pada tataran teoritis dan praktek tersebut, pendampingan atau tutorial oleh senior sangat dimungkinkan. Karena, mereka lebih berpengalaman dan banyak belajar. Setelah itu di dalam kelas kuliah, mahasiswa harus aktif dengan mengutarakan pendapat, pemahaman dan pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya belum terjawab dalam diskusi.
Mengapa senior sering menjadi acuan? Sebab terkadang junior sering mengikuti gerak-gerik senior. Jika senior tidak mampu menjadi partner yang egaliter dan menjadi tempat bertanya bagi mahasiswa junior, ini akan memberikan pretensi negatif. Oleh sebab itu, senior harus bertanggung jawab terhadap dirinya untuk membangun citra, dengan proses-proses dan tidak berharap pada sesuatu yang instan.
Proses pendampingan penelitian hendaknya menjadi prioritas utama para dosen, bukan justru mengejar proyek dan menomorduakan mahasiswa. Karena sering, atau ada sebagian dosen yang menelantarkan mahasiswa, sehingga setumpukan bimbingan skripsi menumpuk di mejanya hingga berbulan-bulan. Mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi keluhan seperti itu.
Di sini, mahasiswa dituntut mandiri dan mengembangkan pola belajar yang sesuai dengan dirinya. Tidak terpaku dan monoton hingga memberikan kesan kaku pada proses belajar. Keilmiahan yang ditonjolkan tidak hanya milik mereka yang kuliah di eksak, tapi milik semua mahasiswa.
Oleh: Guntur Subing
Dimuat di Lampung Post, 31 Juli 2007