Breaking News

Menyoal Kembali Bahasa Lampung


Bahasa Lampung; Keinginan Pemerintah Daerah Propinsi Lampung untuk merancang perda tentang pelestarian Bahasa Lampung kembali mencuat seiring dengan diadakannya Kongres Bahasa-bahasa Daerah Wilayah Barat di Hotel Marcopolo, Bandar Lampung tanggal 12-13 November 2007.


Membicarakan eksistensi Bahasa Lampung seakan-akan tak pernah ada habisnya. Dari masa kemasa, permasalahan terletak pada yang itu-itu saja dan tak kunjung terselesaikan. Berhenti pada tataran konsep, minim sosialisasi terhadap hasil yang digodok dan selesai. (Simak Juga di :Potret Buram Bahasa-Budaya Lampung)

Menyoal Kembali Bahasa Lampung

Di tengah merebaknya budaya global yang dengan gencar menyerang sendi-sendi kebudayaan daerah khususnya di Indonesia, kesadaran kita sebagai anak bangsa pun muncul. Entah apa yang harus dilakukan lebih awal, apakah dengan melakukan tindakan preventif habis-habisan dengan menolak kehadiran budaya global tersebut atau dengan merevitalisasi internal budaya kita, khususnya bahasa daerah. (Simak Juga: Kebudayaan Lampung, Ber-evolusi atau Mati Suri ?)

Bahasa Daerah Lampung sebagai salah satu identitas Budaya Indonesia di indikasi rawan dan mendekati kepada kepunahan. Tentu masalah ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pasrah kepada keadaan dan membiarkannya larut dalam pergulatan masalah tersebut.

Saya ada sedikit cerita, yang mungkin saja dapat dijadikan masukan dalam wacana kongres bahasa daerah ini. Di kampung saya, Desa Raja Basa Lama, Lampung Timur, pada tahun 90an pernah terjadi kehebohan. Pasalnya ada seorang murid TK yang ditertawakan oleh teman-temannya karena salah menyebut “kepala” dalam Bahasa Indonesia.

Menurut kebiasaan, sang guru pun mengajarkan nama-nama anggota tubuh manusia kepada seluruh murid. Setelah proses itu dilalui, kemudian sang guru menanyakan kepada satu per satu murid untuk menyebutkan nama anggota tubuh yang ditunjuk oleh sang ibu guru.

Tibalah giliran sang murid, sebut saja Udin. Dan sang ibu guru pun menunjukkan jari telunjuknya kearah kepala sembari berkata “ apa ini din..?”. merasa dirinya ditanya, kontan saja Udin menjawab “Ulu..” dengan polosnya. Tertawalah semua yang ada di ruangan itu karena Udin menjawab dengan Bahasa Lampung. Dimana “Ulew atau Ulu” berarti “kepala”. Udin pun malu dan mengadu kepada orang tuanya.

Cerita itu pun merebak ke seluruh kampung dan menjadi cerita yang serius. Bagaimana tidak, para orang tua sangat berharap sekali anak-anak mereka menjadi orang yang pandai dan berprestasi di sekolah. Dan untuk menyerap pelajaran di sekolah, mereka harus mengerti Bahasa Indonesia karena di sekolah bahasa pengantar yang di pakai adalah Bahasa Indonesia.

Sehingga pada akhirnya satu per satu para orang tua –walau tidak semua-- tidak lagi berkomunikasi dengan anak-anaknya hingga remaja dengan menggunakan Bahasa Lampung, tetapi dengan Bahasa Indonesia. Selanjutnya kebiasaan itu pun terjadi terus menerus dan kebanyakan menjadi berbahasa Lampung pasif. Dan itupun terjadi bukan hanya di kampung saya, fenomena itu merebak dan hampir di setiap kampung Orang Lampung melakukan hal yang sama.

Kesadaran untuk berbahasa Lampung di kalangan remaja saat ini sangat kurang. Hanya sebagian saja yang tetap berkomunikasi dengan Bahasa Lampung. Ada juga yang berbicara dengan bercampur baur antara bahasa lampung dan bahasa Indonesia. Misalnya saya dulu pernah mendengar seorang remaja yang berbicara “kamu orang dang ngakuk jambu itu kidah, nanti saya yang kena marah” katanya kepada teman-temannya.

Lucu memang, tapi di balik kelucuan tersebut membuat hati kita miris. Inikah nasib Bahasa Lampung di tengah-tengah masyarakatnya sendiri. Ia asing di negeri sendiri. Ia terpinggirkan di negeri sendiri. Ia malu di negeri sendiri. Hilang kepercayaan diri dan mulai untuk beranjak pergi.

Lain halnya dengan pelajaran Bahasa Lampung. Pada saat saya SD dulu, guru Bahasa Lampungnya bukan Orang Lampung, yang tentu saja tidak begitu pandai berbahasa Lampung. Perbendaharaan katanya sedikit dan jarang sekali berbahasa Lampung sehingga transfer pelajarannya mengulang-ulang dari yang kemarin-kemarin.

Begitu juga pada saat SMP, namanya pelajaran Bahasa Lampung dan hampir 90% menggunakan Bahasa INDONESIA. Jarang sekali mendengar full atau 50% menggunakan Bahasa Lampung.

Kebanyakan berkutat pada tulis menulis dan anehnya lagi tak ada yang mengerti karena mayoritas muridnya adalah dari etnis jawa. Sehingga kami yang murid-murid Etnis Lampung jadi sasaran. Biasanya disebut dengan “kamus berjalan”. Untuk membuat kalimat saja kami menjadi tempat bertanya kata per kata. Atau lebih kerennya lagi kami menjadi “penerjemah” dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Lampung.

Ada lagi wacana yang pernah dilontarkan oleh salah satu Ibu Yayasan di Sekolah Tunas Mekar Indonesia, bahwa sulit berkembangnya Bahasa Lampung karena Bahasa Lampung hanya bisa di pakai untuk lokal Lampung, berbeda dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang bisa menasional dan “go international”. Yang memang skill untuk kedua bahasa tersebut sangat dibutuhkan di era global saat ini. Ini adalah wacana yang baik untuk dicarikan pemecahannya. Dan memang sesuai dengan kebutuhan untuk menggapai masa depan yang lebih kompetitif.

Dari sedikit cerita di atas, dapat diambil hikmah bahwa pembenahan untuk melestarikan Bahasa Lampung harus ada sinkronisasi antara kehidupan sehari-hari, kehidupan di sekolah dan kehidupan masa depan.

Dari dalam keluarga mereka, harus diajarkan atau diajak untuk berkomunikasi dengan Bahasa Lampung. Tanpa kita harus ketakutan bahwa sang anak akan salah menyebut sesuatu dalam Bahasa Indonesia dengan menyebutnya dalam Bahasa Lampung. Toh juga, banyak anak-anak dari entis lain yang melakukan hal yang sama. Bahkan lebih bangga menggunakan bahasa daerahnya.

Dari dalam keluarga, berangkat ketingkat masyarakat umum. Saya rasa Orang Lampung memang sangat toleran dalam segala hal kecuali masalah agama. Semua bisa didiskusikan termasuk penggunaan bahasa sehari-hari, tetapi masalah agama, Islam harga mati.

Untuk saat ini, Bahasa Lampung harus lebih familiar di tengah-tengah masyarakat umum. Baik melalui komunikasi langsung maupun mendengarkan dan menyaksikan musik dan acara-acara Lampung di radio dan televisi. Atau juga dapat seperti laras bahasa yang pernah saya lihat di Jogjakarta Televisi, yang setiap waktu memunculkan satu kata dalam tiga bahasa. Contohnya : jaran = bahasa jawa, kuda = bahasa Indonesia, horse = bahasa inggris. Menarik dan lumayan untuk menambah perbendaharaan kata.

Begitu juga dengan surat kabar yang menyediakan kolom khusus dalam menggunakan Bahasa Lampung. Karena media-media ini sangat membantu dalam proses familiarisasi bahasa daerah kepada masyarakat luas. Dan mungkin nanti dapat di jadikan referensi dalam pelajaran Bahasa Lampung di tingkat sekolah.

Untuk pelajaran Bahasa Lampung di sekolah-sekolah, sudah saatnya kini menggunakan pola yang lebih baik. Seperti Bahasa Inggris, Bahasa Lampung juga mempunyai gaya pengungkapannya, tata bahasa, perbendaharaan kata, kemampuan mendengar dan kemampuan untuk bercakap-cakap.

Pola ini harus dimapankan kembali dengan pola pembelajaran yang sungguh-sungguh. Artinya, guru harus lebih banyak berkomunikasi dengan Bahasa Lampung dengan murid dan menyediakan kamus Bahasa Lampung yang lebih banyak di sekolah-sekolah. Karena salah satu kendala saat ini adalah kurangnya kamus Bahasa Lampung dan cara belajarnya.

Mudah-mudahan, tulisan ini ada manfaatnya dan menjadi bahan refleksi bersama untuk mencari pemecahan yang lebih baik. Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk melestarikan Bahasa Lampung ke depan.

Menyoal Kembali Bahasa Lampung
Oleh: Guntur Subing
Dimuat di Harian Lampung Post, 2007