Breaking News

Kewirausahaan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat


Kewirausahaan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat; PADA tahun 2000, Indonesia bersama-sama 188 negara anggota PBB lainnya membuat kesepakatan Deklarasi Milenium yang menitikberatkan pada Millenium Development Goals (MDG's) atau Tujuan Pembangunan Milenium. Di mana program MDG's memiliki delapan sasaran dalam mengurangi jumlah penduduk miskin pada tahun 2015.


kewirausahaan sosial dan pemberdayaan masyarakat

Kedelapan sasaran tersebut antara lain, pertama, kemiskinan dan kelaparan. Kedua, pendidikan dasar. Ketiga, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Keempat, mengurangi kematian balita. Kelima, meningkatkan kesehatan ibu. Keenam, memerangi HIV/AIDS, malaria dan lainnya. Ketujuh, melestarikan fungsi lingkungan hidup. Kedelapan, membangun kemitraan global untuk pembangunan.

Dari delapan sasaran tersebut, pada tahun 2007 Indonesiamasih saja tetap dinyatakan sebagai salah satu negara yang tidak konsisten dengan pencapaian-pencapaian tersebut bersama-sama dengan tujuh negara-negara miskin lainnya.

Sebagai daerah yang tergolong miskin, Provinsi Lampung adalah salah satu daerah yang banyak menyumbang tingkat kemiskinan penduduk Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung berdasarkan data BPS naik 88.100 dalam kurun waktu 21 bulan (bulan Juli 2005--Maret 2007) atau menjadi 1,6 juta penduduk (22,19%) pada bulan Maret 2007 dari 1,5 juta (21,42%) pada bulan Juli 2005 (Lampung post, 19 Agustus 2007).

Penyebab utama dari semakin bertambahnya jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung adalah peran pemberdayaan tersebut yang tidak mengembangkan pola perubahan paradigma dan memberikan akses yang luas bagi perkembangan kreativitas masyarakat miskin.

Untuk saat ini, kepercayaan lembaga-lembaga keuangan untuk memberikan kredit kepada pengusaha kecil dan orang-orang miskin dapat dikatakan rendah. Tingkat kepercayaan dan tertutupnya akses untuk mendapatkan dana pengembangan usaha yang dimilikinya dapat disebut sebagai penghambat berkembangnya UKMK dan meningkatnya jumlah penuduk miskin di Provinsi Lampung.

Hal ini adalah dilema, sebab di atas garis kemiskinan yang menyelimuti Provinsi Lampung, terdapat banyak pengusaha-pengusaha besar yang justru menikmati pembangunan dan fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah. Kemudahan untuk melakukan akses dan mendapatkan dana yang cukup besar bagi mereka menyebabkan semakin timpangnya jumlah penduduk miskin dan orang-orang kaya.

Pembangunan ekonomi yang tinggi pun tidak terlepas dari ketimpangan tersebut, sebab pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui angka-angka statistik hanya mampu dinikmati pengusaha-pengusaha besar, tidak oleh UKMK apalagi masyarakat miskin.

Corporate Social Responsibility (CSR) (Artikel terkait : Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) yang diharapkan mampu memberikan pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitarnya adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan, di mana tujuan perusahaan ialah memaksimumkan laba. Lalu bagaimana dengan perusahaan yang tidak mendapatkan laba? Apakah CSR tersebut akan hilang dengan sendirinya, hingga peran pemberdayaan kepada masyarakat lalu luntur?

Muhammad Yunus yang memperoleh Nobel Perdamaian tahun 2006, yang berperan aktif melawan kemiskinan melalui Program Grameen Bank untuk pengemis tahun 2003 di Banglades mengungkapkan bahwa CSR adalah bentuk usaha yang dipromosikan korporasi pemburu laba. Sangat berbeda dengan konsep Bisnis Wirausaha Sosial atau Social Business Enterpreneurship(SBE) yang diterapkannya.

Dasar SBE adalah kesadaran sosial, bukan maksimalisasi laba. Kalau ruang untuk kesadaran itu dibuka, banyak persoalan sosial bisa diatasi dan kehidupan bisa diarahkan ke taraf perdamaian, kesetaraan, keadilan serta kreativitas yang lebih tinggi (Kompas, 12 Agustus 2007).

Terlepas apakah CSR dan SBE sebagai bentuk perusahaan yang berubah menjadi agen perubahan sosial maupun pemerintah dan perseorangan yang berusaha untuk melakukan pengentasan kemiskinan, tidak akan bisa menjawab semua persoalan yang ada jika tetap memandang masyarakat miskin sebagai beban negara bukan sebagai aset negara.

Memperlakukan masyarakat miskin sebagai aset negara adalah dengan upaya memberikan dukungan bagi mereka dalam mengembangkan kemampuannya dalam mengelola uang. Mengubah paradigma mereka tentang bagaiman memanfaatkan aset yang mereka miliki dan mana yang semestinya disebut dengan aset dan mana yang disebut dengan biaya. Sehingga mereka mampu meminimalisasi cost yang dimiliki.

Jika masyarakat miskin dibiarkan dan ditelantarkan maka bukan maksimalisasi pendapatan yang akan diperoleh pemerintah melainkan justru opportunity cost-nya semakin meningkat. Semakin tinggi biaya maka semakin rendah pendapatan yang diperoleh. Oleh sebab itu, PAD yang rendah menyebabkan daerah tersebut tersendat-sendat dalam melakukan kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya.

Kewirausahaan sosial adalah bentuk pemberdayaan yang tidak meletakkan masyarakat miskin sebagai objek untuk diberikan nafkah. Kewirausahaan sosial berupaya untuk menjadikan masyarakat miskin untuk mudah dalam mendapatkan akses, baik dana, fasilitas maupun pelatihan-pelatihan untuk pengembangan usahanya.

Pinjaman lunak dengan pemberlakuan terhadap mereka yang memang betul-betul membutuhkan. Yang menjadi penekanan adalah bentuk kewirausahaan sosial tersebut tidak berhenti pada tataran memberikan uang tapi memfokuskan pada memberikan ilmu pengetahuan.

Untuk memberikan ilmu pengetahuan yang mantap, masyarakat perlu diberikan pendidikan dasar sebagaimana juga telah menjadi sasaran MDG's. Sehingga semuanya berjalan berkesinambungan dan tetap belajar dari pergulatan-pergulatan yang panjang untuk memperolah hak asasi manusia sebagai manusia yang merdeka.

Kewirausahaan sosial harus memberikan arah partisipasi masyarakat tentang kesadaran untuk mengubah nasib. Tudingan tentang kemalasan dan kebodohan adalah bentuk kambing hitam yang tidak pernah selesai dari masa ke masa. Dan harus dieliminasi dari benak masyarakat miskin.

Dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), raskin dan masih banyak lagi program-program bantuan lainnya semakin membuat sebagian masyarakat merasa terabaikan dikarenakan tidak tepat sasaran.

Selain itu, masyarakat miskin yang menjadi objek dari program-program tersebut diposisikan sebagai pihak yang harus menerima dan berpangku tangan. Tanpa adanya upaya untuk mengubah paradigma masyarakat miskin untuk berperan aktif dalam mengembangkan kreativitas yang dimilikinya.

Peran untuk mengubah paradigma tersebut melalui pendidikan dasar dengan memberikan keringanan dalam hal pendidikan belum menemukan titik optimum. Pendidikan dasar yang menjadi acuan utama pemerintah dalam menerapkan wajar sembilan tahun selalu mendapatkan kendala, sehingga melahirkan dana BOS yang sampai saat ini masih saja diselewengkan pihak yang tidak bertanggung jawab.

Pemberdayaan masyarakat adalah bentuk kerja sosial yang tidak berhenti pada tahap memberikan dana bantuan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk melakukan bimbingan dan arahan bagi masyarakat miskin dengan pola mengembangkan kreativitas yang dimilikinya.

Sehingga masyarakat mampu bangkit dengan kemandirian, bukan dengan berpangku tangan dan mengharapkan sekoper uang hadir di atas meja makan tanpa usaha dan kristalisasi keringat yang tinggi.

Oleh: Guntur Subing
Dimuat di Harian Lampung Post, 10 September 2007