Fidusia Kendaraan Bermotor ; Sebuah Ulasan
Semakin berkembangnya kebutuhan akan kendaraan bermotor juga tidak bisa dilepaskan dari beragam permasalahan yang timbul sebagai akibat dari konsekuensi bisnis yang terjadi. Maraknya pembelian kendaraan bermotor di Indonesia juga disebabkan oleh merebaknya Perusahaan-perusahaan pembiayaan (leasing). Untuk menjawab segala akibat hukum yang ditimbulkan dari proses yang terjadi pada masyarakat dan untuk memberikan keadilan bagi debitur dan kreditur maka diaturlah didalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Kapolri dan aturan-aturan lain dibawahnya.
Untuk memberikan keadilan dan menengahi apabila terjadi sengketa yang timbul maka UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dikeluarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
Fidusia menjadi pokok perdebatan manakala terjadi selisih paham diantara kedua belah pihak. Fidusia telah menjadi isu nasional, dimana tindakan-tindakan yang dilakukan pihak eksekutor leasing dianggap telah melakukan tindakan pidana dan merugikan debitur. Di dalam UU No. 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa debitur disebut sebagai Pemberi Fidusia dan kreditur (perusahaan leasing) sebagai Penerima Fidusia. Definisi fidusia sendiri menurut Undang-undang adalah sebagai berikut:
Dalam prosesnya fidusia harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia dan diterbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia . Prosesi pendaftaran fidusia telah diatur didalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Setelah didaftarkan maka Penerima Fidusia memiliki kekuatan untuk melakukan tindakan apabila terdapat cidera janji yang dilakukan oleh debitur (konsumen/nasabah) sesuai dengan pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999:
Selanjutnya;
Yang menjadi titik persoalan selama ini adalah siapa yang berhak untuk melakukan eksekusi apabila terjadi cedera janji yang dilakukan oleh debitur. Selama ini sebagian besar perusahaan leasing telah mendaftarkan fidusia sesuai ketentuan yang telah ditetapkan, namun timbul permasalahan ketika terjadi eksekusi dilapangan. Berikut penjelasan UU No. 42 Tahun 1999 pasal 15:
Salah satu sumber dari Hukum Online mengungkapkan sebagai berikut:
Selanjutnya:
Untuk mengatur perdebatan secara meluas siapa sebenarnya yang berhak untuk melaksanakan eksekusi maka Mabes Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Kedudukan Personel Polri disini bersifat pengamanan dari jalannya eksekusi terhadap objek fidusia. Pihak Penerima Fidusia (leasing dan sebagainya) bisa melakukan eksekusi sendiri secara langsung atau menunjuk pihak ketiga untuk melakukan eksekusi.
Tujuan dari Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia menurut Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2011 adalah;
Selanjutnya persyaratan untuk melakukan pengamanan terhadap pelaksanaan eksekusi adalah sebagai berikut:
Dalam hal ini keterlibatan pihak ketiga yang diminta oleh Penerima Fidusia untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang dijaminkan fidusia dan memerlukan pengamanan pihak kepolisian maka diminta untuk melampirkan perjanjian kerja sama eksekusi sebagaimana dijabarkan pada pasal 9 berikut:
Dari penjelasan diatas sudah terang benderang bahwa pihak Penerima Fidusia (kreditur) berhak untuk melakukan eksekusi langsung sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku apabila Perjanjian Fidusia tersebut telah didaftarkan dan memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia yang telah diatur didalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Dan apabila dalam pelaksanaan eksekusi membutuhkan bantuan pengamanan pihak kepolisian maka dapat mengajukan kepada pihak kepolisian setempat. Yang menjadi permasalahan adalah ketika tidak didaftarkanya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut sehingga melemahkan kekuatan hukum dari Penerima Fidusia dan gugatan atas pelaksanaan eksekusi bisa saja timbul dari kedua belah pihak.
Catatan penting lainnya adalah permasalahan etika dalam menjalankan eksekusi. Kebanyakan yang menjadi keresahan di lapangan adalah pihak eksekutor yang bertindak bak preman dan menyalahi etika yang dibenarkan dalam menjalankan proses eksekusi. Sehingga jalannya eksekusi seperti tindakan perampasan dan menyakiti perasaam Pemberi Fidusia.
Baca Juga : Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Fidusia Atas Objek Yang Di Eksekusi
Catatan penting lainnya adalah permasalahan etika dalam menjalankan eksekusi. Kebanyakan yang menjadi keresahan di lapangan adalah pihak eksekutor yang bertindak bak preman dan menyalahi etika yang dibenarkan dalam menjalankan proses eksekusi. Sehingga jalannya eksekusi seperti tindakan perampasan dan menyakiti perasaam Pemberi Fidusia.
Baca Juga : Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Fidusia Atas Objek Yang Di Eksekusi