Breaking News

BBM, Energi Alternatif, dan Krisis


BBM, Energi Alternatif, dan Krisis; PADA kolom Tajuk, Lampung Post menuliskan belum sembuh benar kesulitan rakyat akibat kenaikan bahan bakar minyak, akhirnya Senin (5-5), pemerintah memastikan kembali menaikkan BBM dengan kisaran 20%--30%. Kabar kenaikan harga BBM sebenarnya sudah beredar sejak beberapa bulan lalu, sejak harga minyak mentah dunia menembus 100 dolar AS per barel, bahkan Rabu kemarin sudah melampaui 120 dolar. (Lampung Post, 8 Mei 2008).


BBM dan Energi Alternatif

Permasalahan klasik tersebut, kini berulang setelah beberapa tahun terakhir tidak terdengar berita kenaikan harga BBM. Sudah dipastikan setiap terjadi isu tentang kenaikan harga BBM, kondisi kalangan grass root amburadul dan acak-acakan. Rakyat berhamburan untuk mencari BBM dan bahan pokok lain untuk memenuhi kebutuhannya agar tidak ketinggalan dan kehabisan.

Kondisi harga minyak dunia memang tidak bersahabat, belum lagi diimbangi dengan resesi ekonomi AS yang diperkirakan memiliki imbas resesi secara global. Akankah polemik ini akan berkepanjangan dan menyebabkan krisis global dan berdampak sosial yang mencekam?.

BBM sebagai kebutuhan pokok masyarakat dunia mengalami gejolak akibat permintaan yang begitu besar sedangkan pasokan yang tersedia tidak mampu untuk menampung kebutuhan tersebut. Ketergantungan terhadap BBM yang begitu besar berimplikasi buruk terhadap kehidupan manusia, dalam hal ini rakyat kecil yang sebagian besar hidup di negara sedang berkembang mengalami implikasi yang paling mengerikan.

Sedikit me-review ke belakang, kenaikan harga BBM Oktober 2005 telah melahirkan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi rakyat Indonesia, terutama kelas menengah. Menurut catatan LPEM-FEUI, dengan adanya kenaikan harga BBM, kelas menengahlah yang terkena dampak cukup berat. Karena rumah tangga miskin justru terproteksi dengan adanya kompensasi BBM, mengingat tiga hal:
Pertama, pangsa konsumsi langsung BBM relatif kecil. Kedua, konsumsi komoditas yang sensitif terhadap kenaikan BBM pun relatif kecil seperti pengeluaran untuk transportasi. Ketiga, komoditas yang dominan dalam pola konsumsi rumah tangga 40% terbawah, yaitu beras sebetulnya juga tidak bergerak banyak karena harga komoditas ini dijaga pemerintah dan kenaikan harga BBM dilakukan pada saat siklus harga beras turun.

Pada sisi yang lain, kenaikan harga BBM tahun 2005 juga telah menyebabkan dunia usaha menaikkan biaya produksi 15%--20%. Dengan naiknya biaya produksi ini menyebabkan dunia usaha, terutama pada sektor mikro mengalami depresi yang berat untuk lebih berkembang. Kondisi ini diimbangi pula dengan kenaikan TDL (tarif dasar listrik) pada 2006 sehingga berimplikasi terhadap peningkatan biaya produksi setidaknya 40% lebih.

Kenaikan TDL juga pada waktu itu berdasar pada imbas atas naiknya harga BBM, yang diperkirakan biaya BBM yang digunakan pembangkit PLN Rp51 trilyun, sedangkan subsidi yang ada dalam APBN hanya Rp15 trilyun.

Begitu eratnya keterkaitan antara BBM dan kebutuhan pokok lain sehingga kenaikan BBM diimbangi pula dengan kenaikan harga-harga yang lain. Sedangkan dengan pola konsumsi masyarakat yang sama, tidak akan seimbang dengan pendapatan dan biaya yang muncul. Kondisi kemiskinan akan terus bertambah jika tidak ada inovasi lain dalam menuntaskan permasalahan tersebut.

Perhatian dunia terhadap energi alternatif substitusi BBM telah jauh hari muncul ke permukaan, tapi kondisi tersebut belum stabil dan optimal. Energi alternatif substitusi BBM yang ditawarkan terdiri dari biofuel atau bioenergi, tenaga surya, energi arus laut dan energi-energi lain.

Energi alternatif yang dapat dikatakan lebih murah adalah batu bara dan gas. Inovasi Pemerintah DKI Jakarta yang mengonversi BBM ke tabung gas adalah inovasi yang baik. Mengingat bahan baku dan ketersediaannya yang cukup memadai untuk Indonesia dan merupakan contoh konkret dalam mengatasi krisis BBM.

Belum meratanya konversi ke tabung gas di seluruh Indonesiadapat dikatakan sebagai akibat layak atau tidak masyarakat secara menyeluruh menggunakan bahan bakar gas di rumah tangga. Disebabkan faktor kebiasaan dan keterbatasan akses yang mungkin untuk beberapa tahun ke depan membutuhkan kejelian pemerintah daerah dalam merespons kebutuhan masyarakat kecil.

Ketersediaan energi alternatif yang membutuhkan bahan bakusingkong, jagung, jarak dan bahan pangan lain memiliki kesan dan dampak lain terhadap krisis yang lain. Kebutuhan masyarakat akan bahan pangan dan kebutuhan dunia akan energi alternatif saling tarik dan menghilangkan kebutuhan yang lain. Ketidakseimbangan ini berakibat krisis baru yakni krisis pangan.

Krisis global yang terjadi selama ini ibarat lingkaran setan yang berputar dan pada tiap putarannya memiliki masalah baru dan melahirkan masalah-masalah yang lain dan begitu seterusnya. Kebergantungan rakyat Indonesiayang begitu besar terhadap pemerintah menggambarkan begitu tidak mandirinya Rakyat Indonesia. Secara perlahan, sudah selayaknya kita hidup mandiri dan tidak manja dengan subsidi pemerintah.

Kedaulatan pangan, kolektivitas usaha kelompok mandiri masyarakat desa dan perkotaan, pengembangan ekonomi lokal, penguatan basis pertanian, kelautan, kewirausahaan, peningkatan derajat kesehatan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia belum sepenuhnya tuntas dan terealisasi dengan baik.

Lalu, di mana sebenarnya penguatan basis kerakyatan yang dapat dinikmati masyarakat secara menyeluruh. Peningkatan sumber daya manusia yang tersendat-sendat memang dilema, rakyat dihadapkan pada krisis, tapi sumber daya alam yang melimpah tidak mampu untuk dikembangkan dan didayagunakan dengan baik.

Teknologi yang berkembang tindak menyentuh ke bawah dan tidak dapat dinikmati secara permanen oleh petani padahal suara peningkatan kawasan agronomi, agroindustri, agropolitan selalu didengar.

Ketergantungan terhadap subsidi pemerintah yang berlebihan dan penentuan kebijakan yang tidak dikawal secara berkesinambungan, mengindikasikan pemerintah lebih bertumpu pada kiss and run terhadap kebijakan yang dibuat. Era otonomi daerah seharusnya menjadi kekuatan bagi pengembangan ekonomi lokal dan peningkatan kemandirian masyarakat.

Pemda memiliki kebijakan otoritas yang strategis dalam penyusunan anggaran dan pembangunan. Harus ada sebuah rencana pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development) dan skala prioritas pada sektor-sektor yang memiliki potensi besar bagi laju gerak perekonomian daerah. (Zulkarnain, Lampost, 8 Mei 2008)

Pembangunan yang berkelanjutan diarahkan kepada kemandirian bangsa yang bertumpu pada back to basic. Sebagaimana diketahui, basic yang dimiliki Indonesiaadalah agraris dan maritim maka pengembangan ekonomi lokal adalah dengan berpijak pada potensi pertanian dan kelautan.

Untuk mengembangkan basic ekonomi kerakyatan tersebut adalah dengan mengembangkan industri berbasiskan pertanian dan kelautan. Industri kerakyatan yang berpihak dengan kondisi sosial geografis masyarakat Indonesia. Dengan kekuatan dan peluang yang dimiliki tersebut masyarakat diberikan kesempatan untuk sampai pada tingkat pengolahan barang primer ke barang sekunder sehingga produksi yang dihasilkan mengalami pertambahan nilai dan nilai jual yang lebih tinggi.

Jika penguatan basic yang kuat telah tertanam di setiap individu, pencabutan subsidi terhadap sektor-sektor yang tersedia memiliki harapan dengan kesiapan masyarakat menghadapinya sehingga tidak terkejut dan gelagapan ketika mendengar isu kenaikan harga BBM.

Dalam rangka menghadapi krisis pangan dan keuangan secara global ini ditambah lagi dengan tingkat kemiskinan yang makin tinggi, penguatan awal adalah dengan pengelolaan zakat yang lebih intensif. Butuh kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengelolaan zakat. Zakat yang tersedia disalurkan kepada masyarakat produktif guna memberikan stimulan dan umpan balik dalam produktivitasnya.

Pengelolaan zakat yang lebih produktif dengan usaha pendampingan berkelanjutan terhadap mereka yang menerima zakat. Pendampingan tersebut diusahakan agar tepat sasaran dan tepat guna. Selain itu, ada upaya serius untuk mengubah situasi menjadi bukan penerima zakat, tapi ia berubah menjadi orang yang mengeluarkan zakat.

Penyaluran zakat hendaknya tidak tebang pilih dan salah sasaran, tetapi penyaluran tersebut memang betul-betul kepada mereka yang membutuhkan. Zakat untuk kemiskinan adalah pilihan yang selama ini dilaksanakan setengah-setengah sehingga hasilnya pun setangah-setengah.

Selain zakat, dana CSR yang mengendap di perusahaan adalah alternatif lain yang dapat digunakan penyaluran dana produktif kepada masyarakat. Daripada mengendap dan tidak tepat sasaran alangkah baiknya jika CSR tersebut disalurkan kepada pihak ketiga sebagai penyalur dan pengelola dana serta pendamping masyarakat miskin.

Oleh: Guntur Subing
Dimuat di Harian Lampung Post, 13 Mei 2008