Potret Buram Bahasa-Budaya Lampung
Potret Buram Bahasa-Budaya Lampung ; Budaya daerah adalah akar kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional tidak akan pernah ada jika tidak didukung kebudayaan daerah. Kemestian melestarikan kebudayaan daerah inilah yang menjadi motivasi dan inspirasi untuk survive-nya sebuah kebudayaan agar eksis dalam masyarakat plural.
Yasraf Amir Piliang mengungkapkan dalam konteks Indonesia, "narasi-narasi kecil" sebagaimana yang dikatakan Lyotard, perlu diberi hak hidup. Narasi-narasi kecil ini dapat berupa kelompok-kelompok kesukuan, agama, ras, keprofesian, LSM, dan sebagainya. Indonesia sebenarnya kaya dengan narasi-narasi kecil. Ia mengambil contoh sistem kepemerintahan nagari di Minangkabau dan sistem subak di Bali. Orde Baru mengikis semua narasi kecil yang bersifat plural ini, sehingga semuanya serba seragam.
Contohnya, yang ada adalah dengan sistem pemerintahan yang diberlakukan Orde Baru, yakni dari tingkat bawah sampai tingkat atas. Di tingkat bawah kita mengenal desa, hampir di seluruh Indonesia menyebutnya desa. Padahal, kalau ditinjau dari perspektif orang Lampung tingkat desa disebut dengan kampung, pekon, anek atau tiuh. Dari segi bahasa ini orang Lampung sudah kehilangan satu poin tentang kebudayaan yang dimilikinya. Bersyukur sudah diberlakukan lagi seperti di Lampung Barat dan Tanggamus dengan menyebut pekon.
Mengutip Selo Sumarjan dalam artikelnya "Kolonialisme, Feodalisme, Demokrasi" sebenarnya di tingkat perdesaan kita mengenal sistem rukun kampung dan rukun tetangga yang semula ditetapkan di Yogyakarta pada masa Sultan Hamengku Buwono IX. Sistem rukun kampung dan rukun tetangga itu semula diadakan di Kota Yogyakarta saja. Setelah Indonesia merdeka, sistem rukun kampung dan rukun tetangga itu disebarkan di seluruh Indonesia dan sampai sekarang menjadi bagian yang tidak terpisahkan lagi dari pemerintahan kelurahan di kota dan pemerintahan desa di luar kota.
Kondisinya jelas berbeda dengan adat istiadat Lampung. Setiap anek, pekon, kampung atau tiuh memiliki corak yang berbeda karena mereka memiliki sistem atau hukum adat masing-masing dalam marga atau migo atau kebuayan. Dalam kampung itu sendiri mereka memiliki penyimbang-penyimbang adat, yang membawahkan masyarakatnya atau sistem kekeluargaannya yang telah turun temurun dari dulu kala.
Inilah khazanah budaya Lampung. Setiap masyarakat memiliki hukum adat masing-masing, baik dalam acara perkawinan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring berjalannya waktu, semuanya terkikis habis dan hanya tersisa saat melaksanakan perkawinan. (Simak juga : Kebudayaan Lampung, Ber-evolusi atau Mati Suri ?)
***
Sebagai orang Lampung, saya bahagia dengan dibukanya Program D-3 Pendidikan Bahasa Lampung di Unila. Selain itu pembelajaran bahasa Lampung juga telah dijadikan mata pelajaran pada SD dan SMP di samping kain tapis yang merupakan ciri khas Lampung. Begitu juga dengan Lampung Post (Pah Bubahasa Lappung) yang telah bekerja sama dengan Program D-3 Bahasa Lampung dengan menerbitkan cerita-cerita rakyat Lampung dan wacana kelampungan dalam dua bahasa dan juga menggunakan aksara lampung. (Simak Juga: Menyoal Kembali Bahasa Lampung)
Memang, semua itu tidak sepenuhnya menawarkan kelancaran berbahasa Lampung kepada para siswa. Tetapi, setidaknya apa yang telah dikerjakan tersebut merupakan suatu ikhtiar dalam melestarikan bahasa dan budaya Lampung.
Bahasa ibarat penguasa. Presiden Sukarno adalah sebuah contoh bagaimana dengan kemampuannya berkomunikasi melalui bahasa tubuh dan lisannya mampu memukau rakyat Indonesia. Andai saja Soekarno tidak memiliki gaya bahasa yang berbeda dengan kebanyakan orang, dia tak akan mungkin menjadi orang besar yang karismatik.
Masalahnya, bagaimana orang mau mengenal, apalagi familier dengan bahasa Lampung jika orang Lampung sendiri jarang berbahasa Lampung. Apalagi kini anak Lampung sudah diajarkan bahasa Indonesia oleh orangtuanya dan tidak diajarkan untuk berbahasa Lampung.
Akibatnya, seperti yang diungkapkan dalam Adat Istiadat Daerah Lampung (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), bahasa Lampung ini sekarang hanya merupakan bahasa kerabat yang terbatas pemakaiannya, hanya dipakai di rumah, di kampung-kampung penduduk asli antarsesamanya, dan waktu permusyawaratan adat. Banyak anak-anak muda Lampung di kota-kota besar sudah tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya. Mereka hanya memakai bahasa nasionalnya.
Banyak orang yang bilang kalau bahasa Lampung itu sulit dipelajari, di samping pengungkapannya yang berbeda dengan bahasa Indonesia, bahasa Lampung juga memiliki perbedaan yang signifikan dengan bahasa-bahasa yang ada di Sumatera atau bahasa Melayu kebanyakan. Padahal, buku yang dikeluarkan Depdikbud, bahasa Lampung sesungguhnya adalah bahasa Melayu juga. Tetapi, karena dialek bahasanya agak lain, lebih mudah memahami bahasa daerah Sumatera Selatan atau Minangkabau daripada memahami bahasa Lampung atau bahasa Batak.
Dalam peta bahasa daerah Indonesia, bahasa Lampung merupakan dialek yang termasuk pula dialek Rejang Bengkulu. Kebiasaan berbahasa yang keras dan menyentak memberikan kesan orang Lampung kalau berbicara seperti orang yang sedang marah. Efek ini menimbulkan persepsi orang Lampung itu tempramental.
Bagi penulis, orang Lampung tak perlu takut dengan keadaan demikian, sudah saatnya kita membangun kembali bahasa-budaya Lampung. Jangan sampai bahasa ini hanya tinggal sejarah, sirna di persimpangan jalan. Anak-anak Lampung sekarang harus diajarkan berbahasa Lampung dengan mengajaknya berkomunikasi dengan bahasa Lampung sejak dini.
Tidak perlu malu dengan logat yang mengayun-ayun panjang-pendeknya disertai sentakan. Itulah ciri khas kita karena logat adalah ciri khas setiap suku bangsa. Jadi, bukan Lampung saja yang seperti itu, orang Jawa juga punya ciri khas kalau berbicara bahasa Indonesia, begitu juga orang Sunda, Minang, Aceh, Batak, Ambon, Betawi, Makassar, dan lain-lain.
Sekiranya anak Lampung diajarkan dengan etika-etika Lampung--seperti sakai sambayan, nemui nyimah, nengah nyappur, piil pesenggiri, dan bejuluk beadek--yang kini salah dipersepsikan dan disimpangsiurkan makna filosofis yang sebenarnya.
Kalau pengaruhnya adalah dari luar, sudah saatnya kita melakukan filterisasi budaya asing yang masuk. Ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk, ini juga yang dilakukan nenek moyang orang Lampung dalam memfilterisasi terhadap budaya lain seperti pada Ketara Raja Niti Pasal 46 yang mencerminkan sikap masyarakat Lampung terhadap budaya lain yang penulis kutip dari Buku Panduan Peksiminas VII, yakni "Pokok manusia ada tiga perkara: Islam, sarani, dan kapir. Turunan marga kita (Lampung) ia mengutamakan segala hukum. Turunan anak Puranggi, ia mengutamakan segala bukti. Turunan anak Cina bagus rupa banyak bahasa. Turunan anak Belanda bagus tulisan dan gambar segala harta. Turunan anak Melayu menggunakan dedok punita (?) bagus bahasa banyak bicara. Turunan anak Jawa yang menguatkan tata nilai bumi keraton. Turunan anak Arab memegang rukun Islam Negeri Mekah" (80--81: 2004).
Proses akulturasi budaya tak terhindari, tetapi menghilangkan budaya dan tak mau mengakui sebagai bagian dari budaya tersebut adalah suatu kebodohan. Ini adalah sejarah suatu bangsa yang pikirannya dikooptasi sebuah rezim sehingga lupa akan jati dirinya. Mengutip Taufik Abdullah, "Penguasaan wacana yang ditopang berbagai iming-iming patronage dan ancaman terkaman kekuasaan, memang bisa melunakkan. Maka, ketika terbangun, kita pun terbata-bata mencari arah. Apakah yang didapatkan selain dari sejemput semboyan dan segerobak makian? Manakah batas euforia dan reformasi? Semua hal sedang mengalir dengan cepat, tetapi saya hanya bisa berharap mudah-mudahan sinisme Voltaire tidak lagi menjangkiti budaya kita."
Kesalahan nenek moyang orang Lampung adalah tidak menyukai budaya tulis-menulis. Padahal, orang Lampung memiliki aksara sendiri. Beda dengan bangsa lain yang selalu meninggalkan jejak sejarah melalui prasasti-prasastinya, sehingga ia dikenang dan dikenal. Seniman tradisi Riagus Ria menilai salah satu yang menyebabkan sastra lisan Lampung tak berkembang adalah karena lemahnya budaya menulis. Walaupun Lampung memiliki aksara, budaya menulis tidak ada, sehingga semua tidak terdokumentasikan (Lampung Post, 7 September 2005).
Sudah saatnya kita mengembangkan bahasa, seni, budaya, dan tulis-menulis Lampung.
Oleh: Guntur Subing
Dimuat di Harian Lampung Post, 19 November 2005