Pilgub dan Visa Pembangunan Lampung
Pilgub dan Visa Pembangunan Lampung : BERITA tentang dipercepatnya pemilihan gubernur Lampung kian santer. Sesuatu yang mungkin sudah lama ditunggu oleh masyarakat Lampung untuk menentukan pilihannya. Pilihan terhadap seorang figur yang mampu mengemban tugas, sebagai pemimpin yang dipilih langsung oleh masyarakat Lampung. Pesta rakyat Lampung yang kita harapkan agar tidak sekadar mubazir, disebabkan oleh menghambur-hamburkan uang yang tidak mengena substansinya.
![]() |
Melihat kondisi sosio-geografisnya, maka tidak bisa dipungkiri, mayoritas penduduk Lampung adalah petani. Di mana lahan yang begitu luas saat ini lebih banyak digunakan untuk pertanian dan perkebunan dibandingkan dengan perumahan, perindustrian dan sektor-sektor lainnya.
Sumber daya yang begitu luasnya akan sia-sia jika tidak dikelola dengan baik. Pengelolaan pertanian adalah sebagai sumber untuk mengedepankan Lampung sebagai lumbung pangan, sentra pertanian tanah air. Sebuah visi yang bukan tak mungkin untuk dapat dicapai oleh Provinsi Lampung.
Visi yang akan dapat dicapai jika didukung oleh peran pemerintah daerah, termasuk di dalamnya adanya komitmen atau kesungguhan untuk mengelola suber daya tersebut yang terletak di tangan pemerintah daerah. Pemimpin daerah yang mampu membaca peluang dan memanfaatkan kekuatan yang ada. Jika peluang dan kekuatan tersebut tidak mampu digunakan maka energi yang ada akan semakin sia-sia dan tanpa arah. Disebabkan oleh tidak ada inovasi-inovasi yang berarti.
Untuk itu, ke depan pemimpin daerah adalah mereka yang memahami tugas dan fungsinya, bukan mereka yang hanya mampu duduk di kursi empuk tetapi tak tahu kapal akan dibawa ke mana. Struktur kekuasaan hendaknya tidak dijadikan alat untuk mempererat birokrasi yang semakin bobrok, sehingga masyarakat semakin tak percaya. Pemimpin daerah yang tidak peduli kepada masyarakat akan segera ditinggalkan, diberi rapor merah dan akan dijadikan kenangan pahit yang tak terlupakan. Mungkin, itulah sanksi yang paling ringan yang diberikan oleh rakyat.
Rakyat bisa saja marah, khususnya kaum tani. Kaum tani saat ini hanya diam. Mengeluh sudah biasa dan membosankan. Kaum tani sudah anti terhadap janji-janji. Kaum tani tidak butuh pemerintah yang tak punya bukti karena kaum tani bisa hidup mandiri dengan sesama kaum tani. Kaum tani biasa memberikan upeti yang dinikmati para petinggi. Kaum tani memang kaum pemberi. Bukan kaum peminta, yang tak sudi memberi. Kaum tani adalah anak negeri, Tanah Air pertiwi.
Sebagian besar kaum tani tidak melek visi-misi, yang mereka tau bagaimana panen banyak dan harga tinggi. Pembinaan terhadap kaum tani memang terbilang pilih kasih atau tebang pilih. Tidak merata. Pembangunan sumber daya masyarakat yang bergerak dalam bidang pertanian dan perkebunan memang didominasi oleh kerja konvensional (tradisional), ala kadarnya, mungkin lebih ditopang oleh pengalaman dibandingkan dengan ilmu pengetahuan.
Kondisi seperti itu bukan hanya disebabkan oleh adanya pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah, di samping itu juga banyak para peneliti lebih suka meneliti para petani yang terbilang sukses. Yang sudah menjadi objek percontohan. Pertanyaannya adalah apakah mereka yang minim pengetahuan dan lahan tidak bisa dijadikan objek penelitian? Tidak adakah kesempatan? Dan, susahkah untuk menjadikan mereka sebagai objek pendampingan masyarakat?
Pertanyaan tersebut adalah sebuah kritik. Alangkah naifnya jika yang dijadikan objek penelitian dan pendampingan petani adalah mereka yang mayoritas telah berhasil. Seharusnya mereka yang belum berhasil yang harus dibina, dibimbing, diberikan penyuluhan, diberi bantuan dan pengarahan yang serius, sebab semua itu adalah pekerjaan yang riil, yang membekas di hati para petani.
Saat ini, khususnya para petani kecil membutuhkan uluran tangan pemerintah dan elemen masyarakat lainnya untuk menunjang peran mereka di masyarakat. Terutama modal pengetahuan atau intellectual capital sebagai modal Dasar. Karena, jika petani diberikan modal dasar untuk pengembangan dirinya, maka pengelolaan pertanian dapat dikatakan memiliki modal yang baik dalam pengelolaan dan pemanfaatan finansial yang dimilikinya.
Lain hal jika modal dasar tersebut tidak ditanamkan kepada masyarakat. Misal, pemerintah memberikan bibit, pupuk atau uang untuk mengembangkan pertaniannya, saya khawatir semua akan sia-sia jika pemupukan di dalam diri petani itu sendiri tidak diberikan. Karena, siklusnya akan berbalik seperti semula dan petani tidak mendapatkan apa-apa jika tidak ditopang oleh pengetahuan dalam mengelola uang, barang modal, dan bantuan-bantuan lainnya.
Jika petani didampingi pemerintah dengan memberikan pengarahan, punyuluhan, pelatihan secara terus menerus, saya yakin petani akan memiliki modal dasar yang cukup untuk terus mengembangkan hasil pertaniannya.
Setelah modal dasar petani tersebut dipenuhi, maka akan mudah untuk mengembangkan pertanian baik dari segi intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Pengelolaan pertanian dengan berbasiskan sumber daya manusia ini memang harus cepat dilaksanakan jika tidak mau kalah dengan petani-petani luar negeri. Karena, kebodohan mendekatkan kepada kemiskinan, kemiskinan mendekatkan kepada kekufuran.
Pertanian berbasiskan sumber daya manusia dapat juga mengembangkan pola agroindustri, sehingga peran para petani tidak berhenti sebagai penghasil barang primer. Petani harus tampil dengan mengembangkan barang primer tersebut menjadi barang yang memiliki nilai tambah ekonomis. Setelah menjadi barang yang memiliki nilai tambah ekonomis, niscaya produk-produk akan lebih berguna dan menambah pendapatan petani.
Mengembangkan ekonomi kerakyatan dengan berbasiskan pertanian melalui pengembangan sumber daya manusia bukanlah barang mustahil, ia nyata, semua bisa dilakukan, tergantung dari ketulusan dan niat pemerintah daerah untuk memajukan dan membuat pintar masyarakatnya.
Memang, untuk membuat pintar masyarakatnya tergantung dari kacamata masing-masing pimpinan daerah. Jika pemerintah daerah memahami SDM yang unggul tersebut sebagai sesuatu yang abstrak dan menyukai yang kongkret dalam artian nyata, dapat dilihat denga mata kepala, saya yakin model yang seperti ini lebih mengedepankan pembangunan secara fisik.
Namun, alangkah naifnya kita jika hanya mampu melihat jalan-jalan yang kuat dan lebar, gedung-gedung pemerintah yang megah dan pembangunan fisik lainnya yang menghabiskan dana milyaran, tetapi di balik itu semua tersimpan kebodohan masyarakatnya. Tersimpan celah untuk semakin membodohi masyarakatnya.
Saatnya untuk memilih pemimpin yang memiliki visi yang berpihak kepada rakyat, khususnya para petani. Mereka harus sanggup tampil ke muka masyarakat. Membuat komitmen dengan melakukan kontrak politik kepada masyarakat serta duduk bersama memikirkan masyarakat untuk pengembangan dirinya, mengembangkan masyarakat secara keseluruhan untuk dijadikan modal dasar pembangunan Lampung. Karena, rakyat yang berpengetahuanlah yang mampu membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan. Semoga.
Oleh: Guntur Subing
Dimuat di Harian Lampung Post, 19 Juni 2007