Breaking News

Peran Otoritas Lokal Dan Sistem Klaster Dalam KESR

Peran Otoritas Lokal Dan Sistem Klaster Dalam KESR : 

PENDAHULUAN
Kerjasama Ekonomi Sub-Regional (KESR) dalam percaturan hubungan internasional semakin melibatkan jaringan dan kerja sama dalam upaya mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam hal ini, kemampuan suatu daerah dalam pemenuhan kebutuhan penduduk sekaligus untuk mempertahankan daya saing di pasar nasional dan regional akan menjadi semakin penting. Terkait keberadaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), otoritas lokal pun dituntut untuk semakin siap dan tahan uji dalam melakukan kerja sama ekonomi yang bersifat tahan uji sekaligus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kondisi geografi Indonesia yang unik memberikan tantangan tersendiri bagi kerja sama ekonomi. Sebagai wilayah yang dipersatukan oleh jaringan perairan sebagai suatu kesatuan, kerja sama antara otoritas pusat dan daerah dituntut untuk mampu merajut integritas nasional sekaligus meningkatkan ketahanan perekonomian di batas-batas terdepan wilayah Indonesia



Peran Otoritas Lokal Dan Sistem Klaster Dalam KESR

PERAN OTORITAS LOKAL DAN KLUSTER DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Kerja sama yang berhasil dalam proses pembangunan berkelanjutan tidak dapat menafikan keberadaan jaringan dan kerja sama yang mumpuni sebagai suatu keniscayaan. Dalam hal ini, sistem yang berfungsi dengan baik antara aktor-aktor ekonomi lokal seperti para pelaku wirausaha, institusi lingkungan bisnis, pemangku kepentingan di bidang riset dan pengembangan, serta otoritas lokal perlu bekerja dengan baik. Kebijakan pembangunan dalam bidang ekonomi pun seyogyanya semakin menumbuhkan kesadaran untuk bertindak bersama dengan mengintegrasikan berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan agar tingkat dan kualitas hidup masyarakat semakin tinggi seiring dengan kondisi ekonomi yang kuat dan kompetitif.

Oleh sebab itu, peran otoritas lokal serta kerja sama jaringan yang ada sangat diperlukan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan dunia modern (Mempel-Śnieźyk, 2014). Dalam hal ini, peran otoritas lokal dalam hal memicu tumbuhnya perusahaan kecil dan menengah (UKM) menjadi penting karena keberadaannya yang dianggap sebagai salah satu pilar penting ekonomi berkat kontribusinya dalam hal memicu pertumbuhan ekonomi serta penyerapan tenaga kerja. Keberadaan sejumlah UKM yang semakin tergantung pada adanya keterkaitan yang kompleks dalam suatu sektor dapat memicu timbulnya kluster. Kluster yang timbul dapat bersifat pasar bisnis yang dapat diidentifikasi, kluster bisnis tertentu, maupun kluster ekonomi (Porter, 1998). Apabila struktur kluster semakin terbangun sehingga membentuk suatu bentuk kerja sama yang bersifat terstruktur dan terintegrasi cukup tinggi, maka kemudian terjadilah jaringan ekonomi (Gunasekaran, 2006).

Peran otoritas lokal dalam pembangunan sosial ekonomi terus-menerus berubah dan saling berkelindan. Berbasis data pada era krisis finansial di Indonesia, UKM mampu menjadi alat transformasi ekonomi. Dalam hal ini, UKM menjadi pilar pendukung dalam menciptakan pekerjaan baru serta mencegah pengangguran yang terjadi sebagai dampak likuidasi dan perestrukturisasian badan usaha milik negara. Kegiatan dan pembangunan sektor UKM berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi berkelanjutan meskipun masih terkendala kurangnya struktur peraturan perundangan yang mendukung, kesulitan pembiayaan, serta persaingan usaha yang lebih berpihak pada perusahaan besar. Dalam upaya menciptakan iklim bisnis yang baik untuk mendukung UKM, otoritas lokal memang lebih dianjurkan untuk membentuk sistem bisnis setempat yang dapat memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia, ataupun menciptakan ketersediaan lokasi melalui perencanaan spasial. Penciptaan jaringan kerja sama atau broker jaringan ini akan menguntungkan bagi pembangunan sosial ekonomi dan pembangunan berkelanjutan pada umumnya.
Pada awalnya, kerja sama mutual berdasarkan struktur teritorial yang disebut kluster muncul berdasarkan gagasan distrik industri dan model persaingan sempurna dari Alfred Marshall (1920, dalam Mempel-Åšnieźyk, 2014). Konsep kluster secara khusus pun muncul berdasarkan teori spesialisasi produksi, industri utama dan distrik industri, kutub pertumbuhan yang memicu dampak limpahan serta model wajik persaingan usaha dan menjadi tren pada tahun 1990-an. Konsep ini masih dianggap penting karena memberi para pembuat kebijakan kesempatan untuk mempersingkat berbagai kebijakan ke arah suatu obyektif yaitu untuk menstimulasi pertumbuhan lewat inovasi. Namun demikian, kluster yang mendukung pembangunan berkelanjutan harusnya memungkinkan “productively source for inputs, access information, technology and institutions; and coordinate with other firms both horizontally and vertically” (Kuah, 2002 dalam Mempel-Åšnieźyk, 2014). Namun demikian, penting untuk diingat bahwa kluster yang berhasil adalah yang secara langsung berkontribusi pada investasi dalam infrastruktur, menstimulasi infrastruktur yang inovatif, meningkatkan signifikansi sektor riset dan pengembangan regional, mempromosikan gagasan masyarakat informasi dan meningkatkan ketersediaan layanan pendukung bisnis khusus. Kluster seyogyanya membantu menciptakan lingkungan yang mendukung untuk pembangunan kewirausahaan yang dinamis serta mendorong timbulnya inovasi. Kompleksitas yang ada memang tidak dapat menafikan fakta bahwa perwujudan kluster yang berkesinambungan tetap merupakan tantangan tersendiri yang membutuhkan keahlian dan pemahaman khusus.

PERAN OTORITAS LOKAL INDONESIA DAN SISTEM KLUSTER
Peran otoritas lokal serta kerja sama jaringan yang ada sangat diperlukan terutama dalam membangun UKM. Keberhasilan UKM juga sangat membantu perekonomian daerah-daerah lokal terutama apabila jaringan UKM membentuk kluster yang berdaya saing. Kluster UKM dapat digunakan sebagai strategi pengurangan ongkos logistik dan memaksimalkan efisiensi baik untuk mendapatkan bahan baku maupun pemasaran produk (Manno, 2000). Pengembangan kluster dianggap sesuai untuk memaksimalkan peningkatan produk-produk dan layanan berpotensi komoditas rendah atau yang terkait hubungan langsung dan kerja sama antara orang per orang serta lingkungan alam tempatnya berada (Manno, 2000). Dengan kerja sama sistem kluster ini, sektor UKM dapat lebih meningkat lagi berkat dampak positif yang ditimbulkan komoditasi. Keberhasilan sistem kluster ini terlihat pada sentra- sentra industri kerajinan di Indonesia yang berkembang pesat seperti di Garut dan Tasikmalaya-Jawa Barat, Ubud-Bali, Kota Gede-D.I. Yogyakarta dan lain sebagainya.

Meskipun dirasakan manfaatnya dalam pembangunan ekonomi, sektor UKM pun turut menyumbang berbagai permasalahan. Sebagai contoh, sektor UKM di Eropa menyumbang 64% polusi industri (Mempel-Śnieźyk, 2014). Data mengenai polusi industri yang ditimbulkan UKM di Indonesia agaknya memang belum tersedia. Namun apabila dikaitkan dengan kesulitan dalam mencari sumber daya keuangan, melakukan dan mempromosikan kegiatan lingkungan, situasi yang dihadapi UKM di mana pun agaknya sama saja - UKM masih mendapatkan banyak tantangan dalam mentransformasikan tantangan lingkungan menjadi kesempatan, terutama dalam hal pengurangan biaya, dampak lingkungan serta efisiensi energi. Tantangan untuk go-green dalam sektor UKM masih berkisar pada biaya yang tinggi serta kesulitan dalam hal sertifikasi termasuk mendapatkan sertifikat sistem pengelolaan lingkungan hidup. Kesulitan yang dihadapi ini memang membuat UKM menjadi tidak peduli atau enggan untuk mendapatkannya. Namun demikian, tren terkini menunjukkan ada gerakan untuk bertindak bersama, terutama karena keberadaan kluster yang mempromosikan kolaborasi dan jaringan kerja khusus, agar berbagai kendala yang dihadapi dapat terlampaui, misalnya Koperasi Pedagang Kaki Lima, Koperasi Pasar dan lain sebagainya. Sistem kluster di Indonesia juga terpicu teknologi baru serta penggunaan media baru (new media) sehingga lebih menggerakkan pasar UKM.

Sejumlah kasus pembangunan ketahanan ekonomi, seperti yang dilakukan pemerintah Polandia adalah dengan membangun perdagangan domestik yang kuat serta keluaran industri yang kuat dan menguasai pasar (CBRE, 2011). Dalam membangun industri yang kuat ini, Polandia membangun sektor manufaktur secara bersamaan dengan jaringan logistik dan pegudangan. Terkait pembangunan logistik, Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai rencana percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk jangka 2011-2025, termasuk dengan adanya pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Sislognas sungguh diperlukan dalam meningkatkan efisiensi dan memperbaiki daya saing ekonomi, terutama untuk mengedepankan jalur logistik yang terintegrasi antarpulau dan terkoneksi ekonomi secara internasional. Namun demikian, dalam konteks kekinian, Sislognas perlu mengkaji ulang keberadaan jaringan kluster. Kajian mendetail diperlukan untuk valuasi pengembangan kluster dengan melihat ongkos ekonomi dibandingkan dengan keuntungan ekonomi komparatif (atau bahkan absolut) yang dapat diperoleh.
Peran Otoritas Lokal Dan Sistem Klaster Dalam KESR (2)